Jangan Kurangi Bantuan Iuran BPJS Kesehatan bagi Warga Miskin
INFID dan BPJS Watch membuat petisi untuk mendorong supaya tidak ada warga miskin yang terhapus dan terlewatkan dalam Program Penerima Bantuan Iuran-Jaminan Kesehatan Nasional (PBI-JKN).
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
Ā·6 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Hunian beratap asbes perkampungan nelayan di pinggir Kali Rawa Malang, CIlincing, Jakarta Utara, Selasa (27/7/2021).
JAKARTA, KOMPAS ā Pandemi Covid-19 mengakibatkan bertambahnya jumlah warga miskin karena meningkatnya angka pengangguran dan matinya banyak usaha kecil dan menengah. Karena itulah, pemerintah harus terus mendukung kelompok warga miskin dan tidak mampu agar tetap memiliki jaminan kesehatan.
Untuk mendorong agar tidak ada warga miskin yang terhapus dan terlewatkan dalam Program Penerima Bantuan Iuran-Jaminan Kesehatan Nasional (PBI-JKN), International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) membuat Petisi, āMensos, Kembalikan 9 Juta Orang Miskin yang Dihapus dari JKNā pada tautan https://www.change.org/JanganKurangiBantuan .
Petisi tersebut dimulai pada Jumat (15/10/2021). Pada lembar petisi tersebut, antara lain, INFID dan BPJS Watch menyebutkan mereka membuat petisi kepada Menteri Sosial Tri Rismaharini untuk mengembalikan kuota kepesertaan 9 juta PBI-JKN bagi kelompok miskin dan tidak mampu dengan membatalkan Keputusan Menteri Sosial terkait Penetapan PBI-JKN Tahun 2021 untuk BPJS Kesehatan.
Jika Kemensos memang bertujuan memperbaiki data kepesertaan PBI-JKN, sudah seharusnya mereka membuka data 9 juta orang yang dikeluarkan dari PBI-JKN mengacu pada UU Keterbukaan Informasi Publik.
āJaminan kesehatan adalah hak dasar yang dijamin UUD 1945, dan kemudian dimandatkan kepada pemerintah. Oleh karenanya, BPJS Watch menolak kehadiran Kepmensos No 92 Tahun 2021 yang menghapus 9 juta warga penerima bantuan iuran BPJS kesehatan,ā ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar.
Pada masa pandemi saat ini, seharusnya bantuan iuran kesehatan dalam tahun ke depan perlu diperluas karena pandemi menyebabkan peningkatan jumlah warga miskin dan pengangguran. āJika Kemensos memang bertujuan memperbaiki data kepesertaan PBI-JKN, sudah seharusnya mereka membuka data 9 juta orang yang dikeluarkan dari PBI-JKN mengacu pada UU Keterbukaan Informasi Publik,ā ujarnya.
KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI
Petugas mengecek ulang jumlah sembako di Kelurahan Slerok, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, Jawa Tengah, Minggu (19/4/2020).
Timboel menegaskan, Mensos pun harus menjelaskan kenapa 9 juta orang dihapus. āKalau alasan NIK, ya, ini, kan, bukan salah orang miskin, kan, di segmen lain ada juga peserta yang tidak punya NIK, tapi masih bisa jadi peserta. Kalau dibilang data ganda, apakah semuanya ganda. Sejak 2018 ditemukan data ganda sudah dilakukan pembersihan dan yang ganda terus menurun jumlahnya, enggak banyak lagi,ā ujar Timboel.
Selanjutnya, Timboel juga mempertanyakan, kalau dibilang 9 juta sudah mampu, apa dasarnya? āApakah sudah disurvei dengan baik? Saya yakin belum. Lalu kenapa yang miskin baru tidak boleh masuk PBI, kecuali bayi baru lahir dari ibu PBI-JKN?ā ujar Timboel.
Bona Tua, Senior Program Officer SDGs INFID, menegaskan, efisiensi realokasi anggaran APBN hingga Rp 4,5 triliun dari penghapusan 9 juta PBI-JKN juga harus dilakukan terbuka dan diperuntukkan manfaatnya bagi warga miskin dan pengangguran.
āMarah-marah di daerah terkait data dan bantuan tidak akan memberikan solusi. Kemensos dan BPJS Kesehatan harus membuka data 9 juta warga miskin yang dihapus dari bantuan kesehatan dengan by name by address, atau minimal berdasarkan wilayah, jender, usia, atau pendapatan dan pekerjaan,ā kata Bona Tua.
Sebar petisi
Untuk itu, INFID dan BPJS Watch, meminta publik mendukung petisi dan sebar tagar #JanganKurangiBantuan agar 9 juta warga miskin dan tidak mampu dikembalikan haknya menjadi penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional BPJS Kesehatan! Tanda tangan kamu sangat berdampak bagi nasib jaminan kesehatan mereka ke depan.
INFID dan BPJS Watch menilai keputusan Kemensos menghapus hampir 9 juta warga miskin dari daftar Penerima PBI-JKN justru membuat masyarakat sudah jatuh, tertimpa tangga. Padahal, Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada Pasal 14 mengamanatkan pemerintah untuk membayar iuran kepesertaan JKN bagi peserta fakir miskin dan tidak mampu dalam BPJS Kesehatan.
Menurut Bona Tua, PBI-JKN bertujuan agar seluruh warga negara, termasuk warga miskin, dapat tercakup dalam JKN (universal health coverage/UHC). Mengikuti RPJMN, target JKN/UHC tahun 2024 diharapkan dapat menjangkau 98 persen penduduk Indonesia.
Adapun data kepesertaan JKN yang terdaftar per akhir Agustus 2021 sebanyak 225.964.199 orang (83 persen penduduk Indonesia) dengan peserta yang menunggak (tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan) sebanyak 17.365.671 orang. Itu berarti, angka riil peserta JKN/UHC per Agustus 2021 adalah 205.598.528 orang (76 persen penduduk Indonesia).
Meski demikian, menurut Timboel, Menteri Sosial Tri Rismaharini pada 15 September 2021 telah mengeluarkan Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) No 92/HUK/2021 tentang Penetapan PBI-JKN Tahun 2021 untuk BPJS Kesehatan. Mensos menetapkan kepesertaan PBI-JKN 2021 sejumlah 87 juta jiwa.
Peserta PBI-JKN tersebut terdiri dari 74 juta jiwa berasal dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kemensos, dan 12,6 juta jiwa dari data lanjutan verifikasi pemerintah daerah (pemda).
āData lanjutan verifikasi pemda ini dapat berpotensi menurunkan total jumlah PBI-JKN lagi bila ternyata saat verifikasi data menemukan warga sudah meninggal, pindah segmen, atau data ganda,ā ujar Timboel.
Padahal, saat ini jumlah peserta PBI-JKN per 1 September 2021 sebanyak 96,1 juta jiwa dari kuota yang dibiayai APBN sebanyak 96,8 juta jiwa (tercantum dalam nota keuangan RAPBN 2021 dan 2022). Artinya, Presiden dan Menteri Keuangan sudah menetapkan bahwa kepesertaan PBI JKN tidak mengalami perubahan untuk tahun 2022.
āMelihat selisih jumlah peserta PBI JKN per 1 September 2021 dengan jumlah PBI JKN berdasarkan Kepmensos, maka kemudian terdapat sekitar 9 juta jiwa warga miskin yang dihapus dari penerima bantuan iuran kesehatan oleh pemerintah,ā ujar Timboel.
Bappenas
INFID dan BPJS Watch juga menemukan, selain Kepmensos, surat Menteri PPN/Bappenas Suharso kepada Presiden tanggal 26 Juli 2021 juga berpotensi menghalangi pencapaian target 98 persen jaminan kesehatan nasional pada 2024. Menteri PPN/Bappenas memberikan skenario program dengan catatan penurunan jumlah peserta bantuan sosial hingga 2024, di antaranya penyesuaian masing-masing kuota pada Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako, dan PBI-JKN.
Khusus Program PBI -JKN, skenario tahun 2021 mencatat 96,8 juta jiwa, dikurangi menjadi sebanyak 80 juta jiwa pada 2022, kembali berkurang menjadi 60 juta jiwa di tahun 2023, dan menjadi sebanyak 40 juta jiwa pada tahun 2024.
Kemensos justru menemukan ada sekitar 9 juta nama penerima program tersebut yang tidak masuk dalam DTKS karena datanya tidak sesuai, meninggal, data ganda, dan lain sebagainya.
āMelihat kepada Kepmensos yang menghapus 9 juta warga miskin dalam PBI-JKN, serta surat Menteri PPN/Bappenas yang berencana melakukan skenario pengurangan PBI-JKN hingga 2024, maka kebijakan tersebut terbilang aneh,ā ujar Bona Tua.
Kebijakan tersebut, menurut Timboel dan Bona, kontradiktif dengan data BPS yang justru menunjukkan kenaikan pengangguran sebesar 1,82 juta orang akibat dampak pandemi Covid-19. Angka ini merujuk pada angka pengangguran BPS di Februari 2021 sebanyak 8,75 juta orang dibandingkan Februari 2020 sebanyak 6,93 juta.
āAngka kenaikan pengangguran tersebut tentunya juga selaras dengan angka kenaikan persentase penduduk miskin yang dirilis oleh BPS,ā ujar Timboel.
Sebelumnya, pada akhir September 2021, kepada pers, Senin (27/9/2021), Mensos Tri Rismaharini memastikan tidak ada orang miskin yang dikeluarkan dari Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2021. Kemensos justru menemukan ada sekitar 9 juta nama penerima program tersebut yang tidak masuk dalam DTKS karena datanya tidak sesuai karena meninggal, data ganda, dan lain sebagainya.
Meski demikian, kesempatan masyarakat miskin yang tidak terdata untuk masuk DTKS sangat terbuka. Sebab, dari kuota nasional sebanyak 96,8 juta, terdapat kuota 9.746.317 untuk usulan baru, termasuk perbaikan data yang belum padan dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri.
Kemungkinan untuk masuk kuota Penerima PBI-JKN Tahun 2021 terbuka jika ada migrasi dari PBI daerah, bayi baru lahir, pekerja yang setelah enam bulan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan belum punya pekerjaan, korban bencana, dan lain-lain.