Saat ini muncul fenomena menarik. Banyak mahasiswa dibesarkan di Indonesia, tetapi lebih piawai berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia.
Oleh
Ivan Lanin
·3 menit baca
Ulil Abshar-Abdalla mengetwit curhat temannya, seorang dosen, pada 4 Oktober 2021. Teman itu heran terhadap mahasiswanya yang banyak memilih untuk menjawab soal ujian dalam bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Ia takjub karena para mahasiswa itu dibesarkan di Indonesia, tetapi lebih piawai berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia.
Saya pikir paling tidak ada empat penyebab kondisi itu. Pertama, perbedaan antara ragam formal dan informal dalam bahasa Indonesia cukup lebar. Kedua, keterpaparan terhadap bahasa Inggris makin besar. Ketiga, pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua lebih sistematis. Terakhir, alat bantu pemeriksa tulisan dalam bahasa Indonesia belum tersedia.
Banyak orang yang mengalami kesulitan ketika harus berbahasa formal untuk tulisan bahasa Indonesia karena kondisi diglosia bahasa Indonesia: ada perbedaan besar antara ragam formal dan informal serta antara ragam lisan dan tulisan. Mereka terbiasa memakai ragam informal dalam keseharian dan kikuk ketika berbahasa formal, misalnya ketika membuat laporan resmi atau ilmiah. Akibatnya, banyak yang memilih untuk memakai bahasa Inggris yang tidak terlalu jauh perbedaan antarragamnya.
Keterpaparan terhadap bahasa Inggris makin besar muncul dari lingkungan, tontonan, dan bacaan. Makin banyak sekolah di Indonesia yang memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Makin banyak tempat, acara, dan lain-lain. yang memakai bahasa Inggris sebagai nama atau judul. Makin banyak tontonan dan bacaan yang memakai bahasa Inggris, baik seluruh maupun sebagian. Batas antarbahasa semakin pudar.
Pengajaran bahasa kedua umumnya lebih sistematis daripada bahasa pertama. Bahasa kedua dipelajari secara formal dengan penguasaan kosakata dan tata bahasa. Sebaliknya, bahasa pertama dipelajari secara alami. Untuk kasus bahasa Indonesia, kaidah bahasa formal yang dipelajari secara alami acap terpengaruh ragam informal atau bahasa daerah.
Manusia tidak lepas dari kealpaan sehingga memerlukan alat bantu untuk mengingatkan. Ketika menulis dalam bahasa Inggris, banyak aplikasi pengolah kata yang sudah memberikan fasilitas pemeriksaan otomatis terhadap tata bahasa dan kata baku. Bahkan, beberapa layanan eksternal, seperti Grammarly, dapat menyarankan perbaikan yang lebih canggih. Sayangnya, kemewahan itu belum tersedia untuk tulisan dalam bahasa Indonesia.
Pemahaman sebab memudahkan pencarian solusi. Kondisi diglosia pelan-pelan dapat diatasi dengan membiasakan penggunaan bahasa yang berbeda untuk ragam yang berbeda. Keterpaparan terhadap bahasa Inggris perlu diimbangi melalui pembuatan tontonan dan bacaan dengan bahasa Indonesia yang bermutu dan menarik. Pengajaran bahasa Indonesia tampaknya sudah membaik dengan pengalihan fokus pada keterampilan berbahasa alih-alih ilmu tentang bahasa.
Sebab yang terakhir, ketiadaan alat bantu pemeriksa tulisan, masih dirindukan solusinya. Jika alat itu sudah ada, penjagaan mutu tulisan dalam bahasa Indonesia niscaya lebih baik. Penutur bahasa Indonesia pun akan lebih piawai menulis formal dalam bahasanya sendiri.
Ivan Lanin, Wikipediawan, Pencinta Bahasa Indonesia, dan Pendiri Narabahasa