Inovasi diperlukan agar museum tetap relevan dengan kondisi masa kini, khususnya pada masa pandemi Covid-19. Salah satu inovasi yang bisa dilakukan pengelola museum adalah membuat tur dan pameran daring.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hari Museum Nasional yang diperingati setiap 12 Oktober menjadi momentum agar museum berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Museum diharapkan tetap relevan sehingga jadi rujukan generasi mendatang untuk belajar sejarah dan kebudayaan.
“Ingat bahwa budaya tidak pernah kuno. Yang kuno adalah kemasannya. Jadi, mari bergerak mengemas ulang budaya kita,” kata Penghageng KHP Nitya Budaya Keraton Yogyakarta Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara pada International Museum Seminar, Selasa (12/10/2021). “Momentum ini jadi cara agar kita bergerak menjadikan generasi yang paham sejarah dan cinta Tanah Air,” tambahnya.
Museum dipandang sebagai rumah kebudayaan Indonesia. Nilai dan ilmu pengetahuan yang ada di museum dapat menjadi inspirasi membangun Indonesia di masa depan.
Ketua Badan Musyawarah Musea (Barahmus) Yogyakarta Ki Bambang Widodo mengatakan, museum merupakan pusat penelitian, pendidikan, informasi, dan dokumentasi warisan bangsa. Koleksi museum menyimpan nilai-nilai yang berpotensi membangun ketangguhan bangsa.
Itu sebabnya inovasi diperlukan agar museum tetap relevan dengan kondisi masa kini, utamanya saat pandemi Covid-19. Salah satu inovasi yang jamak dilakukan pengelola museum adalah membuat tur dan pameran daring.
Pelaksana Tugas Kepala Museum Nasional Sri Hartini mengatakan, salah satu fokus utama Museum Nasional adalah mengembangkan jasa layanan. Museumnya pun mengembangkan layanan virtual untuk publik selama pandemi. Hingga pertengahan 2021, Museum Nasional sudah dikunjungi lebih dari 79.000 pengunjung virtual.
Hal serupa dilakukan di Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian, Amerika Serikat. Kepala Program Sejarah Budaya Asia, Eropa, dan Timur Tengah di Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian, Paul Taylor, mengatakan, pandemi mendorong kegiatan publik yang serba daring. Kendati museum mereka masih tutup, namun jumlah pengunjung naik.
Kondisi ini dapat dimanfaatkan pengelola museum untuk memperbanyak kerja sama internasional. Menurut dia, publik umumnya akan melirik lagi budaya lokalnya jika ada orang asing yang tertarik mempelajari budaya itu.
“Kolaborasi internasional mendorong kesadaran akan pentingnya budaya tersebut,” kata Taylor.
Bukan gaya hidup
Menurut survei yang dilakukan Komunitas Jelajah pada 2018-2020, mengunjungi museum belum menjadi gaya hidup orang Indonesia. Mengunjungi museum juga belum dipandang sebagai hal yang menyenangkan maupun bermanfaat.
“Ada juga persepsi bahwa museum bukan tempat publik yang terbuka. Tantangan lain adalah museum seharusnya membuat orang dapat berkontribusi untuk museum dan pengunjung lain,” ucap Ketua Komunitas Sejarah Musiana Yudhaswasthi.
Museum pun didorong bersinergi dengan berbagai pihak untuk membuat kegiatan yang menyenangkan. Sinergi itu dapat melibatkan pecinta museum atau museum geek. Menurut Musiana, pecinta museum umumnya adalah inovator yang dapat mempromosikan program yang menarik.
Sementara itu, dosen arkeologi Universitas Indonesia Ajeng Arainikasih berpendapat bahwa narasi sejarah yang ditampilkan museum di Indonesia perlu ditinjau kembali. Ini karena narasi di sejumlah museum masih dianggap kolonial.
“Sejak 2010 pemerintah menggalakkan revitalisasi museum. Namun, menurut saya, yang berubah baru tata pamernya. Narasinya perlu didekolonisasi,” ucapnya.
Ia mencontohkan, narasi di suatu museum di Indonesia Timur masih menyebut subyek sejarah sebagai pribumi dan nonpribumi. Narasi sejarah yang ditampilkan di museum lain juga belum menyorot sudut pandang penduduk Nusantara di masa itu. “Isu-isu tadi bisa dibingkai ulang,” kata Ajeng.