Ipong, kata Efix, menjadi salah satu kurator yang mengajak pimpinan ”Kompas” menyusup sampai ke desa-desa untuk mencari karya-karya terbaik para seniman.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·4 menit baca
Dalam kondisi sakit, Ipong Purnama Sidhi (66) tetap menggoreskan pena di atas kertas. Terciptalah gambar-gambar wajah manusia yang penuh kecemasan. Wajah cemas itu bahkan dipertegas oleh coretan-coretan berulang, yang kemudian membentuk impresi tentang air muka seseorang. Semua gambar disimpan dalam iPad milik menantunya, Agung Prabowo.
Rupanya, tutur Sri Heriyati Kusuma, istri almarhum Ipong, rangkaian karya tentang wajah itu menjadi karya terakhir suaminya. Selasa (9/11/2021), kurator Bentara Budaya, lembaga kebudayaan di bawah naungan Kelompok Gramedia, itu dipanggil Tuhan untuk selamanya. Padahal, belakangan, Heriyati melihat kesegaran dan semangat hidup yang menggebu-gebu di wajah Ipong.
”Tapi apa boleh buat, dia pergi tenang. Padahal cuma pamit untuk tidur dan saya mengajak cucu jalan pagi,” tutur Heriyati dari Gianyar, Bali. Sejak sebulan lalu, Ipong dan Heriyati tinggal untuk sementara di Tegallalang, Gianyar, berdekatan dengan rumah anak dan menantunya. ”Kami sudah memperpanjang tinggal di vila lagi selama sebulan, karena kok kayaknya dia jadi lebih sehat,” kata Heriyati.
Dari area pemakaman di Gianyar, pelukis Widi S Martodiharjo menceritakan bahwa hari ini mereka berjanji untuk saling mengunjungi. ”Kemarin saya berkunjung ke rumah Mas Ipong, nah hari ini Mas Ipong yang janji ke studio saya. Kebetulan tempatnya tidak begitu jauh. Eh, ternyata Mas Ipong sudah pergi di pagi hari,” katanya.
Jadwal kontrol
Menurut Heriyati, sebelum tidur, suaminya sudah mandi, mengenakan pakaian rapi, dan kemudian sarapan. Seharusnya, Selasa pagi Ipong melakukan kontrol rutin ke RS Ari Canti di kawasan Mas, Ubud. ”Tetapi dia bilang mau tidur saja. Padahal dia harus kontrol rutin jantung dan paru-parunya. Nah setelah pamit tidur, eh tidur terus,” kata Heriyati. Saat pulang dari jalan pagi, ia memanggil suaminya yang tertidur. Karena tak ada jawaban, Heriyati masuk ke dalam kamar dan melihat Ipong dalam posisi memeluk bantal.
”Setelah saya panggil-panggil, tidak menyahut juga,” katanya. Kira-kira pukul 10.00 Wita, ilustrator dari banyak buku dan cerpen Kompas pada era tahun 1990-an itu dinyatakan meninggal dunia.
Sebelum menjadi salah satu kurator Bentara Budaya, Ipong menempuh pendidikan seni rupa di Sekolah Tinggi Seni Rupa (ASRI—sekarang ISI) Yogyakarta tahun 1981. Ipong kemudian diundang sebagai seniman tamu ke Konsthogskolan (Royal University) di Stockholm, Swedia. Di situ ia mengerjakan karya-karya litografi, etsa, dry point, karborundum, cukil kayu, dan aquatint. Karya-karya Ipong memiliki ciri khas dengan menggunakan warna-warna primer serta garis-garis tegas berulang, yang kemudian membentuk impresi obyek-obyek lukisnya.
Ia selalu bilang, obyek studinya selalu berupa ekspresi para badut dalam berbagai pose. ”Tetapi terutama badut-badut yang seolah tertawa kecut, karena di dalam dirinya menyimpan kepedihan,” demikian sesama kurator Bentara Budaya, Warih Wisatsana, mengenang rekannya.
Kurator lainnya, Efix Mulyadi, mengenang Ipong sebagai seniman yang selalu berkarib dengan para seniman lain. Oleh sebab itu, para sahabat senimannya tersebar sampai ke desa-desa, seperti di Tebasaya dan Padang Tegal, Gianyar. Ipong, kata Efix, menjadi salah satu kurator yang mengajak pimpinan Kompas menyusup sampai ke desa-desa untuk mencari karya-karya terbaik para seniman. ”Dan karya-karya itu sampai sekarang dikoleksi oleh Bentara Budaya,” kata Efix Mulyadi.
Senin (8/11/2021) siang, dalam kondisi kurang sehat, Ipong masih turut serta menghadiri pertemuan dengan para kurator dan awak Bentara Budaya. Tetapi, sebelum pertemuan selesai, Ipong pamit. ”Saya pamit duluan, karena kondisi tubuh kurang sehat,” tulisnya di ruang chat.
Banyak yang tidak menduga, jika saat mengikuti pertemuan itu, Ipong sedang berada di Bali. ”Saya pikir Mas Ipong di Jakarta. Ketika ada kabar dia meninggal, baru kami tahu bahwa sudah sebulan ini Mas Ipong tinggal di Bali,” tutur Dinartisti Ismadi, salah satu pimpinan di Bentara Budaya.
Banyak orang hanya mengenal Mas Ipong sebagai kurator Bentara Budaya. Padahal, pada era 1980-an sampai 1990-an, seniman grafis ini menjadi ilustrator tetap setiap cerpen yang dimuat di Kompas Minggu. Selain itu, karya-karya ilustrasinya juga dipakai kover buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas dan Gramedia Pustaka Utama. Salah satu karya grafisnya yang terkenal adalah kover buku Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (GPU).
Selama kariernya sebagai seniman, Ipong pernah meraih penghargaan Kompetisi Seni Lukis Remaja Internasional pada Olimpiade Muenchen, Jerman Barat (1972), Sketsa dan Cat Air Terbaik dari ASRI Yogyakarta semasa menjadi mahasiswa (1975), serta meraih tujuh penghargaan untuk desain buku terbaik dari Ikatan Penerbit Indonesia (1983-1989).
Rupanya, garis-garis yang ia gores untuk membentuk wajah-wajah cemas manusia di tengah pandemi Covid-19 menjadi garis terakhir yang kemudian mengantarkannya ke tempat peristirahatan yang jauh. ”Ia sudah lelah. Berikan waktu untuk beristirahat,” kata pelukis Widi S Martodiharjo.
Sebelum benar-benar memasuki masa pensiun, enam tahun lalu, Ipong sudah bolak-balik keluar masuk rumah sakit karena penyakit jantung dan paru-paru. Selamat beristirahat, Mas Ipong. Semoga selalu damai dalam kepakan kasih Tuhan….