Ini Lima Penyebab Hutan Hujan Tropis Sumatera Terancam Dicoret sebagai Warisan Dunia
Nasib kelestarian Hutan Hujan Tropis Sumatera yang menjadi area konservasi terbesar di kawasan Asia Tenggara belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Sejak 2011, situs alam warisan dunia ini masuk daftar merah UNESCO.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Hutan Hujan Tropis Sumatera seluas 2,5 juta hektar sudah ditetapkan sebagai situs alam warisan dunia sejak 2004. Namun, 10 tahun terakhir, hutan dengan total luasan 2.595.124 hektar itu masuk dalam daftar merah warisan dunia atau berada dalam kategori bahaya. Jika tidak ada upaya serius untuk menjaga kelestariannya, Hutan Hujan Tropis Sumatera akan dicoret dari daftar situs alam warisan dunia.
Hutan Hujan Tropis Sumatera meliputi tiga taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan Taman Nasional Bukit Barisan. Tiga taman nasional ini merupakan salah satu area konservasi terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Keragaman hayati menjadi kekayaan dari Hutan Hujan Tropis Sumatera. Di kawasan ini hidup sekitar 10.000 spesies tanaman, termasuk 17 di antaranya adalah jenis tanaman endemik. Keragaman hayati satwa di hutan ini juga luar biasa, meliputi 201 spesies mamalia, dan 580 spesies burung, di mana 465 di antaranya merupakan burung migran, dan 21 lainnya merupakan burung endemik.
Pengakuan bukanlah tujuan akhir, melainkan mesti menjadi dasar bagi masyarakat dan pemerintah untuk merawat dan melestarikannya.
Sebanyak 22 spesies di Hutan Hujan Tropis Sumatera merupakan hewan endemik di Paparan Sunda, dan 15 di antaranya berada di wilayah Indonesia, termasuk satwa endemik orangutan sumatra (Pongo abelii). Selain, itu, di sini juga hidup spesies mamalia kunci, meliputi harimau sumatera, badak, gajah, dan beruang madu.
Kawasan Hutan Hujan Tropis Sumatera juga meliputi salah satu gunung berapi terbesar di Indonesia, yaitu Gunung Kerinci (3.805 meter di atas permukaan laut atau mdpl) dengan berbagai keindahan alamiahnya, termasuk salah satunya Danau Gunung Tujuh yang merupakan danau tertinggi di Asia Tenggara.
Ancaman
Karena kekayaan fauna dan satwanya, Hutan Hujan Tropis Sumatera pada 2004 berhasil ditetapkan sebagai situs alam warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Namun, setelah satu dasawarsa berjalan, kawasan itu mengalami sejumlah ancaman.
Menurut catatan UNESCO, setidaknya ada lima ancaman serius yang membahayakan kelestarian Hutan Hujan Tropis Sumatera, meliputi pembangunan jalan di dalam area hutan atau taman nasional, gangguan perluasan lahan pertanian, pembalakan liar, perburuan satwa, dan lemahnya kebijakan lembaga institusi serta pemerintah. Menurut catatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, sejak 2011 terdeteksi ada ancaman serius terhadap spesies kunci Hutan Hujan Tropis Sumatera, seperti harimau, badak, orangutan, dan gajah, ancaman terhadap tutupan dan lanskap hutan, perambahan hutan, penebangan liar, serta perburuan liar.
Anggota Komite Eksekutif Asian Academy for Heritage Management, Johannes Widodo, mengatakan, UNESCO melalui World Heritage Center atau Pusat Warisan Dunia telah menyurati Pemerintah Indonesia terkait dengan sejumlah pembangunan yang dilakukan di sekitar kawasan warisan dunia pada Oktober 2020, Januari 2021, dan Maret 2021.
Menurut Johannes, surat-surat itu merupakan peringatan bagi Pemerintah Indonesia agar segera berbenah. ”Itu ’kartu kuning’ dari UNESCO. Kita sudah dapat dua ’kartu kuning’, yaitu Borobudur dan Taman Nasional Komodo. Jika tidak ditindaklanjuti, kita akan diberi kartu merah, yaitu dimasukkan ke daftar warisan budaya dalam bahaya, sama seperti Hutan Hujan Tropis Sumatera,” ujarnya (Kompas, 4 Agustus 2021).
Penasihat Tim Ahli Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Wardiman Djojonegoro, beberapa waktu lalu mengatakan, pengakuan dunia menjadi dasar kita untuk lebih merawat dan melestarikan semua warisan yang ada. ”Dunia saja sudah menerima, mengapa kita masih membiarkannya?” ujarny a.
Puluhan kekayaan alam, warisan budaya, dan arsip dokumenter Indonesia telah mendapatkan pengakuan dunia. Meski demikian, pengakuan bukanlah tujuan akhir, melainkan mesti menjadi dasar bagi masyarakat dan pemerintah untuk merawat dan melestarikannya.