Mewujudkan Mimpi dari Gedung ”Transistor" Universitas Cenderawasih
Banyak anak Papua berjuang mewujudkan mimpi mereka melalui pendidikan. Selain pemerintah, banyak pihak ikut menghadirkan layanan pendidikan di daerah itu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Di lorong gedung tua, Selasa (2/11/2021) pagi, Linus Heselo (23) duduk menyendiri. Dari tepian meja, ia mengerjakan tugas kuliah di atas tumpukan kertas. Anak pedalaman Papua tersebut seperti menulis peta masa depan hidupnya dari lorong itu, tempat Universitas Cenderawasih diresmikan pada 10 November 1962.
Lorong itu berada di bekas Gedung Opleiding School Voor Inheemse Bestuursambtenaren (OSIBA) atau Sekolah Pangreh Praja yang dibangun Belanda ketika era kolonial. Kini, gedung kotak mirip radio transistor itu dijadikan tempat perkuliahan bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih (Uncen), termasuk Linus.
Linus berasal dari Kampung Air Garam, Distrik Kurima, Kabupaten Yahukimo. Menggunakan kendaraan darat melalui Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, kampung Linus dicapai dengan waktu tempuh paling cepat empat hari dari Jayapura.
Akses yang sulit membuat tak banyak anak dari kampung itu dapat mengenyam pendidikan tinggi. Sebagai orang pertama dari kampung yang tembus ke kampus itu, ada rasa bangga sekaligus beban yang dirasakan Linus.
Setelah menuntaskan program kuliah kerja nyata beberapa waktu lalu, kini Linus menyiapkan proposal skripsi. Ia ingin selesai secepatnya agar bisa kembali ke kampung. ”Lulusan dari fakultas ini seharusnya jadi politisi atau birokrat, tapi sekarang susah. Jadi, saya pulang kampung biar jadi guru juga tidak apa-apa,” katanya.
Kampung Linus dan beberapa kampung tetangganya masih kekurangan guru. Kendati bukan sekolah guru, Linus merasa bisa mengajar. Ilmu yang ia peroleh dari Uncen dirasa cukup jadi bekal. ”Kalau mengajar sekolah dasar (SD), bisa. Untuk SMP, juga bisa kalau mengajar Pancasila atau Kewarganegaraan,” ujar mahasiswa semester tujuh itu penuh percaya diri.
Di sudut lain Kampus Uncen, empat perempuan duduk mengelilingi meja. Mereka juga sibuk menulis tugas dari dosen. Mereka adalah mahasiswa semester pertama Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Datang dari beberapa kampung di pedalaman, mereka ingin menjadi guru untuk mengabdi di pedalaman.
Veni Tabuni (19) dari pedalaman Kabupaten Puncak, misalnya, bercita-cita menjadi guru lantaran ketika di SD jarang bertemu guru. Guru mereka lebih sering tinggal di kota, yang datang ke kampung menjelang ujian kenaikan kelas. Lulus SMA di Ilaga, ibu kota kabupaten, ia mendaftar masuk ke Uncen dan memilih jadi guru. Ia ingin kembali mengabdi di kampung halaman.
Berasal dari keluarga kurang mampu, Uncen menjadi pilihan baginya. Untuk satu semester, ia membayar Rp 1,2 juta. Sebagai anak asli Papua, ia bakal memiliki peluang mendapatkan beasiswa, baik dari pemerintah maupun pihak lain yang peduli pada pendidikan di Papua. Ia ingin berkompetisi untuk mendapatkannya. ”Kuncinya harus berprestasi, makanya harus belajar sungguh-sungguh,” kata Veni.
Siapkan SDM
Rektor Uncen Apolo Safanpo mengatakan, Uncen menjadi tempat anak-anak Papua belajar meraih masa depan. Banyak orang sukses dari kampus yang hari ini tepat berusia 59 tahun itu. Uncen juga memiliki nilai bersejarah sebagai perguruan tinggi pertama di seluruh Papua.
Hingga November 2021, Uncen sudah melahirkan sekitar 78.000 alumnus yang tersebar, baik di Tanah Papua, sejumlah daerah di Tanah Air, dan berbagai belahan dunia. Saat ini, jumlah mahasiswa Uncen sekitar 24.000 orang yang tersebar di sembilan fakultas dan satu program pascasarjana dengan total 84 program studi. Sebanyak 864 orang jadi pengajar.
Dari sisi sumber daya alam, Papua kaya hasil hutan dan tambang. Namun, menurut Apolo, seiring waktu potensi itu akan terus berkurang. Ia berharap, potensi sumber daya alam itu digunakan untuk membangun sumber daya manusia lewat jalur pendidikan. ”Untuk sejahtera, orang harus berpendidikan,” ujar putra asal Kabupaten Asmat itu.
Menurut dia, masih banyak anak Papua tak mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, bahkan jenjang pendidikan dasar pun tidak. Ia mencontohkan, jumlah penduduk pada usia 18-24 tahun berjumlah 380.000 jiwa.
Namun, pada rentang usia ini, banyak yang tidak mengenyam pendidikan. ”Di Uncen hanya 24.000 dan juga kampus lain, tapi jumlahnya tidak banyak. Sisa yang lain ini belum mendapat layanan pendidikan,” kata rektor dua periode itu.
Yayasan keagamaan
Selain pemerintah, pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan juga dilakukan lembaga keagamaan melalui yayasan pendidikan, di antaranya Yayasan Pendidikan Kristen di Tanah Papua (YPK), Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik di Tanah Papua (YPPK), dan Yayasan Pendidikan Islam di Tanah Papua (Yapis). Pendidikan yang digerakkan komunitas agama itu sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Tanpa yayasan pendidikan keagamaan itu, pendidikan di Tanah Papua pasti masih sangat jauh tertinggal. (Kurniawan Patma)
Secara konsisten, yayasan pendidikan keagamaan melaksanakan misi pengajaran hingga ke wilayah pedalaman yang sulit, yang belum dijangkau bahkan oleh pemerintah. Jenjang pendidikan dimaksud mulai dari anak usia dini hingga perguruan tinggi yang jumlah mencapai ribuan lembaga.
”Tanpa yayasan pendidikan keagamaan itu, pendidikan di Tanah Papua pasti masih sangat jauh tertinggal,” kata Kurniawan Patma, pegiat literasi di pedalaman Papua.
Gambaran film Denias, Senandung di Atas Awan, karya John De Rantau cukup memberi bayangan. Film tahun 2006 itu di antaranya mengisahkan sosok Denias dan Enos, anak pedalaman Papua yang berniat sekolah, tetapi tidak memiliki akses.
Keduanya berjuang hingga bisa diterima. Kisah ini mewakili banyak anak di Papua yang punya semangat tinggi mengubah nasib hidup mereka melalui pendidikan. Di samping itu, ada orang lain yang membantu anak Papua meraih mimpi.
Membangun pendidikan Papua butuh kerja sama semua pihak seperti yang sudah terjadi selama ini. Lembaga pemerintah seperti Uncen, lembaga swasta lainnya, serta yayasan keagamaan yang sudah berupaya menghadirkan layanan pendidikan di sana sepatutnya diapresiasi.
Karya lembaga pendidikan itu seperti pelita yang menerangi lorong gelap, yang menuntun anak-anak Papua mewujudkan mimpinya, termasuk dari gedung ”transistor” Uncen, tempat Linus dan Veni mengerjakan tugas kuliah.