Peraturan Presiden untuk Peningkatan Budaya Literasi Disiapkan
Pemerintah menyiapkan regulasi berupa PP untuk meningkatkan literasi masyarakat. Ini diharapkan bisa membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memajukan budaya literasi masih menjadi tantangan di Indonesia. Meskipun ada berbagai gerakan literasi secara nasional, tingkat sekolah ataupun keluarga, gerakannya tidak bersama-sama dan tidak bersinergi sehingga tidak berdampak optimal pada peningkatan budaya literasi nasional. Untuk itu, peta jalan peningkatan budaya literasi disiapkan dan akan diperkuat dengan peraturan presiden.
Asisten Deputi Literasi, Inovasi, dan Kreativitas Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Jazziray Hartoyo, dalam peluncuran Platform Buku Digital Untirta Press dan Seminar Literasi, Selasa (12/10/2021), mengatakan, peta jalan literasi nasional 2021-2024 akan menyasar gerakan literasi nasional di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Saat ini, ada 61 kementerian/lembaga yang melakukan gerakan literasi, tetapi tidak terintegrasi dan terkoordinasi.
”Dengan ada pedoman pembangunan budaya literasi budaya dan di tahun 2022 diharapkan menjadi peraturan presiden, nanti ada koordinasi gerakan literasi sampai ke pemerintah daerah. Belum banyak pemerintah daerah yang punya program literasi sehingga perlu dipicu,” tutur Jazziray.
Menurut dia, perlu kerja keras dan sinergi untuk membangun budaya literasi bangsa karena berdasarkan data awal (baseline), nilai budaya literasi di tahun 2019 baru 59,11. Peningkatan budaya literasi ini untuk mewujudkan masyarakat berpengetahuan, inovatif, dan kreatif.
Di Indonesia justru terdisrupsinya karena kultur nonliterasi atau karena lemahnya budaya literasi.
Nilai atau indeks budaya literasi dilihat dari persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang membaca selain kitab suci, baik secara cetak maupun elektronik; persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengakses internet, serta persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengunjungi perpustakaan/memanfaatkan taman bacaan masyarakat. Dari ketiga indeks, yang terendah terkait kunjungan ke perpustakaan, di tahun 2018 hanya sekitar 12,16 persen.
Pada 2024, peningkatan indeks budaya literasi ditargetkan 71,04 persen. Kenyataannya dari kurun 2018 ke 2019, hanya naik 4,08 poin.
Sejumlah intervensi dapat dilakukan, antara lain peningkatan akses dan kualitas layanan literasi (perpustakaan umum provinsi/kabupaten/kota, perpustakaan sekolah/madrasah, perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat), dan peningkatan ketersediaan konten literasi yang berkualitas dalam berbagai moda (buku, e-book, video). Selain itu, peningkatan budaya kegemaran membaca melalui sekolah, keluarga, dan masyarakat, serta peningkatan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung transformasi digital.
Buku digital
Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Fatah Sulaiman mengatakan, budaya literasi tetap harus bisa dikembangkan di era digital. Kompetensi literasi digital mendukung masyarakat untuk memiliki pola pikir kritis, kreatif, dan santun.
Menurut Fatah, Untirta berkomitmen untuk mengembangkan budaya literasi dari kampus lewat penerbitan Untirta Press. Di era digital ini, platform digital Untirta Press yang diresmikan hari ini menyediakan 100 buku digital yang dapat diakses publik untuk mendapatkan pengayaan dari berbagai disiplin ilmu sebagai sumbangsih literasi dari Untirta.
”Ada 700 dosen PNS di Untirta. Saya wajibkan satu tahun minimal menghasilkan satu buku, dari buku teks, buku diktat kelas untuk masuk platform Untirta Press digital,” kata Fatah.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman mengatakan, literasi masih jadi tantangan. Di dalam UU Sistem Perbukuan tahun 2017, hingga saat ini baru ada satu peraturan pemerintah (PP) dari sembilan PP yang harus disiapkan. Termasuk belum ada peraturan daerah turunan.
Di era digital, nyatanya buku digital belum membuat buku cetak terdisrupsi. ”Di Indonesia justru terdisrupsinya karena kultur nonliterasi atau karena lemahnya budaya literasi. Buku cetak dan digital terjadi penurunan dari tahun 2017,” ujar Arys.
Secara umum, buku digital belum jadi pengganti. Pangsa pasar buku digital masih di bawah 10 persen. Tertinggi di dunia ada di negara-negara Skandinavia berkisar 20 persen.
Perkembangan internet dan dampaknya pada budaya membaca untuk masyarakat Indonesia masih jauh dari harapan. Mayoritas internet hanya digunakan untuk menonton dan mendengarkan.
”Literasi digital meningkat, tetapi membaca dan menulis tidak mengalami perubahan signifikan,” ujar Arys.
Industri perbukuan berdasarkan UU Sistem Perbukuan ada di bawah Kemendikbudristek. Secara industri, ada di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Jika di bawah Kemendikbudristek, yang dianggap hanya terkait pembelajaran. Buku umum tidak bisa masuk. Sementara di Kemenparekraf, buku dipandang industri/komoditas biasa, konten tidak dianggap untuk membangun peradaban bangsa. Penerbitan ada di direktur musik, film, dan animasi.
”Industri penerbitan buku tidak masuk subsektor kreatif unggulan. Kami menyambut baik jika ada. Perpres tentang budaya literasi sehingga ada perhatian pada dunia buku,” kata Arys.
M Fadjroel Rachman, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, mengatakan, sebanyak 73,7 persen atau sekitar 200 juta orang dari 270 juta penduduk Indonesia aktif mengakses internet. Penduduk Indonesia menghabiskan waktu 8 jam 52 menit di internet, di antaranya 3 jam 14 menit di media sosial.
”Ini jadi tantangan untuk membuat masyarakat digital menjadi waras digital, untuk bisa memanfaatkan informasi secara positif dan bermanfaat,” kata Fadjroel.