Repotnya Menjadi Ayah Muda di Era Digital
Tumbuh di era digital memperlambat kematangan emosi generasi muda. Hal itu memunculkan fenomena ayah muda yang belum siap berperan sepenuhnya jadi ayah.
Tumbuh dalam era teknologi, mengalami pelambatan kematangan mental emosional dibanding generasi sebelumnya, hingga kurangnya dukungan lingkungan membuat menjadi ayah muda saat ini tidaklah mudah. Terganggunya tumbuh kembang anak hingga perceraian di usia perkawninan yang masih muda jadi taruhannya.
Kehadiran ayah, baik secara fisik maupun emosional, sangat penting bagi anak berumur kurang dari tujuh tahun. Namun, kurangnya keterlibatan ayah muda dalam pengasuhan di usia dini itu masih banyak menjadi keluhan ibu-ibu muda. Banyak ayah muda lebih memilih bermain gim atau nongkrong berjam-jam bersama teman dan menyerahkan pengasuhan sepenuhnya pada istrinya.
Fenomena ayah muda yang belum siap penuh jadi ayah itu dinilai sosiolog kesehatan yang juga dosen Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, Argyo Demartoto, Jumat (12/11/2021) mudah ditemukan di masyarakat. Banyak ayah muda tanpa disadari kecanduan video gim hingga abai hal lain yang harusnya diprioritaskan.
Kasus seperti ini mudah ditemukan pada keluarga yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah serta menikah di usia muda. Istri sebenarnya bisa mengingatkan suami untuk mengutamakan hal yang lebih penting, seperti fokus pada pekerjaan, istirahat cukup atau mengasuh anak. Namun, hal ini hanya akan terjadi jika relasi antara suami dan istri setara.
Bermain video gim, berkumpul bersama teman, atau bersosialisasi sebenarnya sah-sah saja bagi ayah muda. Bahkan, kegiatan ini bisa jadi sarana pelepas stres atau kepenatan setelah bekerja atau melakukan berbagai kegiatan seharian. Namun, psikolog klinis anak dan remaja serta penulis buku Tak Ada Sekolah tuk Jadi Orangtua (2021), Anastasia Satriyo mengingatkan pentingnya mengukur intensitas dan frekuensi atau seberapa sering dan seberapa lama kegiatan rekreasional itu dilakukan.
Adapun psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, menambahkan, meski ayah memiliki hak untuk bermain dan berkumpul bersama teman-temannya, ibu dan anak pun memiliki hak yang sama. Ibu juga memerlukan jeda dari kesibukan mengasuh anak atau mengerjakan pekerjaan rumah sepanjang hari. Demikian pula anak berhak menikmati waktunya sendiri tanpa diganggu orangtua.
Baca juga: Orangtua Mengandalkan Intuisi dalam Pengasuhan Anak
Berbagai kepentingan anggota keluarga itulah yang seharusnya diselaraskan. Pola komunikasi yang setara dalam keluarga dan saling menghargai perlu dibangun demi menjamin hak setiap anggota keluarga tanpa harus mengabaikan kewajibannya. Peringatan Hari Ayah Nasional setiap tanggal 12 November bisa dijadikan momentum untuk meningkatkan tanggung jawab ayah dalam pengasuhan maupun mengurus keluarga.
Adaptasi
Siap menikah atau menjadi suami tidak sama dengan siap menjadi ayah. Saat baru menikah, pasangan harus siap beradaptasi menjadi suami-istri. Saat istri mulai mengandung, mereka pun sudah harus siap beradaptasi menjadi ibu dan ayah. Pertumbuhan dan perkembangan proses adaptasi ini berbeda antarpasangan, tergantung tujuan dan kesepakatan yang mereka bangun saat menikah serta komitmen mereka terhadap kesepakatan yang dibangun.
Beradaptasi menjadi suami-istri itu tidak mudah. Jika istri langsung hamil setelah menikah, suami-istri itu harus menghadapi proses adaptasi ganda, menjadi suami-istri sekaligus menjadi ayah-ibu. Kehamilan juga akan memengaruhi fisik dan mental orangtua hingga akan membuat proses adaptasi makin kompleks.
Setelah melahirkan pun, ibu yang belum siap terancam mengalami sindrom baby blues hingga depresi pascapersalinan. Namun, dari studi yang saat ini sedang berlangsung di Inggris, stres pascapersalinan yang memengaruhi suasana hati itu juga rentan dialami ayah.
Karena itu, ”Suami-istri disarankan hamil atau berencana hamil pada satu tahun setelah pernikahan,” lanjut Anastasia.
Beratnya tantangan menjadi ayah muda itu dinilai Anna dipengaruhi banyak hal. Ayah muda saat ini rata-rata diisi generasi Z dan generasi milenial akhir atau berumur 20-30 tahun. Generasi ini tumbuh dengan teknologi. Meski sangat membantu, penggunaan teknologi digital yang intensif membuat kesabaran berproses kelompok usia ini berkurang dan menurunkan daya juangnya. Akibatnya, kematangan mental mereka di usia pernikahan berbeda dengan generasi sebelumnya.
Baca juga: Pengasuhan Berbasis Toleransi Menumbuhkan Anak yang Toleran
Di sisi lain, gen Z dianggap memiliki kebutuhan untuk eksis melalui berbagai kegiatan di dunia maya, baik itu bermain video gim, media sosial, maupun belanja daring. Kebutuhan berinteraksi di dunia maya itu mengalahkan kepentingan lain, termasuk mengasuh anak. Tak jarang, anak justru dijadikan bahan untuk membuat konten media sosial.
”Jelas-jelas ayah muda ini sudah memiliki tanggung jawab anak dan istri, tetapi justru memiliki kebutuhan lain yang mendesak untuk dipenuhi, seperti bermain video gim atau berkumpul bersama teman-teman,” katanya.
Belum berkembangnya kematangan mental emosional kelompok usia ayah muda itu memunculkan batasan usia baru dalam psikologi perkembangan. Di masa lalu, usia 18-35 tahun disebut dewasa muda. Kini ada kelompok baru, yaitu usia 18-25 tahun yang disebut beranjak dewasa (emerging adult) dan seseorang dianggap dewasa jika usianya lebih dari 25 tahun.
Selain itu, kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak bisa jadi karena sang ayah memang tidak siap menjadi ayah. Kesiapan menjadi ayah ini tidak dipengaruhi oleh umur. Sering kali, ketidaksiapan dan ketidakmampuan seseorang menjadi ayah itu ditutupi atau dilampiaskan dengan melakukan hal atau kegiatan yang makin menjauhkannya dari pengasuhan anak.
Jelas-jelas ayah muda ini sudah memiliki tanggung jawab anak dan istri, tetapi justru memiliki kebutuhan lain yang mendesak untuk dipenuhi, seperti bermain video gim atau berkumpul bersama teman-teman.
”Ciri orang dewasa adalah cenderung menyelesaikan masalah yang dihadapinya, bukan malah melarikan diri dari masalah,” tambah Anna.
Tidak hadirnya ayah dalam pengasuhan, baik secara fisik atau emosional, pasti akan berdampak pada anggota keluarga lain, baik anak maupun ibu. Selama ini, ayah dipandang sebagai pemimpin keluarga, pengambil keputusan, hingga pilar keluarga. Padahal, peran ayah jauh lebih besar dari itu. Ayah menjadi penyeimbang yang ketidakhadirannya akan memengaruhi yang lain. Eksistensi ayah pun akan dipengaruhi oleh keberadaan anggota keluarga yang lain.
Absennya ayah muda dalam pengasuhan bisa mengganggu tumbuh kembang anak. Sebagian besar pembentukan otak berlangsung hingga anak berumur 2 tahun. Perkembangan mental emosional anak juga berkembang pesat sebelum anak berumur 7 tahun dan kondisi mental di usia dini itu memberikan pondasi bagi kondisi mental anak saat remaja dan dewasa.
Baca juga: Anak-anak Tetap Tumbuh Kala Pandemi
”Anak berumur kurang dari 7 tahun memahami sesuatu berdasar apa yang dilihat, didengar, dan diraba langsung. Jika ayah tidak hadir, maka akan sulit bagi anak untuk merasa disayangi dan dicintai ayahnya,” tambah Anastasia. Ayah pun akan sulit mengenali perkembangan anak yang bisa berubah dengan sangat cepat.
Untuk itu, Anastasia menyarankan ayah untuk hadir baik secara fisik dan emosi dalam kehidupan anak sehari-hari. Hanya bermain penuh dengan anak selama 20 menit saja, tanpa diganggu telepon atau pekerjaan lain, bisa berdampak besar bagi kesejahteraan anak. Kehadiran fisik dan emosi ayah ini tidak bisa digantikan dengan pemenuhan materi.
Keluarga, masyarakat, dan pemerintah pun perlu mengingatkan kembali pentingnya kehadiran ayah dalam pengasuhan. Menurut Argyo, hadirnya ayah penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan, termasuk dalam program percepatan penurunan prevalensi tengkes maupun penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Ayah muda perlu senantiasa diingatkan komitmennya untuk membangun keluarga yang kuat seperti yang mereka cita-citakan saat menikah.