Aksara Kawi masuk ranah digital setelah didaftarkan ke Unicode tahun lalu. Hal ini membuka peluang untuk pemanfaatan dalam berbagai bidang, termasuk preservasi berbagai teks warisan budaya.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
KEDIRI, KOMPAS — Aksara Kawi atau aksara Jawa Kuno sudah masuk ke ranah digital dan tinggal menunggu pengesahan. Ini merupakan kabar baik karena selama ini aksara Kawi ada di prasasti dan sastra lama yang belum banyak dipahami khalayak. Masuknya Kawi ke dunia digital dinilai akan menambah kecintaan masyarakat terhadap budaya bangsa.
Masuknya aksara Kawi ke dunia digital berawal dari aksi sejumlah pegiat aksara yang mendaftarkan aksara Kawi ke Unicode pada Desember 2020. Unicode adalah sebuah konsorsium internasional yang mengatur standar teknis yang dirancang untuk mengizinkan teks dan simbol dari semua sistem tulisan di dunia.
Para pegiat itu adalah Aditya Bayu Perdana, Ilham Nurwansyah, dan Komunitas Segajabung Yogyakarta, dengan difasilitasi oleh Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi) sebagai salah satu anggota konsorsium Unicode. Unicode akan segera merilis aksara Kawi ke dunia digital tahun depan.
”Aksara kawi sudah masuk dalam dokumen Unicode. Menurut rencana akan diluncurkan di Versi 15 Unicode tahun 2022,” ujar filolog dari Dinas Kebudayaan Provinsi DI Yogyakarta, Setya Amrih Prasaja, saat dihubungi dari Malang, Minggu (14/11/2021).
Setya sebelumnya mengikuti diskusi kelompok terarah (FGD) bertajuk ”Menuju Kongres Aksara Kawi”, di Kediri, Jawa Timur. FGD diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Kediri dan didukung oleh Pandi, Brantas Heritage Society, dan Komunitas Segajabung.
Hadir dalam FGD itu, antara lain, konsultan aksara Nusantara dariPandi, Ilham Nurwansyah, Henri Nurcahyo dari Komunitas Brangwetan, Ketua Tobing Institute Yogyakarta Risang Yuwono, Arief Budiarta dari Komunitas Segajabung, dan ahli aksara Diaz Nawaksara.
Ini akan menjadi titik awal kita memahami atau mengenal kembali budaya Nusantara yang terkubur sekian lama.
Menurut Setya, yang juga Ketua Tim Kongres Aksara Jawa I 2020, masuknya aksara Kawi dalam Unicode harus segera direspons agar pemanfaatannya bisa dilakukan lebih masif di semua ranah digital. Adapun pembahasan mengenai standardisasi, font, dan papan ketik akan dilakukan saat Kongres Aksara Kawi digelar tahun depan.
Sebelum Kawi, sejumlah aksara lain di Nusantara telah lebih dulu terdaftar di Unicode dan masuk ranah digital. Aksara itu adalah Bali, Jawa, Sunda, Lontara-Bugis, Batak, dan Rejang.
Diaz Nawaksara berharap masuknya aksara Kawi ke ranah digital membawa dampak positif. Salah satunya naskah-naskah di prasasti dan kasusastraan lama bisa ditransformasikan ke ruang digital sehingga hal itu akan lebih mudah dimanfaatkan untuk keperluan edukasi.
”Pamor aksara Kawi akan naik. Aksara Kawi akan banyak dilihat, dibaca. Ini akan menjadi titik awal kita memahami atau mengenal kembali budaya Nusantara yang terkubur sekian lama. Pada akhirnya, kecintaan masyarakat terhadap budaya akan meningkat,” tuturnya.
Menurut Diaz, yang juga Ketua Yayasan Pawiyatan Nawaksara, sejauh ini pemerintah pusat belum memiliki badan hukum yang menaungi keaksaraan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sendiri baru memiliki Balai Bahasa, bukan Balai Aksara.
Namun, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) telah menyambut rencana digitalisasi tersebut. ”Kabar terakhir dari Kementerian Kominfo, karena kita bicara digitalisasi, masalah konten akan dilanjut oleh Kemendikbudristek. Soal digitalisasi, sudah disambut oleh Kemkominfo,” katanya.
Kementerian Kominfo, menurut Diaz, juga mengarahkan agar pihaknya mengadakan standardisasi aksara. Saat ini, font aksara Jawa, Bali, dan Sunda (aksara Nusantara) sudah memiliki standar nasional, termasuk papan ketik.
”Desember nanti peluncuran standardisasi font aksara Jawa, Sunda, Bali berikut papan ketik. Setelah itu, tahun depan standardisasi ini sudah masuk TKDN (Teknologi Kandungan Dalam Negeri). Misalnya, jika ada HP (handphone), ketika dijual di Indonesia, wajib menyertakan font dan keyboard aksara Nusantara tadi,” katanya.
Sementara itu, Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar mengatakan, Kota Kediri mendukung digitalisasi aksara Kawi karena ingin ikut merawat tinggalan budaya, seni, dan ilmu pengetahuan. Kediri dinilai cocok menjadi lokasi FGD yang dilanjutkan dengan kongres tahun depan lantaran daerah ini memiliki banyak prasasti dan karya sastra yang menggunakan bahasa Kawi.