Baito Elok nang Manyatun
Terjemahan dari ”Kabar Baik yang Menyatukan” ke dalam bahasa Melayu Riau.
Baito Elok nang Manyatun : Terjemahan ”Kabar Baik yang Menyatukan” ke dalam bahasa Melayu Riau.
Di tengah banyaknya serbuan kabar buruk yang berpotensi memecah rasa persatuan, masih ada serangkaian kabar baik yang muncul dan merekatkan ikatan kebangsaan.
Keberhasilan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu merebut medali emas di ajang Olimpiade Tokyo, awal Agustus lalu, terasa betul membuat kita bangga sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Sesaat kita melupakan rasa frustrasi menghadapi pandemi Covid-19 dan perbedaan pandangan untuk merayakan kemenangan dan perasaan bangga sebagai bangsa.
Situasi serupa terbangun saat atlet disabilitas Leani Ratri Oktila, Khalimatus Sadiyah, dan Hary Susanto menyumbangkan medali emas lewat cabang bulu tangkis di ajang Paralimpiade Tokyo, September lalu. Sekitar sebulan kemudian, giliran Tim Thomas Indonesia membawa pulang Piala Thomas ke Tanah Air setelah menanti selama 19 tahun.
Keberhasilan itu disambut ucapan terima kasih dan rasa bangga yang diungkapkan masyarakat lewat media arus utama dan media sosial. Ucapan serupa disampaikan untuk atlet-atlet lain yang telah menunjukkan semangat untuk memperjuangkan nama baik bangsa meski belum memperoleh prestasi tertinggi.
Dari dunia penelitian, kabar membanggakan muncul pada akhir 2020. Saat itu, Adi Utarini dinobatkan sebagai satu dari sepuluh ilmuwan yang menentukan perkembangan sains pada 2020 versi Nature, jurnal ilmiah ternama dunia dari Inggris. Ilmuwan dari Universitas Gadjah Mada ini dipilih lantaran berhasil memimpin riset untuk penanggulangan demam berdarah dengue (DBD) yang melibatkan lebih dari 100 ilmuwan.
Tim ini meneliti nyamuk Aedes aegypti yang diinfeksi dengan bakteri Wolbachia. Hasil penelitian ini menjadi modal bagi dunia untuk menghadapi DBD yang setiap tahun menjangkiti lebih dari 400 juta orang di seluruh dunia.
Ketika dunia sedang berkejaran dengan waktu untuk menghasilkan vaksin Covid-19, muncul kabar baik yang membanggakan Indonesia lewat Carina Joe. Peneliti bioteknologi kelahiran Jakarta ini berperan dalam proses pengembangan vaksin AstraZeneca yang dipimpin oleh ilmuwan University of Oxford, Sarah Gilbert. Kini, Carina menjadi salah satu ilmuwan yang memegang hak paten vaksin AstraZeneca.
Dari dunia film, kabar baik muncul lewat keberhasilan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang disutradarai Edwin, merebut penghargaan tertinggi, Golden Leopard, di ajang Locarno Film Festival di Swiss. Inilah untuk pertama kali film Indonesia memenangi penghargaan tertinggi festival Locarno yang bersanding dengan festival film dunia lainnya, seperti Venice, Berlin, dan Sundance.
Di luar prestasi tingkat dunia yang dicatat beberapa individu, kita juga perlu mencatat ”prestasi” kolektif warga yang bergerak bersama mencari penyelesaian atas persoalan bangsa. Ketika pandemi Covid-19 menggila dan membuat banyak orang menderita, muncul aksi solidaritas di sejumlah daerah untuk membantu sesama. Ada yang berbagi makanan, informasi soal ketersediaan oksigen, akses rumah sakit; menyediakan ambulans; atau menyumbangkan tenaga membantu tenaga medis dan mengurus jenazah korban Covid-19.
Di akar rumput muncul pula komunitas-komunitas kreatif yang banyak dipelopori generasi muda lewat gerakan kewirausahaan sosial, konservasi lingkungan dan budaya, literasi politik, dan lain-lain. Ini adalah modal sosial penting untuk merawat ikatan kebangsaan dan rasa persatuan, seperti yang ditanamkan dengan susah payah oleh generasi muda pada dekade 1920-an.
Berita baik yang dibawa anak bangsa, termasuk generasi muda, menjadi indikator bahwa Indonesia masih bisa ”bernapas” seratus atau bahkan seribu tahun lagi meski kita terus diimpit aneka persoalan kebangsaan yang menggerus persatuan, seperti perilaku politik yang memecah belah dan korupsi,” ujar pengamat komunikasi politik dan media dari Universitas Multimedia Nusantara, AG Eka Wenats.
Gerakan yang masih berserakan ini, lanjut Eka, mesti diorkestrasikan agar menjadi kekuatan kolektif yang konstruktif bagi bangsa ini. ”Untuk itu, kita butuh dirigen yang memiliki visi kebangsaan jangka panjang. Tapi justru di situlah kelemahan kita,” ujar Eka.
Cendekiawan dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yudi Latif, melihat persoalan serupa. Menurut Yudi, jika minoritas kreatif pada generasi Sumpah Pemuda mampu mempertautkan dan mengorganisasi potensi-potensi kreatif yang berserak menjadi kesatuan generasi perubahan, generasi hari ini belum menunjukkan kesanggupan seperti itu.
Padahal, kemampuan mengorganisasikan gagasan secara publik-politiklah yang bisa mengangkat partikularitas kekuatan kreatif menjadi kekuatan perubahan kolektif.