Kualitas pendidikan dan status kesehatan bangsa merupakan dua hal yang penting diperhatikan dalam pembangunan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Kompas/Priyombodo
Ibu guru Nurlela mengajar siswanya sambil mengasuh anak di SD Negeri Papagarang di Dusun Lamolo Jaya, Desa Papagarang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (2/10/2021). Pembelajaran tatap muka dilakukan di sekolah tersebut karena keterbatasan akses internet.
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan yang berkelanjutan bertumpu pada pendidikan masyarakat. Namun, Indonesia masih menghadapi rendahnya angka harapan lama sekolah hingga kesenjangan kualitas pendidikan.
Hal tersebut mengemuka pada sesi kuliah daring yang diadakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Rabu (13/10/2021), untuk mengenang mendiang ekonom Widjojo Nitisastro. Materi dibawakan oleh ekonom dan anggota Komisi Ilmu Sosial AIPI, Emil Salim, yang juga sahabat Widjojo.
Menurut Emil, ilmu pengetahuan menjadi dasar menyelesaikan masalah, seperti yang dilakukan Widjojo saat membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi tahun 1960-an. Indonesia pernah mengalami hiperinflasi 306 persen pada 1963, kemudian naik menjadi 1.130 persen pada 1965. Indonesia juga terlilit utang sebesar 2,5 miliar dollar AS pada 1966.
”Widjojo Nitisastro tidak menerapkan teori dan kekuatan politik, tapi ilmu pengetahuan untuk mengatasi krisis ekonomi. Sejak 1969, Indonesia mencapai kesepakatan untuk melunasi utang dalam kurun waktu 30 tahun. Sejak itu Indonesia baru melancarkan rencana pembangunan lima tahunan yang pertama,” kata Emil.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Ekonom Widjojo Nitisastro tersenyum seusai menandatangani bukunya, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro dan Esai dari 27 Negara tentang Widjojo Nitisastro, dalam peluncuran di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Kamis (14/1/2010).
Kendati penting, kualitas pendidikan Indonesia masih tergolong rendah. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), pada 2019, Indonesia ada di urutan ke-107. Indonesia berada jauh di bawah Norwegia di urutan pertama dan Singapura di urutan ke-11.
Salah satu penilaian IPM adalah rata-rata lama sekolah. Sepanjang 2010-2020, angka tersebut di Indonesia tergolong rendah. Pada 2019, rata-rata lama sekolah di Indonesia 13,6 tahun, sementara Norwegia 18,1 tahun dan Singapura 16,4 tahun.
Kualitas pendidikan Indonesia juga tampak dari data Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS). Pada 2015, Indonesia ada di peringkat ke-44 dari 49 negara.
Adapun Program for International Student Assessment (PISA) pada 2018 mencatat Indonesia ada di peringkat ke-71 dari 79 negara untuk urusan sains. Peringkat membaca Indonesia di urutan ke-74 dan matematika urutan ke-73.
Ilmu pengetahuan menjadi dasar menyelesaikan masalah, seperti yang dilakukan Widjojo saat membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi tahun 1960-an.
”Dampak kualitas pendidikan yang rendah adalah ketimpangan kualitas di kota dan desa,” kata Emil. Ia menambahkan, ”Ini juga berpengaruh ke tingkat pengangguran terbuka yang akan naik.”
Kompas/Totok Wijayanto
Seorang siswa asal Kampung Ewer tiba di dermaga kota Agats, Asmat, Papua, dengan menaiki boat, Selasa (12/10/2021). Tidak adanya sekolah dasar di Kampung Ewer menyebabkan anak-anak di kampung tersebut harus menaiki boat sekitar 30 menit menuju Agats untuk mendapatkan pendidikan.
Oleh karena itu, Emil mendorong agar kualitas pendidikan di tiap daerah ditingkatkan. Selain pendidikan, meningkatkan asupan gizi dan kesehatan masyarakat penting untuk membangun kualitas sumber daya manusia.
Emil menjelaskan, pendidikan merupakan hulu pembangunan berkelanjutan. Pendidikan akan mendorong pengembangan teknologi. Teknologi selanjutnya memengaruhi produktivitas, sementara produktivitas memengaruhi pembangunan berkelanjutan.
Namun, pembangunan itu juga mesti disertai empat jenis kecerdasan individu. Pertama, kecerdasan kontekstual agar mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman di masa depan. Kedua, kecerdasan emosional. Ketiga, kecerdasan rohani atau jiwa. Keempat, kecerdasan fisik.
Keempatnya dibutuhkan agar pembangunan tidak merusak lingkungan dan humanistis. Adapun pandemi Covid-19 yang terjadi sekarang merupakan buntut kerusakan lingkungan.
Kompas/Totok Wijayanto
Siswa serius mengerjaan soal saat pelaksanaan asesmen nasional berbasis komputer (ANBK) di SMK Negeri 15 Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (22/9/2021). ANBK adalah program evaluasi yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk mengevaluasi keberhasilan sistem pembelajaran di sekolah dan memetakan sistem pendidikan. ANBK dilaksanakan dalam dua gelombang. Gelombang pertama 20-21 September dan gelombang selanjutnya 22-23 September. Setiap sekolah memilih salah satu dari gelombang tersebut. ANBK tersebut diikuti 45 siswa dari perwakilan masing-masing sekolah.
Sebelumnya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, pembangunan berkelanjutan merupakan solusi atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan aktivitas manusia. Pembangunan berkelanjutan berlangsung dengan menjaga keseimbangan kepentingan ekonomi, sosial, dan kelestarian alam.
Wapres Amin mengatakan, ajaran Islam memerintahkan agar manusia berusaha semaksimal mungkin untuk memakmurkan bumi. Adapun agama melarang manusia melakukan perusakan ketika memakmurkan bumi. ”Dengan demikian, Islam mendorong dalam memakmurkan bumi agar dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan tidak melakukan perusakan lingkungan,” katanya (Kompas.id, 4/10/2021).