Kehadiran PRT, Bukti Perempuan Mendukung Perempuan
Indonesia memiliki sekitar 4,2 pekerja rumah tangga, bahkan diperkirakan tahun 2021 mencapai 5 juta. Namun, RUU Perlindungan PRT yang diperjuangkan selama 17 tahun hingga kini masih belum juga dilanjutkan DPR.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan pekerja rumah tangga pada masa kini sangat penting untuk mendukung dan membantu urusan rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari. Pekerja rumah tangga menjadi salah satu alternatif lapangan pekerjaan yang banyak menyerap pekerja perempuan dan kontribusinya dirasakan secara langsung oleh masyarakat Indonesia.
Kehadiran profesi pekerja rumah tangga (PRT) adalah salah satu bentuk konkret dari perempuan mendukung perempuan dalam perekonomian nasional Indonesia. Ketika para perempuan masuk dalam industrialisasi tenaga kerja, PRT menggantikan pekerjaan dan kewajiban rumah tangga.
”Kontribusi PRT sangat signifikan karena selain berkontribusi untuk kesejahteraan keluarganya dan perekonomian nasional secara umum. Pada saat yang sama, keberadaan PRT melapangkan dan menopang perempuan lainnya, yaitu pemberi kerja untuk dapat masuk ke pasar kerja dan bekerja di ruang publik,” ujar Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah saat tampil sebagai pembicara kunci pada ”Peluncuran Gerakan Ibu Bangsa untuk Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi PRT” yang digelar Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Rabu (3/11/2021).
Sudah 17 tahun RUU PPRT mandek di DPR. Kehadiran negara dinantikan demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan pekerja rumah tangga.
Oleh karena itulah, tidak ada alasan lagi untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi undang-undang. Pengesahan RUU tersebut telah menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dan akan melahirkan sejarah baru dari penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap PRT di Indonesia.
Mengingat jasa PRT sangat diperlukan dalam rumah tangga, Ida menegaskan sudah selayaknya profesi PRT tidak lagi dipandang rendah atau mungkin bahkan hina. PRT harus dipandang sebagai yang seharusnya diciptakan hubungan kerja yang saling menguntungkan antara tenaga kerja dan yang memberi kerja dengan memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing.
Pemerintah dukung RUU PPRT
Karena itulah dibutuhkan payung hukum yang kuat untuk penerapan hal tersebut. Karena itu, setelah 17 tahun berjuang di legislasi, Ida berharap RUU PPRT yang sudah selesai dibicarakan di Badan Legislasi DPR segera menjadi RUU usulan DPR.
”Dan pastinya pemerintah akan menyambut baik pada saatnya RUU ini dibahas bersama dengan pemerintah. Memang pengesahan RUU PPRT akan menjadi sejarah baru dalam penghapusan kekerasan dan diskriminasi di Indonesia khususnya terhadap PRT,” ujar Ida.
Pengesahan RUU PPRT akan menjadi sejarah baru dalam penghapusan kekerasan dan diskriminasi di Indonesia, khususnya terhadap PRT.
RUU PPRT bertujuan menciptakan hubungan industrial yang kondusif tanpa diskriminasi antara pekerja rumah tangga dan pemberi kerja. Karena itulah, hal yang tidak boleh dilewatkan dalam RUU PPRT adalah pentingnya perjanjian kerja antara pekerja rumah tangga dan pemberi kerja untuk menjamin hak dan kewajiban kedua belah pihak, dan tentu saja untuk kepentingan penegakan norma kerja.
Pada acara yang digelar Kowani bersama denga Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), KOSGORO 1957, Institut SARINAH, JalaStoria dan Komnas Perempuan, Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto Wiyogo melakukan Penyerahan Simbolis Kartu Jamsostek kepada PRT menegaskan, pengesahan RUU PPRT adalah wujud kemanusiaan dan keadilan sosial.
Sayangnya, kehadiran PRT sebagai warga negara saat ini belum mendapatkan pengakuan dari negara, UU yang diharapkan tak kunjung disahkan. ”Mereka bekerja untuk memperoleh penghidupan yang layak, itu merupakan hak asasi manusia setiap warga Indonesia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945,” tegas Giwo.
Ketua Panitia Kerja RUU PPRT sekaligus Wakil Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Willy Aditya menyatakan di masa silam PRT dalam kehidupan masyarakat umum disebut sebagai ”pembantu”, ”asisten rumah tangga”, bahkan ”babu” atau ”jongos”.
”Kini mereka secara resmi disebut pekerja rumah tangga. Mereka adalah entitas pengganti dari kerja-kerja harian anggota rumah tangga,” ujar Willy seraya mengutip sosiolog Robertus Robet bahwa secara sosiologis PRT adalah mereka yang bekerja dengan dua fungsi utama, yakni mendukung atau membantu proses reproduksi sosial rumah tangga, serta mendukung/membantu berlangsungnya ekonomi-perawatan di dalam rumah tangga.
Domestifikasi pekerjaan yang kebanyakan dilakukan oleh perempuan, dalam realitasnya, membuat PRT terus berada dalam logika subordinasi. Posisi perempuan yang cenderung disubordinasi di dalam lingkungan sosial akhirnya merambat juga pada praktik subordinasi pekerjaan yang dilakukannya.
Di Indonesia, saat ini, profesi sebagai PRT tidak diakui dan tidak dapat dicatatkan di dalam KTP atau SIM, misalnya. Secara kultural, masyarakat umum pun lebih sering memandang peyoratif profesi ini lewat berbagai atribusi khasnya. Karena kerentanan status dan posisinya, PRT juga kerap mengalami tindak kekerasan para majikannya.