Dosen yang seharusnya memproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi masih terbebani dengan urusan administrasi pendidikan. Hal ini dinilai membelenggu tugas dan fungsi dosen sebagai akademisi dan intelektual kampus.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perguruan tinggi membutuhkan dosen cendekiawan yang memiliki kebebasan akademik dan dukungan tata kelola insitusi yang baik untuk mampu terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menyuarakan kebenaran pada komunitas ilmiah dan masyarakat. Sayangnya, otonomi pendidikan tinggi yang menjadi roh atau nyawa peguruan tinggi belumlah seperti yang diharapkan karena masih besarnya intervensi kekuasaan pada institusi pendidikan tingi, termasuk pada dosen.
Para dosen menghadapi berbagai tekanan birokrasi dan administrasi pendidikan yang mengebiri kebebasan akademik. Padahal, mereka seharsunya memproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk pengajaran, penelitian/publikasi, dan pengabdian masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan pada komunitas ilmiah dan masyarakat. Suara cendekiawan dari kampus bukanlah tentang menyuarakan kepentingannya sendiri, tetapi moralitas publik.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistiyowati Irianto yang konsisten menyuarakan otonomi pendidikan tinggi, Senin (25/10/2021), mengatakan, perguruan tinggi dan para dosen di negeri ini belumlah menikmati otonomi pendidikan tinggi yang sudah diamanatkan pendiri dan pemikir bangsa. Salah satunya, dalam Konferensi Pendidikan di Solo tahun 1947 yang merumuskan bahwa yang disebut universitas harus lembaga otonomi supaya bisa terbang tinggi meraih kemajuan-kemajuannya. Karena itu, tidak boleh berada atau dipengaruhi oleh regulasi pemerintah dalam bentuk jawatan pemerintah.
”Esensi universitas itu berbeda dengan lembaga apa pun, tidak bisa disamakan dengan politik maupun bisnis korporasi. Sebab, universitas memproduksi ilmu pengetahuan dan harus memiliki nyawanya itu, yakni kebebasan akademik. Ilmuwan tidak bisa mewujudkan untuk memproduksi ilmu pengetahuan jika tata kelolanya tidak bagus, baik dari keuangan, sumber daya dosen, maupun birokrasi,” ujar Sulistiyowati.
Secara terpisah, di webinar kuliah umum bertajuk ”Esensi Universitas Rumah Produksi Ilmu Pengetahuan” yang digelar Fakultas Hukum UI pekan lalu, pakar aliansi kebangsaan dan anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Indonesia AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) Yudi Latif mengatakan, universitas merupakan miniatur realitas alam semesta yang harus dibudayakan dalam pendidikan. Namun, ada begitu banyak praktik yang tidak sejalan dengan etis dan otentisitas yang seharusnya membuat perguruan tinggi jadi rujukan.
”Untuk jadi guru besar, dikedepankan pendekatan kuantitatif dengan ukuran eksternal seperti harus bersertifikat, punya angka kredit atau KUM membuat guru besar tidak fokus pada motivasi pengembangan ilmu yang bermutu, tapi yang cepat-cepat untuk mengakumulasi KUM yang tinggi dengan berbagai cara. Ketidakotentikan itu sudah hidup dalam jiwa profesor sendiri. Pendekatan yang dikembangkan pendidikan sebisa mungkin jangan terlalu terstruktur kaku dengan stick and carrot, tapi memotivasi inner motivation atau motivasi internal seseorang,” kata Yudi.
Yudi juga menyoroti tren di Indonesia di mana para guru besar dari perguruan tinggi jadi lebih merasa berguna ketika terlibat di pemerintah. Banyak guru besar yang jadi birokrat pemerintah, yang seharusnya diperkuat untuk menjadi profesor berkualitas di perguruan tinggi.
Yudi mencontohkan Finlandia yang mampu menjadi salah satu mercusuar pendidikan karena memuliakan dosen dan guru untuk menjadi profesi hebat. Dukungan tata nilai, tata kelola, dan kesejahteraan harus diberikan untuk para dosen dan pendidik.
Menyakiti hati dosen
Sulistiyowati mengatakan, realitas pengelolan kampus sebenarnya banyak menyakiti hati dosen. Para dosen dengan berbagai kewajiban administratifnya yang berat berjuang untuk bisa kuliah ke jenjang doktor dan mengejar gelar profesor dengan pengorbanan besar. Ada kewajiban untuk publikasi terindeks Scopus atau bereputasi internasional, tetapi minim dukungan anggaran dan fasilitas penelitian. Ketika mendapat dana penelitian dari pemerintah, urusan administrasinya juga rumit, ada aturan tidak boleh untuk dana pembelian atau kegiatan ini, hanya boleh untuk dana kegiatan yang ditentukan yang ternyata tidak sesuai kebutuhan riset di lapangan.
Universitas memproduksi ilmu pengetahuan dan harus memiliki nyawanya itu, yakni kebebasan akademik. Ilmuwan tidak bisa mewujudkan untuk memproduksi ilmu pengetahuan jika tata kelolanya tidak bagus, baik dari keuangan, sumber daya dosen, dan birokrasi.
”Tapi, realitas saat ini, begitu mudahnya perguruan tinggi dengan pimpinan yang dekat dengan kekuasaan pemerintah memberikan gelar kehormatan doktor honoris causa, lalu profesor honoris causa. Memang tidak ada hukum yang melarang, tetapi apakah kontribusi ilmiahnya pada kampus dan masyarakat benar teruji. Sebab, yang menerima banyak dari kalangan partai politik maupun pejabat pemerintahan,” ujar Sulistiyowati.
Dosen juga terus menghadapi sistem yang berubah. Salah satunya berdampak pada kewajiban mengisi berbagi formulir atau borang yang beragam.
Ada pengisian data di berbagai laman yang berbeda yang tidak terintegrasi sehingga terus berulang untuk kebutuhan pelaporan penelitian pengabdian masyarakat atau kegiatan dosen, kenaikan pangkat, sertifikasi dosen. Ada pelaporan beban kerja dosen tiap semester.
”Dosen seperti tidak dipercayai, semuanya harus dilaporkan detail. Tugas dosen kini sudah caturdarma, ditambah menjadi menjadi manusia adminsitraif mengisi beragam borang atau formulir yang diwajibkan pemerintah,” kata Sulistyowati.
Demikian pula Kampus Merdeka yang dalam implementasinya aspek teknis administrasi dirasa membebani dosen karena masih banyak hal yang tidak sinkron.
Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, dalam tulisan di Opini Kompas pada Rabu (20/10/2021), mengatakan, kuasa administrasi pendidikan membelenggu tugas serta fungsi dosen sebagai akademisi dan intelektual kampus. Ini akan menghasilkan jejak peradaban pendidikan tanpa pendidikan. Ada jeratan administrasi pendidikan yang membelenggu ruang gerak dosen sebagai kaum intelektual kampus karena lebih fokus menyusun laporan administrasi pendidikan daripada mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nizam mengatakan, bangsa membutuhkan dosen terbaik untuk mendukung terwujudnya sumber daya manusia unggul di perguruan tinggi. Dengan semangat Kampus Merdeka, kini dosen juga ”dimerdekakan”. Dalam tridarma perguruan tinggi, misalnya, dosen diberi runag untuk menegaskan fokus pada pengajaran, penelitian, atau pengabdian mssyarakat yang sesuai passion tiap dosen.
Transformasi dalam pengelolaan sumber daya di pendidikan tinggi juga mulai ditata secara digital dan terintegrasi untuk membantu dosen lebih fokus pada peningkatan produktivitas tanpa dibebani banyak urusan administrasi yang berulang. Pada Agustus lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi meluncurkan laman penilaian angka kredit (PAK), sistem pelacakan secara mandiri atau Selancar PAK Mobile, Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi Beban Kerja Dosen atau Sister BKD, dan API Prortofolio Sister untuk menghubungkan aplikasi berbeda dalam platform yang sama.