Butuh Pedagogi Kreatif untuk Pendidikan Sejarah yang Membosankan
Pelajaran sejarah yang terkenal membosankan bisa dibawakan dengan pendekatan pedagogi kreatif. Tak cuma membahas masa lalu, pendekatan ini memiliki perspektif masa kini dan masa depan sehingga lebih kontekstual.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan ilmu sejarah dan historiografi butuh keterhubungan dengan berbagai bidang ilmu. Pendekatannya pun berubah, tak semata tentang kejadian masa lalu, tetapi juga bereksplorasi, berefleksi, serta berperspektif perkembangan hari ini dan masa depan dengan mempertimbangkan dinamika kehidupan manusia dan ilmu-ilmu lain.
Para sejarawan dan pendidik sejarah dapat berkreativitas dan bereksplorasi guna mengaitkan sejarah dengan tantangan kehidupan masa kini untuk membuat sejarah konteksual dan bermakna. Dalam pendidikan sejarah di sekolah, para guru harus dapat melawan stigma yang telanjur melekat bahwa belajar sejarah membosankan.
Persoalan tersebut mengemuka pada hari terakhir penyelenggaraan Konferensi Nasional Sejarah (KSN) yang menghadirkan sejarawan Taufik Abdullah dan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Azyumardi Azra, Rabu (10/11/2021). Konferensi lima tahunan ini digelar Masyarakat Sejarawan Indonesia.
Azyumardi merumuskan historiografi nasional bisa dibawa ke tingkat global. Ia mendalami sejarah perbandingan komparatif masyarakat Muslim di Indonesia, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Kajian sejarah ini pun jaringan global.
”Dalam kajian sejarah kini sudah berkembang yang kualitatif. Ini memerlukan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner. Jadi, sejarah tidak bisa berdiri sendiri. Sejarawan perlu tahu teori sosiologi, antropologi, politik, dan lainnya. Bahkan, sejarah mengenai kehidupan sehari-hari atau sejarah mentality hingga sejarah ekonomi belum banyak dilakukan,” tutur Azyumardi.
Taufik mengatakan, kajian sejarah membutuhkan keterbukaan. Dia mengingatkan sejarawan muda untuk terus belajar dan mendalami ilmu lain.
Yuver K, dosen pendidikan sejarah di IKIP PGRI Pontianak, membahas bahwa kini penting untuk bisa mengaitkan sejarah dengan lingkungan hidup. Salah satunya, tentang peran sungai yang jadi keseharian masyarakat, khususnya Sungai Kapuas di Kalimantan.
”Masih jarang di Indonesia kajian lingkungan yang dikoneksikan dengan pembelajaran sejarah. Dampaknya, kajian tentang sejarah lingkungan, khususnya lingkungan sungai, minim. Para guru terlalu terpaku pada buku teks yang disusun sejarawan yang memang minim kajian sejarah lingkungan, salah satunya sungai,” ujar Yuver.
Guru sejarah sebenarnya tetap punya ruang untuk membahas obyek yang tidak ada dalam buku teks sejarah dengan lokalitas masyarakat tertentu. Semisal bahasan peradaban sungai bagi siswa yang daerahnya memiliki sungai, maka kebermaknaan belajar sejarah bisa dikaitkan dengan sejarah kemaritiman. ”Dengan ide-ide baru yang tidak biasa dilakukan umumnya guru sejarah, justru dapat membuka cakrawala siswa,” kata Yuver.
Sementara itu, Hendra Kurniawan, dosen sejarah Universitas Sanata Dharma, menyoroti pembelajaran sejarah yang kreatif di Nabire, Papua. Akibat materi buku teks sejarah yang Jawa-sentris, siswa di Papua merasa tidak terhubung dengan pembelajaran sejarah.
Guru pun ditantang untuk mengupayakan pembelajaran sejarah yang bermakna. Sebab, belajar sejarah untuk membangun kesadaran kolektif nasional bisa dibangun dengan membuka ruang bagi sejarah lokal.
”Guru yang mengambil strategi menghubungkan materi yang dipelajari dengan dunia nyata membuat belajar sejarah jadi bermakna. Memang masih minim sumber untuk sejarah lokal, tapi siswa bisa diajak menggali dari sejarah keluarga dan komunitas,” ujar Hendra.
Jadi, sejarah tidak bisa berdiri sendiri. Sejarawan perlu tahu teori sosiologi, antropologi, politik, dan lainnya.
Rachmat Susilo, pengajar sejarah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), menawarkan metode living museum untuk mengatasi pembelajaran sejarah yang membosankan. Museum hidup dapat dilihat dari budaya dan tradisi di masa lalu yang masih ada dalam suatu masyarakat/komuniats dan bisa dipelajari dengan menarik.
Salah satunya, perang tomat di Kampung Cikareumbi, Lembang, Jawa Barat. Para siswa SMK pertanian kemudian diajak berkreativitas memanfaatkannya sebagai ajang untuk memasarkan produk tomat dan olahannya di media sosial.
Candra Permana, guru sejarah SMKN 1 Subang, mengatakan, pembelajaran sejarah yang sarat nilai bisa dibawa dalam kehidupan keseharian. Saat membahas tentang pahlawan yang dalam buku sejarah dikaitkan dengan sosok pejuang yang berjasa, bisa dibawa dalam pandangan siswa tentang sosok pahlawan. Mereka bisa berangkat dari situasi riil tentang sosok pahlawan dalam hidup mereka, seperti orangtua.
Guru Besar Sejarah UPI Nana mengatakan, buku teks sejarah yang berisi sosok elite bisa diperkaya dengan sosok pejuang atau pahlawan wong cilik dalam sejarah keluarga dan memasukkan nilai-nilai. Ketika materi sejarah dinilai Jawa-sentris, guru bisa membuatnya menjadi inklusif dengan membawa lokalitas sejarah. Selain itu, sejarah pun tetap bisa terkoneksi dengan aktivitas dan keseharian masyarakat dan persoalan kekinian, termasuk isu lingkungan.
”Pedagogi kreatif itu dapat mengatasi kebosanan pembelajaran sejarah yang sering dengan metode cerita dan materi yang tidak kontekstual,” kata Nana.
Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Sumardiansyah mengatakan, guru harus mampu menjawab tantangan bahwa sejarah bukan ilmu normatif. Sejarah bisa dibawa pada praksis yang juga berkontribusi dalam pembangunan bangsa, lingkungan hidup, karakter, dan global.
”Kreativitas guru dalam mengajar, kemampuan guru mengaktualisasi ilmu, dan menguasai teknologi penting dalam mengembangkan pedagogi kreatif pendidikan sejarah di sekolah,” ucap Sumardiansyah.