Budayakan Toleransi dengan Menolak Perundungan
Perundungan terbukti bisa terjadi pada siapa dan di mana saja termasuk tempat kerja. Diperlukan sistem di organisasi untuk mencegah dan mendeteksi serta mengatasi hal itu.
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan Hari Toleransi Internasional tiap 16 November menjadi momentum untuk mengajak warga dunia membangun toleransi antarbudaya dan masyarakat. Peran dan tanggung jawab dalam menciptakan dunia yang lebih toleran menjadi tugas banyak pihak, tak ketinggalan dunia bisnis.
Menyambut peringatan Hari Toleransi Internasional 2021, PT Unilever Tbk Indonesia menyuarakan ajakan toleransi dengan tidak melakukan perudungan atau bullying di dunia kerja. Hal itu mengemuka dalam webinar yang membahas perundungan di tempat kerja (workplace bullying) bertajuk ”Zero Tolerance for Workplace Bullying”, Senin (16/11/2021). Acara ini merupakan hasil kerja sama Unilever Indonesia dengan Komunitas Sudah Dong yang aktif mengampanyekan antiperundungan sejak 2014.
Selain webinar, kerja sama itu juga menghasilkan panduan atau e-booklet untuk mencegah dan mengatasi perudungan di perusahaan/organisasi yang dapat diakses masyarakat secara digital.
Head of Communications PT Unilever Indonesia, Tbk Kristy Nelwan mengungkapkan, semua pihak memiliki peran dan tanggung jawab dalam menciptakan dunia yang lebih toleran, termasuk dunia bisnis. ”Kami percaya bahwa bisnis hanya dapat berkembang di tengah masyarakat di mana hak asasi manusia dihormati, dijunjung tinggi, dan dikedepankan,” kata Kristy.
Ia menambahkan, pihaknya tidak mentoleransi perudungan di tempat kerja sejalan dengan strategi global ’The Unilever Compass’, khususnya pada pilar kontribusi pada masyarakat yang adil dan inklusif. ”Sebagai perusahaan dengan zero tolerance terhadap salah satu bentuk intoleransi di masyarakat, yaitu perundungan di tempat kerja, kami ingin dapat saling berbagi mengenai langkah-langkah untuk mencegah dan menindaklanjutinya. Harapannya, bersama-sama kita dapat terus berupaya menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat,” kata Kristy.
Baca Juga: Perundungan, Ancaman di Tempat Kerja
Relawan Komunitas Sudah Dong Fabelyn Baby Waleanmemaparkan, komunitas ini didirikan sejak 2014 sebagai upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak negatif berbagai bentuk perundungan melalui rangkaian program luring maupun daring. Gerakan kampanye daring awalnya bermula karena seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial, perundungan semakin sering terjadi.
”Perundungan seperti sudah jadi kebiasaan, dianggap tidak apa-apa karena cuma bercanda. Kebiasaan mengolok-olok secara verbal seperti memanggil nama dengan julukan yang mendeskripsikan seseorang, misalnya, dianggap untuk menguatkan persahabatan. Padahal, dalam waktu panjang bisa mempengaruhi seseorang karena julukan tersebut menginternalisasi dalam jiwa seseorang,” kata Fabelyn.
Antusiasme masyarakat untuk terlibat dalam kampanye anti-perundungan cukup tinggi karena merasa belum ada yang aktif menyuarakan. Hingga saat ini, kampanye daring dan luring pun terus meningkat.
Fabelyn menilai, perundungan di tempat kerja masih banyak terjadi, antara lain, karena masih kurangnya regulasi ataupun sistem internal yang mampu secara tegas menyikapi masalah ini. ”Kami percaya bahwa pembuatan e-booklet kerja sama dengan Unilever ini akan menjadi sebuah proses transfer pengetahuan yang kaya di antara kedua belah pihak, dan semoga akan membawa manfaat bagi perusahaan ataupun organisasi lainnya,” ujar Fabelyn.
Kami percaya bahwa bisnis hanya dapat berkembang di tengah masyarakat di mana hak asasi manusia dihormati, dijunjung tinggi, dan dikedepankan
Kelompok rentan
Wirausahawan perempuan disabilitas, Nicky Clara, turut berbagi kisah masih banyaknya penyandang disabilitas yang rentan mengalami perundungan di tempat kerja. Stigma terhadap keterbatasan kemampuan mereka, rasa iba yang berlebihan, dan lainnya, misalnya. Sayangnya, mereka masih enggan bersuara karena, antara lain, takut kehilangan pekerjaan yang sudah susah payah mereka dapatkan.
”Setiap perusahaan sepatutnya menerapkan prinsip kesetaraan dan inklusivitas sebagai acuan bagi penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak karyawan di tempat kerja, termasuk untuk teman-teman penyandang disabilitas sehingga mereka dapat bekerja dengan nyaman, efektif, dan produktif,” kata Nicky.
Nicky berkisah, penyandang disabilitas sudah kenyang dengan perundungan. Sebelum masuk dunia kerja, ia mengaku sudah terbiasa dirundung. Ada kebiasaan masyarakat yang tanpa disadari tidak mengenakkan bagi penyandang disabilitas, yaitu memandang penyandang disabilitas dari atas ke bawah dengan perasaan kasihan. Secara verbal, Nicky pernah diejek dengan panggilan si kaki boneka, kaki besi, hingga pincang. Panggilan itu sudah termasuk perbuatan perudungan. Bahkan, pernah juga ketika sekolah ada teman yang menarik kakinya hingga terjatuh.
Mengintimidasi
Psikolog klinis dewasa Pingkan Rumondor menjelaskan bahwa perundungan di tempat kerja adalah serangkaian perilaku yang dilakukan secara sengaja dan berulang untuk mengintimidasi, menjatuhkan, atau menyakiti orang lain di tempat kerja. Contohnya, seperti kekerasan fisik, verbal, pengucilan/ pemboikotan, sabotase pekerjaan. Perundungan di tepat kerja atau bisa dilakukan secara langsung maupun daring (via telepon atau perundungan siber).
”Bedakan dengan bercanda, ya. Dua-duanya merasa happy dan sama-sama paham di mana letak lucunya. Kalau perundungan ada yang merasa tersakiti dan direndahkan. Yang melakukan perundungan dengan dalih bercanda, sebenarnya bukan sekadar humor. Ada agenda di balik bercanda untuk membalut perundungan,” kata Pingkan.
Baca Juga: Perundungan di Tempat Kerja Bisa Mewujud dalam Berbagai Tindakan dan Perilaku
Perundungan di tempat kerja, kata Pingkan, dapat melibatkan tiga pihak. Pertama, pelaku yang kebanyakan menyerang titik lemah target agar mereka terlihat berkuasa sehingga menutupi rasa malu terhadap ketidakmampuan atau ketidakpuasan dalam dirinya. Kemudian target yang secara sengaja dipermalukan sehingga dapat mengalami berbagai efek psikologis seperti kecemasan, gejala depresi, hingga gejala post-traumatic stress disorder yang berdampak pada terganggunya aktivitas keseharian dan produktivitas.
Kemudian ketiga adalah saksi. Tanpa pemahaman yang cukup mengenai cara menghadapi situasi perundungan di tempat kerja, sering kali saksi mata hanya berdiam diri. Selain itu, semakin banyak orang yang menjadi saksi ada kecenderungan saksi makin tidak tergerak menolong karena menunggu orang lain bergerak lebih dulu atau disebut juga bystander effect. Padahal, saksi memiliki peranan yang krusial untuk mengintervensi perilaku tidak menyenangkan tersebut.
Keberanian menjadi kunci bagi target ataupun saksi dalam melawan perundungan di tempat kerja dengan cara bersikap asertif untuk menolak sesuatu yang mengusik psikologis mereka. Selain itu, mereka juga harus percaya bahwa mereka terlindung di bawah perusahaan yang memiliki kebijakan kuat terhadap segala bentuk diskriminasi dan perundungan.
Menurut Pingkan, penolakan terhadap perundungan di tepat kerja menghadapi tantangan gaya kepemimpinan, apakah termasuk otoriter atau terbuka. Selain itu, dalam iklim kerja di organisasi dengan beban besar dan tidak efektif hingga mudah memicu stres susah untuk menghindari perundungan. Lalu, adapula budaya individu dan budaya kolektif yang memengaruhi. Demi menjaga menjaga keharmonisan kelompok, saksi yang melihat perilaku perundungan diam saja karena takut berkonflik. Sementara budaya senioritas juga dapat memicu perundungan di tempat kerja.
Baca Juga: Perundungan di Tempat Kerja Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung dan Diabetes
Menurut Kristy, berpegang pada kode etik bernama Respect, Dignity & Fair Treatment (RDFT), Unilever Indonesia berkomitmen untuk memastikan bahwa semua karyawan bekerja di lingkungan yang mempromosikan keberagaman, rasa saling percaya, menghormati hak asasi manusia, dan memberikan kesempatan yang setara, tanpa diskriminasi. Untuk itu, perusahaan menindak tegas perilaku menyinggung, mengintimidasi atau menghina, termasuk segala bentuk pelecehan atau perundungan atas dasar perbedaan ras, usia, peran, gender, agama, kondisi fisik, kelas sosial, hingga pandangan politik sekalipun.
Kristy menjelaskan, Unilever Indonesia memiliki Equity, Diversity, and Inclusion Board yang bertugas menjalankan dan memonitor tiga fokus perusahaan dalam menciptakan lingkungan kerja serta masyarakat yang lebih toleran dan inklusif, yaitu kesetaraan jender, kesetaraan untuk penyandang disabilitas, dan penghapusan diskriminasi dan stigma.
”Dalam mengatasi perundungan di tempat kerja, kami memiliki jalur pengaduan khusus yang disebut Speak-Up Channel, sebuah Whistleblower System dengan jaminan kerahasiaan penuh sebagai salah satu sarana bagi karyawan untuk menyampaikan adanya penyimpangan terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kami juga aktif mendorong karyawan untuk bertanggung jawab dan berinisiatif jika melihat potensi pelanggaran,” kata Kristy.