Langkah DPR untuk mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi UU terus dinantikan publik, terutama para korban kekerasan seksual. Pengesahan RUU tersebut diharapkan menjadi kado pada Hari Ibu 2021.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Kompas
Kekerasan seksual pada anak.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat memberi sinyal bahwa proses legislasi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual akan terus berlanjut, memasuki tahap finalisasi. Dari berbagai masukan yang diterima, Badan Legislasi memberi perhatian pada proses pencegahan serta perspektif perlindungan khusus untuk anak dan disabilitas mulai dari proses pendampingan sampai rehabilitasi.
Setelah menerima masukan dari sekitar 100 kelompok masyarakat, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) Badan Legislasi DPR segera merampungkan proses penyusunan draf RUU tersebut. Akhir November 2021, diharapkan draf RUU tersebut sudah dibawa dalam Sidang Paripurna DPR untuk diputuskan sebagai inisiatif DPR.
”Pada tanggal 17 November mendatang, Panja RUU TPKS di Baleg DPR akan menggelar rapat untuk finalisasi draf RUU, setelah itu dilanjutkan dengan paripurna pengambilan keputusan pada tanggal 25 November 2021,” ujar Ketua Panja RUU TPKS Baleg DPR Willy Aditya, Senin (15/11/2021).
Terkait masih adanya pihak kontra dengan RUU TPKS, Willy menegaskan bahwa nama TPKS merupakan jalan tengah. DPR memandang fenomena gunung es dari kekerasan seksual harus dijawab dengan kehadiran Undang-Undang TPKS. ”Jadi, masukannya sudah cukup. Sekarang tinggal keputusan politik,” ujar Willy.
Siti Aminah Tardi, anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), menyatakan, Komnas Perempuan menyambut baik komitmen dan langkah maju untuk mengesahkan RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR dalam sidang paripurna mendatang. Untuk selanjutnya, draf tersebut akan dikirimkan ke pemerintah untuk dibahas bersama DPR.
”Draf RUU TPKS per 1 November 2021 memang lebih baik daripada draf per Agustus 2021. Komnas Perempuan mencatat kemajuan ataupun penyempurnaan dari draf RUU TPKS sebelumnya,” katanya.
Jadi, masukannya sudah cukup. Sekarang tinggal keputusan politik.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak ditampilkan di Markas Polresta Cirebon, Jawa Barat, Selasa (14/9/2020). Hingga pertengahan September 2020, tercatat 37 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Cirebon.
Tiga isu penting
Namun, Komnas Perempuan tetap mencatat ada tiga isu penting yang perlu ditambahkan. Pertama, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual dalam RUU TPKS, baik sebagai tindak pidana berdiri sendiri maupun unsur dalam tindak pidana yang sudah dirumuskan atau menjadi pemberat pidana.
Kedua, merumuskan kekerasan seksual berbasis jender siber dan penegasan hak korban atas penghapusan jejak digital atau hak untuk dilupakan (the right to be forgotten). Ketiga, penegasan peran lembaga nasional hak asasi manusia dan lembaga independen lainnya terkait pelaksanaan RUU tersebut.
Selain itu, lanjut Aminah, ada hal yang perlu didiskusikan kembali, yakni konsep pelayanan terpadu. Di dalam draf, pelayanan terpadu diemban oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah-Perlindungan Perempuan, Anak, dan Disabilitas (UPTD PPAD) yang harus disusun oleh pemerintah provinsi dan kabupaten.
”Apakah ini berarti UPTD PPAD yang sudah ada atau sedang dibentuk di bawah Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak akan diganti? Atau UPTD baru?” ujar Aminah.
Menurut Aminah, pusat pelayanan terpadu dapat dikembangkan dari Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang berbasis rumah sakit, seperti PPT di RS Bhayangkara atau dalam bentuk sekretariat bersama yang di dalamnya ada UPTD PPAD, lembaga layanan, aparat penegak hukum, organisasi profesi, dan organisasi penyandang disabilitas.
Kompas
Jumlah kekerasan seksual Infografik
Menjadi penyemangat
Veni Siregar, Koordinator Sekretariat Nasional, Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan mengapresiasi komitmen tinggi Panja RUU TPKS serta keluarnya draf RUU TPKS pada 1 November 2021.
”Kami menyambut baik semangat kawan-kawan DPR yang memiliki target agar Indonesia memiliki kebijakan penghapusan dan penanganan kekerasan seksual. Ini menjadi semangat bagi lembaga layanan,” ujar Veni.
Kendati demikian, Veni berharap kehati-hatian dan upaya perbaikan draf RUU tersebut perlu terus dikedepankan. Ia mencontohkan, masih ada bentuk kekerasan seksual yang belum diakomodasi.
Selain itu, negara yang bertanggung jawab menyediakan anggaran juga belum memasukkan dukunganya kepada lembaga layanan masyarakat, serta belum ada kementerian yang bertanggung jawab atas RUU tersebut.