Folklor Kepahlawanan sebagai Media Menanamkan Nilai Luhur
Folklor yang hidup di masyarakat mengandung nilai-nilai luhur yang dapat diwariskan ke anak-cucu. Agar relevan dengan perkembangan zaman, folklor dapat dialihwahanakan menjadi berbagai karya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Folklor kepahlawanan dinilai dapat menjadi media untuk menanamkan nilai-nilai luhur pada generasi penerus, seperti keberanian, sikap rela berkorban, dan solidaritas. Folklor itu dapat dialihwahanakan menjadi beragam karya agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Beberapa folklor dengan nilai kepahlawanan di antaranya Bujang Nyangko. Legenda masyarakat Dayak ini menceritakan sosok Bujang Nyangko, orang yang menuruti ajakan ayahnya untuk mengambil rumpun sirih di hutan. Ia menyatakan berani ke sana walaupun harus bertarung dengan beruang.
Adapun folklor adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, tetapi tidak dibukukan. Folklor tidak selalu berbentuk legenda atau mitos, tetapi juga dapat berbentuk lagu tradisional, seperti ”Tondu’ Majang”. Lagu tersebut menceritakan keseharian masyarakat Madura yang bekerja sebagai nelayan yang rela menghadapi ombak besar, angin kencang, dan terik matahari demi menghidupi keluarga.
”Ada juga permainan tradisional Minangkabau, Samba Lakon. Ini permainan tukar peran antara kelompok bandit dan lakon,” kata pengajar Antropologi Universitas Indonesia Salfia Rahmawati, Senin (15/11/2021), di Jakarta, pada diskusi tentang ”Kebangkitan dan Folklor Pahlawan” yang diselenggarakan Museum Kebangkitan Nasional.
Permainan ini membangun rasa kebersamaan, ketangkasan, serta sikap kepahlawanan untuk menyelamatkan teman yang tertangkap. Sikap ini dapat ditanamkan mulai dari kelompok kecil, seperti di antara teman bermain.
Salah satu fungsi folklor adalah mendidik generasi penerus agar menganut sikap, karakter, dan pemahaman tertentu. Nilai-nilai luhur pada folklor dapat diadopsi ke konteks masa kini, seperti saat menghadapi masalah.
Adapun folklor diartikan sebagai sebagian kebudayaan suatu kelompok masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun, baik secara lisan maupun dengan media lain. Media yang dimaksud meliputi tarian tradisional, adat istiadat, makanan dan minuman, pakaian, dan teater rakyat. ”Nilai-nilai ini terekam, tertanam, dan dapat direproduksi melalui folklor,” ucap Salfia.
Alih wahana
Menurut peneliti folklor, Burhanuddin Aziz, folklor dapat dialihwahanakan sesuai dengan konteks masa kini. Itu bertujuan agar folklor relevan dengan generasi zaman sekarang. Folklor dapat dikemas dan dikreasikan ulang menjadi buku, siniar, ataupun konten media sosial.
Folklor Si Pitung, misalnya pada mulanya berkembang sebagai orang yang menginspirasi masyarakat untuk melawan ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda. Ia merampok pejabat dan orang-orang kaya di Batavia, lalu hasilnya dibagikan kepada masyarakat.
Folklor itu berkembang menjadi memori kolektif masyarakat Jakarta, khususnya orang Betawi. Selanjutnya, kisah Si Pitung dialihwahanakan menjadi berbagai bentuk kesenian, seperti teater rakyat, pencak silat, dan film.
Koordinator Kelas Ilustrasi Buku Anak (KIBA) Institut Teknologi Bandung Riama Maslan Sihombing menambahkan, folklor merupakan media menyampaikan warisan ilmu pengetahuan dan nilai luhur. Selanjutnya folklor dapat dialihwahanakan menjadi buku anak.
Folklor merupakan media menyampaikan warisan ilmu pengetahuan dan nilai luhur. Selanjutnya folklor dapat dialihwahanakan menjadi buku anak.
Sementara itu, edukator Museum Kebaharian Jakarta, Firman Faturohman, berpendapat, folklor dapat menjadi alternatif pengembangan koleksi museum. Namun, wacana ini masih menjadi perdebatan karena folklor dianggap sebagai pengetahuan tidak resmi dan sulit dibuktikan secara ilmiah. Kendati demikian, fakta bahwa folklor hidup dalam keseharian warga tak dapat diabaikan.
”Folklor dapat dibingkai melalui nilai-nilai kebangkitan dan perjuangan bangsa. Ini juga sebagai upaya museum melestarikan kebudayaan lokal untuk pemajuan kebudayaan,” kata Firman.