Pidana Mati, Puncak Kekerasan Berbasis Jender
Hukuman mati terhadap perempuan seringkali tidak dilihat dan diperhitungkan. Padahal, sejumlah perempuan menjadi korban, bahkan berada dalam ketidakpastian menanti pengampunan dan waktu eksekusi.
JAKARTA, KOMPAS – Praktik pidana mati yang menyasar sejumlah perempuan merupakan puncak dari kekerasan berbasis jender. Karena itu, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu melakukan reformasi kebijakan anti hukuman mati sebagai bentuk komitmen negara dalam melaksanakan ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan.
Komitmen tersebut termasuk upaya komutasi bagi terpidana mati yang sudah lama duduk dalam deret tunggu eksekusi dan revisi Undang-Undang Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menghapuskan hukuman mati.
Demikian salah satu rekomendasi Komisi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam rangka Peringatan Hari Internasional Menentang Hukuman Mati yang jatuh pada tanggal 10 Oktober 2021, yang disampaikan di Jakarta, Senin (11/10/2021).
“Praktik hukuman mati merupakan puncak tertinggi dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender berlapis terhadap perempuan, seringkali berkelindan dengan sejumlah isu lain, seperti feminisasi kemiskinan, feminisasi migrasi, stigma sosial, perdagangan orang, dan kejahatan narkotika,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, dalam Konferensi Pers bertema” Hukuman Mati Puncak Kekerasan Berbasis Jender terhadap Perempuan: Hapuskan Demi Keadilan Korban.
Tak hanya itu, hukum mati juga berkelindan dengan sistem hukum yang tidak berpihak pada perempuan korban, pelanggaran hak atas peradilan yang adil dan hak untuk bebas dari penyiksaan.
Pada acara tersebut, hadir sebagai pembicara Ahmad Taufan (Ketua Komnas HAM), Muhammad Afif (Direktur LBH Masyarakat), Tiasri Wiandani (Komnas Perempuan), Iweng Karsiwen (Ketua Kelbes Buruh Migran Indonesia), dan Amalia Suri (Peneliti Imparsial).
Catatan Komnas Perempuan bahkan memperlihatkan hukuman mati terhadap perempuan seringkali tidak dilihat dan diperhitungkan, sebagaimana yang dialami dua perempuan terpidana mati Mary Jane Veloso dan Merri Utami, dan sejumlah perempuan pekerja migran terpidana mati di negara tujuan bekerja.
Marry dan Merry, telah terlalu lama menanti dalam ketidakpastian. Mary Jane Veloso merupakan korban tindak pidana perdagangan orang telah menjalani pidana penjara selama 11 tahun sedangkan Merri Utami telah menjalaninya selama 20 tahun.
“Kasus kedua perempuan ini cukup menarik perhatian publik, dalam proses menunggu hukuman mati mereka didera oleh ketidakpastian dalam menanti pengampunan maupun pelaksanaan eksekusi itu sendiri,”ujar Andy.
Situasi ini tidak hanya mendera terpidana perempuan melainkan juga anggota keluarganya, hingga berdampak pada gangguan kesehatan mental. Maka, bagi Komnas Perempuan, penting bagi Presiden untuk mengabulkan grasi sebagai upaya komutasi atau peralihan hukuman bagi terpidana mati dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun.
Pemerintah dan DPR perlu melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia serta meninjau ulang kasus-kasus terpidana mati terkait dengan pemenuhan hak atas peradilan yang jujur dan adil.
Oleh karena itulah, Komnas Perempuan meminta Pemerintah dan DPR perlu melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia serta meninjau ulang kasus-kasus terpidana mati terkait dengan pemenuhan hak atas peradilan yang jujur dan adil.
Presiden segera memberikan grasi kepada perempuan yang terpidana mati, diantaranya Mary Jane Veloso dan Merri Utami yang merupakan korban dari sindikat perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi perdagangan narkotika.
Dalam pernyataan pers, yang juga disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani, Theresia Iswarini, dan Satyawanti Mashudi juga disampaikan laporan pemantauan Komnas Perempuan yang menemukan fakta bahwa hukuman mati yang dihadapi oleh perempuan pekerja migran.
Mereka berhadapan pada hukuman mati baik karena pembunuhan maupun perdagangan narkotika, berawal dari jejak panjang feminisasi kemiskinan dan lapisan kekerasan berbasis gender yang dialami sejak dari rumah hingga terus berakumulasi ke dunia kerja dan ruang-ruang sosial lainnya.
Perempuan pekerja migran mengalami kondisi kerja yang eksploitatif dan tidak manusiawi serta relasi kuasa yang meletakkan perempuan dalam posisi subordinat. Akumulasi kondisi kerja yang buruk dan pengalaman menjadi korban kekerasan seksual serta tindak pidana perdagangan orang mendorong perempuan untuk melakukan tindak pidana sehingga berujung pada ancaman hukuman mati.
Selanjutnya pada proses hukum, proses peradilan yang tidak adil, diskriminatif dan nihil pemahaman terkait analisis jender mengakibatkan korban mengalami kriminalisasi dan didakwa hukuman mati.
Baca juga: Perempuan dalam Pusaran Hukuman Mati
Eksploitasi bentuk baru
Selain itu, didapati adanya bentuk eksploitasi baru dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yaitu untuk tujuan penyelundupan narkotika. Namun, fenomena pertautan antara tindak pidana perdagangan orang dan kejahatan narkotika sering tidak dilihat. Juga, tampaknya belum dikenali oleh sistem hukum Indonesia.
Bagi Komnas Perempuan, selain bertentangan dengan hak asasi manusia yang paling fundamental yaitu hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights), hukuman mati juga merupakan bentuk penyiksaan dan tindakan merendahkan martabat manusia.
Padahal dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara 1945 Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2). Pasal 28A yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Selain itu, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT), dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
“Oleh karenanya, hukuman mati tidak dibenarkan karena merenggut hak paling mendasar yang tanpanya hak-hak asasi manusia lainnya tidak dapat dinikmati,” tegas Theresia Iswaini.
Andy juga mengungkapkan sejarah Hari Internasional Menentang Hukuman Mati, yang ditetapkan secara global sejak 2003, dengan tujuan meningkatkan kesadaran umum dan kesadaran politik yang lebih luas, serta membangun gerakan di seluruh dunia untuk melawan hukuman mati.
Laporan Cornell Center on the Death Penalty Worldwide memperkirakan setidaknya 500 perempuan terpidana mati di seluruh dunia, dengan lebih dari 100 perempuan telah dieksekusi mati di tahun 2008 sampai 2018. Angka yang tentu saja menunjukkan fenomena gunung es, bahwa sesungguhnya potensial melebihi sejumlah angka tersebut.
Di Indonesia sendiri, data yang bersumber dari Sistem Database Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per 7 Oktober 2021 mencatat terdapat 400 orang terpidana mati, 11 orang di antaranya adalah perempuan. Di luar negeri, data Kementerian Luar Negeri per September 2021 memaparkan sejumlah 201 warga negara Indonesia di luar negeri terancam hukuman mati, 40 orang diantaranya adalah perempuan.
Penerapan hukuman mati di Indonesia tentu saja menjadi batu ganjalan bagi Indonesia dalam upaya diplomasi pembebasan terhadap warganegaranya yang terancam hukuman mati di luar negeri. “Ini menjadi sebuah hal yang sangat serius yang harus dilihat oleh negara ketika advokasi hukuman mati pekerja migran Indonesia, tetapi dalam negeri masih ada hukuman mati,” tegas Tiasri.
Karena itulah, Kementerian Luar Negeri diharapkan terus meningkatkan layanan bantuan hukum dan psikososial terhadap perempuan pekerja migran Indonesia yang berhadapan dengan hukuman mati di luar negeri.
Ahmad Taufan, menyatakan Komnas Perempuan mendorong Indonesia segera menghapus pidana mati dalam hukum nasional dengan mulai membatasi jenis kejahatan yang diancam pidana mati. Selanjutnya Indonesia harus secara bertahap dan terencana melakukan upaya untuk menghapus pidana mati.
Baca juga: Dilema Hukuman Mati di Indonesia
Sementara itu, Indonesia harus mengkaji kembali hukum nasional dan praktik-praktik yang ada sehingga dapat menjamin adanya prosedur hukum yang paling hati-hati (the most careful procedure) serta perlindungan bagi tersangka dengan ancaman pidana mati sesuai Resolusi Umum PBB. “Lebih jauh hendaknya Indonesia memberlakukan moratorium bagi pelaksanaan hukuman mati,” ujar Ahmad.