Negatif-positif makna kata bergantung pada pikiran dasar dan tujuan pemakainya. Namun, makna kata juga ditentukan konteks: di mana, kapan, dan dalam situasi apa kata itu digunakan.
Oleh
Maman S Mahayana
·3 menit baca
MAMAN S MAHAYANA UNTUK KOMPAS
Maman S Mahayana, Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UI
Belum lama ini, kata anjay jadi viral. Beberapa pihak menganggap kata itu tidak patut digunakan. Alasannya, kata itu berasal dari kata anjir, turunan anjrit yang sumber aslinya: anjing.
Ada pula yang menilai kata itu mengandung unsur kekerasan verbal. Lalu muncullah imbauan agar anak-anak tak memakai kata itu! Meski begitu, banyak pula yang tak setuju. Sikap yang menilai kata anjay bernuansa negatif terlalu berlebihan, tak paham hakikat bahasa (manusia) yang maknanya dapat meluas dan menyempit. Terlebih lagi, kata itu belum masuk entri kamus resmi (KBBI).
Kata apa pun di dunia ini hakikatnya bermakna netral: tidak negatif, tidak positif. Kata tak lagi netral ketika si pemakai memanfaatkannya untuk tujuan tertentu. Jika sejak awal berpikir negatif, kata apa pun akan bermakna negatif. Orang begitu cenderung melihat apa pun secara apriori, suuzan. Hidup jadinya cuma ada dua sisi: hitam-putih, benar-salah.
Negatif-positif makna kata bergantung pada pikiran dasar dan tujuan pemakainya. Namun, makna kata juga ditentukan konteks: di mana, kapan, dan dalam situasi apa kata itu digunakan. Jadi, setiap kata pada dasarnya bersifat situasional dan kontekstual. Maknanya tidak dapat berdiri sendiri ketika dikaitkan dengan kata lain. Makna kata juga ditentukan fakta dalam kehidupan masyarakat. Tidak sedikit kata dengan makna tertentu dalam kamus dimaknai berbeda ketika digunakan masyarakat. Kata canggih, misalnya.
Kembali ke perkara anjay. Dalam setiap masyarakat selalu ada binatang atau hewan yang diberi konotasi negatif atau positif. Ada beban makna lain berkaitan dengan sistem kepercayaan, ideologi, atau sikap hidup.
Di Barat, babi dan anjing dicitrakan cerdas dan setia. Di China dan Korea, babi dipercaya sebagai hewan pemberi hoki dan rezeki. Namun, di Indonesia, babi dikenai stigma negatif jika dikaitkan dengan doktrin agama. Lalu terjadilah peyorasi, makna yang semula netral jadi negatif. Itulah yang terjadi pada anjing.
Apa yang salah dari hewan yang bernama anjing itu? Ada perlakuan tidak adil yang menciptakan stigma, lalu melahirkan umpatan paling mantap jika menyemburkan nama hewan itu. (Maman S Mahayana)
Apa yang salah dari hewan yang bernama anjing itu? Ada perlakuan tidak adil yang menciptakan stigma, lalu melahirkan umpatan paling mantap jika menyemburkan nama hewan itu. Sebagai bentuk penghalusan, muncullah kata anjir yang menurunkan kata anjrit dan anjay.
Nah, apanya yang salah? Bukankah hewan itu juga ciptaan Tuhan yang sama kedudukannya dengan makhluk lain. Dalam konteks itu, patut kiranya kita menyimak kisah Ibn Arabi (1165-1240), intelektual Muslim dan sufi agung yang sangat dihormati.
Dikisahkan, ketika Ibn Arabi berjalan hendak ke perpustakaan, ia melewati gang sempit. Dari arah berlawanan muncul seekor anjing yang juga akan lewat gang itu. Sebagai pihak yang lebih dulu berada di sana, Ibn Arabi punya hak melanjutkan langkahnya. Apalagi sebagai manusia, ia lebih mulia dari anjing.
Namun, sorot mata anjing itu seolah-olah berkata, ”Adakah yang salah pada diriku? Apakah karena engkau manusia dan aku anjing, aku lebih hina? Tuhan telah menciptakanku dalam perangkap kulit hewan, tanpa kukehendaki.”
Sorot mata anjing itu menyadarkan Ibn Arabi. Ia menyesal telah menilai tak semestinya. Jika boleh memilih, tentu anjing pun ingin diciptakan sebagai manusia. Namun, Tuhan menakdirkan lain. Maka, sebagai wujud rasa syukurnya, ia mempersilakan hewan itu untuk lewat lebih dulu.
Meski bersifat alegoris, kisah ini setidaknya dapat dijadikan cermin betapa mulianya manusia memperlakukan sesama makhluk hidup dengan sikap saling menghormati.
Lalu, apa yang terjadi di negeri ini? Agaknya anjing harus menerima nasib dengan stigma buruk. Meski disamarkan dengan kata lebih halus: anjir, anjrit, dan anjay, masih saja ada yang menilainya dengan kacamata kuda. Nah!
Maman S Mahayana, Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UI