Kekerasan seksual masih terus terjadi dengan mayoritas korban adalah perempuan dan anak. Karena itu, kehadiran Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dinantikan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Harapan pada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi undang-undang pada masa sidang 2021 terus bergulir. Undang-undang tersebut diharapkan mengutamakan paradigma baru yakni, perspektif pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual yang sebagian besar adalah perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok rentan.
Paradigma tersebut memungkinkan untuk memandang dan membuktikan terjadinya kekerasan seksual karena ada relasi tidak setara antara pelaku dan korban. Paradigma ini diharapkan juga membentuk pencegahan dan penanggulangan keberulangan melalui rehabilitasi pelaku, termasuk pelaku penyerta, dengan menggunakan pendekatan penal dan non penal.
Demikian pokok-pokok pikiran Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak se-Indonesia (ASWGI), untuk RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang disampaikan, Minggu (10/10/2021).
“Kami menyampaikan pemikiran untuk mempertajam perspektif pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban, rehabilitasi pelaku untuk menjamin ketidak berulangan, serta mengakui dan mendukung peran serta masyarakat,” ujar Arianti Ina Restiani Hunga, Perwakilan Tim Kecil ASWGI untuk RUU TPKS, saat membacakan pernyataan pada pers.
Paradigma yang berperspektif korban, lanjut Ina, juga untuk menegaskan kehadiran negara melalui sistem pelayanan penanganan terpadu beserta penganggarannya, serta sistem pencegahan yang sistemik melalui pendidikan kritis pada jalur formal, non-formal, informal, dan berbagai lembaga.
“Kami meminta DPR dan pemerintah agar mempertimbangkan sistem dan proses hukum saat ini yang belum memperhitungkan kondisi psikologis dan sosial masyarakat yang membentuk dan melanggengkan kekerasan seksual,” ujar Arianti Ina.
Menurut ASWGI, RUU TPKS mendesak karena merupakan lex specialis terhadap kekerasan seksual yang dialami oleh kelompok rentan dari berbagai aspek. Adapun mengenai rehabilitasi pelaku, ASWGI menilai hal tersebut merupakan tindak korektif terhadap sistem keyakinan dan pengalaman masa lalu pelaku yang membentuk tindak kekerasan seksual yang dilakukan.
Kami meminta DPR dan pemerintah agar mempertimbangkan sistem hukum saat ini yang belum memperhitungkan kondisi psikologis dan sosial masyarakat yang melanggengkan kekerasan seksual.
Oleh karena itulah, ASWGI yang dipimpin Emy Susanti mendorong semua pihak untuk bersama-sama lebih aktif mengambil peran konstruktif untuk memperkuat pembahasan menuju pengesahan RUU TPKS.
“ASWGI beranggota 146 pusat studi wanita/jender, anak, sosial inklusi yang ada di perguruan tinggi negeri/swasta di hampir seluruh wilayah Indonesia. Kami mendorong semua pihak untuk bersama-sama lebih aktif mengambil peran konstruktif untuk memperkuat pembahasan menuju pengesahan RUU TPKS,” kata Emmy.
Karena itu, ASWGI mengapresiasi langkah Badan Legislasi (Baleg) DPR yang menyampaikan RUU TPKS pada publik pada tanggal 30 Agustus 2021. ASWGI juga mendorong dan mendukung langkah pemerintah yang secara simultan melakukan kajian atas RUU TPKS tersebut dengan memperhitungkan masukan dari berbagai elemen masyarakat yang konstruktif.
“Agar korban kekerasan seksual bisa terlindungi, dan kasus-kasus kekerasan seksual teratasi, maka RUU TPKS kita dorong. Ini juga merupakan implementasi program yang dicanangkan dalam Rakornas (Rapat Koordinasi Tingkat Nasional) ASWGI. Salah satunya kita mendorong RUU TPKS di semua isu jender perempuan anak dan inklusi sosial lainnya,” kata Emmy.
Terkait urgensi RUU TPKS, melalui pokok-pokok pikirannya ASWGI memberikan sejumlah masukan. Selain, fakta empiris Indonesia sejak 2012 dalam kondisi darurat kekerasan dan belum ada payung hukum dalam penanganan kekerasan seksual, modus kekerasan seksual saat ini juga makin kompleks karena memanfaatkan kemajuan teknologi berbasis teknologi informasi.
Cara pandang sosial yang secara umum lebih memposisikan perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya sebagai pihak yang mempunyai literasi teknologi informasi yang rendah, membuat mereka berada pada posisi dan kondisi yang makin rentan mengalami kekerasan seksual secara daring.
Ninik Rahayu, Tenaga Profesional Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas ) dan mantan anggota Ombudsman RI, dalam makalah berjudul "Urgensi Pengesahan RUU TPKS Guna Membangun Ketahanan Nasional" menegaskan, Pasal 28 I Ayat 2 UUD 1945 mengamanatkan setiap orang berhak bebas dari perlakuan bersifat diskriminatif atas dasar apa pun, dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Akan tetapi, kenyataannya sampai kini perempuan di Indonesia mengalami kekerasan, yang berakar dari diskriminasi berbasis jender. Kekerasan tersebut mengakibatkan penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis.
Ninik bahkan mencontohkan, kasus kekerasan seksual yang menimpa beberapa anak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang saat ini menjadi sorotan, karena hubungan korban dan pelakunya memiliki hubungan personal, orangtua dan anak.
“Penyelesaian kasus itu memang tidak mudah. Kita tetap berpijak pada asas praduga tak bersalah, tapi bukan berarti kepolisian tidak secara sigap membantu menemukan alat bukti dan saksi, karena dalam KUHAP tanggungjawab menemukan bukti, saksi itu ada pada aparat hukum,” kata Ninik.