5 Kunci agar Tulisan Opini Diterima dan Diterbitkan ala Chatib Basri
Bagaimana agar tulisan opini menarik, enak dibaca dan bisa diterbitkan harian ”Kompas”? Chatib Basri membagikan 5 tips menulis opini berdasarkan pengalaman pribadinya menulis ratusan Opini untuk ”Kompas”.

Ilustrasi belajar menulis opini, cerpen dan puisi.
Nyantrik dalam budaya Jawa kerap dilakukan oleh anak-anak muda kepada orang yang lebih tua. Mereka menimba ilmu bahkan kadang menumpang hidup untuk menyerap nilai-nilai dan semangat dari orang yang dianggap berilmu, sukses, dan layak dijadikan panutan.
Dalam dunia tulis-menulis opini dan gagasan, tidak salah bila para penulis muda nyantrik ke kolomnis kawakan Chatib Basri. Harian Kompas mencatat, ada 1.141 entri nama Chatib Basri baik di tulisan maupun foto sejak tahun 1993. Sebanyak 146 nama tersebut muncul saat ia menulis gagasannya di halaman Opini Kompas.
Nama Chatib Basri pertama muncul di Kompas pada Kamis, 15 April 1993. Kala itu ia menulis di halaman Opini dengan tulisan berjudul ”Kembali ke Konsep Keunggulan Komparatif”. Hingga kini tercatat sudah ratusan opini yang ia tuliskan untuk harian Kompas.
Tulisan Chatib yang mengalir, jernih, kritis, runtut dan mudah diingat membuat banyak penulis ingin menimba ilmu penulisan darinya. Gayung bersambut. Harian Kompas yang juga ingin menyapa para penulis muda akhirnya mempertemukan para penulis muda dengan Chatib Basri.
Baca Juga: Keluar dari Resesi

Muhamad Chatib Basri
Pertemuan virtual yang diselenggarakan Rabu (10/11/2021) dijadikan kesempatan bagi 30-an penulis muda berbagi keresahan, mencari jawaban dari pertanyaan dan menggali tips serta ilmu. Bagaimana agar tulisan opini menarik, enak dibaca dan bisa diterbitkan harian Kompas?
Lima Kunci
Kepada para penulis muda, Chatib Basri berbagi lima kunci agar tulisan-tulisan opini mudah diterima dan diterbitkan media massa, khususnya Kompas. Kelima kunci itu ialah: berangkat dari pertanyaan, mengalir, analogi, hindari hal teknis dan kerangka tulisan.
”Selalu mulailah menulis dengan berangkat dari pertanyaan. Membuat pertanyaan ini penting karena dengan membuat pertanyaan, kita telah merumuskan sebuah masalah. Tulisan kita adalah gagasan untuk memecahkan masalah tersebut,” tutur Menteri Keuangan periode Mei 2013-Oktober 2014 itu.
Ia mencontohkan opini berjudul ”Utang dan Kesinambungan Fiskal” yang terbit Kamis, 2 September. Chatib meletakkan pertanyaan di paragraph pembuka tulisannya.
”Indonesia juga sama. Defisit anggaran dinaikkan menjadi 6,14 persen. Belanja pemerintah dinaikkan untuk stimulus ekonomi. Masalahnya: penerimaan negara terbatas. Implikasinya, utang naik. Apa risikonya? Apa yang harus dilakukan untuk menjaga kesinambungan fiskal, sambil tetap menyelamatkan kehidupan dan penghidupan? Seberapa besar risiko fiskal kita?”
Baca Juga: Tahun 2021: Antara Pandemi dan Pemulihan Ekonomi

Chatib Basri kerap menempatkan pertanyaan di bagian awal tulisan sebagai rumusan masalah.
Chatib juga mengingatkan agar opini ditulis dengan mengalir. Kalimat per kalimat, paragraf per paragraf ditulis dengan logika berpikir yang runtut. Tujuannya agar pembaca dapat mengikuti tulisan tersebut dari awal hingga akhir dengan nyaman.
Penggunaan analogi, lanjut Chatib juga, penting dalam penulisan opini. Analogi membantu pembaca untuk membayangkan sesuatu yang mudah ia terima dalam pemikirannya. ”Kadang sesuatu yang sulit dimengerti jadi mudah dipahami karena bantuan analogi ini,” ujarnya.
Ia mencontohkan, opini berjudul ”Hindari Jalur Pertumbuhan” yang terbit 28 Mei 2021. Ia membuka dengan kisah Romeo-Juliet untuk menggambarkan jejak yang ditinggalkan pandemi pada perekonomian Indonesia.
Luka adalah pengalaman. Ia bukan pengetahuan. Mereka yang menonton drama Romeo and Juliet karya William Shakespeare mungkin ingat sebuah dialog dari Romeo: ”He jests at scars that never felt a wound.”
Romeo ingin mengatakan: mudah untuk memperolok rasa sakit seseorang jika kita tak mengalaminya. Ia benar. Kita mungkin punya pengetahuan mengenai pandemi sebelumnya, tapi kita baru paham setelah mengalaminya. Covid-19 meninggalkan parut di wajah kita. Kita merasakannya. Bekas luka itu akan terbawa entah sampai kapan. Ia akan tinggal pada perilaku kita, juga pada ekonomi kita.
Selanjutnya, Chatib berpesan agar opini-opini yang ditulis tidak perlu menggunakan bahasa-bahasa teknis. ”Kadang kita ingin terlihat pintar dengan menuliskan bahasa-bahasa teknis yang terkesan akademis. Tapi, itu justru membuat tulisan kita sulit dimengerti oleh orang lain,” tuturnya.
Kerangka tulisan juga menjadi kunci penting dalam penulisan opini. Chatib mengaku butuh waktu 2 jam untuk menulis opini dalam bentuk kerangka tulisan. Setelah memberi jeda beberapa waktu, ia baru melakukan pengeditan tulisan dan menambahi atau mengurangi gagasan yang mendukung gagasan utama.
Baca Juga: Utang dan Kesinambungan Fiskal

Chatib Basri (kolom kiri baris kedua) beserta peserta Temu Penulis Muda Kompas yang diselenggarakan secara virtual, Rabu 10 November 2021.
Menurut Chatib, proses ”ngedit” tulisan adalah hal yang paling nikmat dari menulis sebuah opini. Membaca ulang, menjadi gagasan lebih jernih agar lebih mudah dimengerti adalah kegemaran pria yang akrab dipanggil Dede itu.
Bagian penutup, kata Chatib, juga menjadi bagian penting dalam sebuah penulisan opini. Ia kerap menutup tulisannya dengan ”beat” yang seirama dengan beat pembuka. Ini yang membuat tulisan opini menjadi suatu kesatuan.
Ia mencontohkan, opini berjudul ”Mengapa Harus Pulih Lebih Cepat?” yang terbit Rabu, 10 Februari 2021. Ia membuka dan menutup tulisannya dengan ”beat” nasi padang.
Pembuka:
”When else fails, nasi Padang prevails”. Saya tahu, ini berlebihan. Stimulus ekonomi, mungkin mirip nasi Padang. Ia menjadi penyelamat ketika berbagai upaya kita gagal. Namun, seperti juga nasi Padang, ia bisa mengganggu kesehatan bila dikonsumsi berlebihan.
Penutup
Salah satu kendala dari tes PCR saat ini adalah akses dan harganya yang masih terlalu mahal. Padahal, amat dibutuhkan oleh masyarakat. Saya kira harus ada intervensi pemerintah di sini. Soal PCR ini mengingatkan saya pada gurauan seorang teman soal rumah makan Padang: namanya Sederhana, tetapi harganya belum tentu bersahaja.
Baca juga: Hindari Jalur Pertumbuhan Lambat

Chatib Basri kerap menggunakan analogi agar memudahkan pembaca mengerti gagasan opininya.
Tulisan yang baik
Bagi para penulis muda, Chatib berpesan agar menulis dengan fokus. Ia mengakui ada kecenderungan ingin menuliskan banyak hal. Namun, hal itu justru membuat opini tidak to the point. Padahal, menulis di media massa khususnya koran cetak, terbatas pada space.
Tulisan yang baik, ujar Chatib, ialah tulisan yang mampu membuat pembacanya larut dalam pemikiran atau gagasan yang ditawarkan sejak awal hingga akhir tulisan. ”Tulisan yang baik ialah tulisan yang harus selesai sebelum pembaca ingin selesai membacanya. Seperti makanan yang harus habis sebelum kenyang,” tutur dia.
Dalam kesempatan temu penulis muda, para editor dan pengasuh rubrik opini Kompas juga sedikit membongkar dapur redaksi harian Kompas. Kepala Desk Opini Kompas Tati Sam Hadi menyebut, dalam satu hari ada puluhan naskah opini yang masuk ke harian Kompas.

Editor Desk Opini, Yovita Arika, memeriksa dan mengedit tulisan yang masuk ke Desk Opini Kompas. Dalam sehari rata-rata ada 40 tulisan opini yang masuk, tetapi maksimal hanya empat tulisan yang bisa terbit di harian Kompas.
”Dalam periode tertentu, misalnya saat pemilu, dalam sehari bisa lebih dari 100 tulisan per hari yang masuk. Padahal, slot penulisan opini hanya ada dua hingga empat opini untuk terbit di koran dan hanya tiga hingga empat opini yang dipublikasi lewat Kompas.id,” ungkapnya.
Karena itulah, para pengasuh rubrik Opini harus melakukan kurasi untuk mencari tulisan terbaik tiap harinya. Salah satu trik agar tulisan cepat diterbitkan, lanjut Tati ialah terkait waktu.
”Timing dalam penulisan opini sangatlah penting. Opini yang aktual terkait dengan kondisi saat ini menjadi pertimbangan bagi kami dalam memutuskan tulisan tersebut laik publikasi atau tidak,” tutur dia.
Wartawan Kompas, Agnes Aristiarini, yang juga mengasuh rubrik Opini berpesan agar para penulis opini tetap rajin membaca novel bahkan menonton film. Menurut dia, kebiasaan tersebut membantu para penulis untuk belajar menata alur pikiran dan memperkaya kosakata.
Kesempatan nyantrik tidak disia-siakan oleh Ibnu Syamsu Hidayat, Pengacara di Themis Indonesia yang juga beberapa kali menulis opini di Kompas. Ia mengaku opininya pernah ditolak Kompas hingga 10 kali.
”Saat itu saya mengira tulisan saya sudah yang paling baik. Namun, hari ini saya sadar tulisan saya itu tidak fokus. Saya seolah ingin menulis segalanya. Terima kasih atas kesempatan belajar ini,” ujarnya.

Twitter Chatib Basri mencuitkan kesannya seusai menjadi bintang tamu dalam Temu Penulis Muda Kompas. Ia kembali melihat tulisan pertamanya yang diterbitkan di Kompas.
Rasa syukur juga diungkapkan Chatib Basri. Malam itu ia kembali melihat tulisan pertamanya yang dimuat Kompas. Malam itu, Chatib juga bercerita kisah di balik terpilihnya ia menjadi menteri di Era Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono.
“Pak SBY tidak pernah mengenal saya sebelumnya. Namun, saat mendapat tawaran menteri, Pak SBY mengatakan, dirinya mengenal saya dan pemikiran saya lewat opini-opini yang saya tuliskan di Kompas,” tuturnya.
Kesempatan Nyantrik sejatinya bukan sekadar menimba ilmu. Nyantrik adalah kesempatan untuk kembali menemukan potongan pengalaman berharga yang mungkin selama ini terserak.
Jadi, kapan Anda mulai mencoba menulis opini untuk diterbitkan di Kompas?