Perundungan, Ancaman Tersembunyi di Tempat Kerja
Perundungan terbukti bisa terjadi pada siapa dan di mana saja. Diperlukan sistem di organisasi untuk mencegah dan mendeteksi serta mengatasi hal itu.

Sejumlah karyawan berjalan kaki di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (5/8/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup sementara sejumlah perkantoran di Jakarta setelah ditemukan karyawan yang terpapar Covid-19.
Meski berisi orang dewasa dan diatur oleh nilai-nilai profesionalisme, dunia kerja nyatanya tidak steril dari perundungan dan pelecehan seksual. Meski prevalensinya cukup besar dan berdampak nyata bagi produktivitas pekerja dan organisasi, kepedulian masyarakat dan industri di Indonesia terhadap persoalan ini masih rendah.
Terkuaknya kasus yang dialami MS, pegawai laki-laki di salah satu badan negara, pada awal September 2021 menunjukkan persoalan perundungan dan pelecehan seksual di tempat kerja itu nyata. Siapa pun bisa jadi korban dan perundungan pun bisa ada di organisasi apa pun. Namun, kurangnya keseriusan membuat persoalan itu belum menemukan kejelasan hingga kini.
”Dalam sebuah organisasi atau perkumpulan, perundungan berisiko tinggi terjadi pada organisasi atau perkumpulan yang memiliki hierarki dan ketidakseimbangan relasi kuasa,” kata dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan pengurus Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor), Nael Sumampouw, di Jakarta, Senin (6/9/2021).
Kondisi itu membuat laki-laki tetap bisa jadi korban perundungan karena memiliki atribut diri yang berbeda dengan kebanyakan anggota organisasi, baik lebih tinggi maupun lebih rendah. Jika organisasi itu mengedepankan kekuatan fisik, mereka yang lemah atau terlalu kuat rentan menjadi korban.
Organisasi yang maju dan beradab adalah organisasi yang terus-menerus menginternalisasikan dan menyosialisasikan nilai-nilainya hingga menjadi identitas bagi anggotanya.
Namun, kuatnya budaya patriarki membuat masyarakat sulit menerima laki-laki sebagai korban kekerasan seksual. Konstruksi jender yang dikenalkan dan diturunkan di masyarakat lebih menempatkan laki-laki, dengan kekuatan fisiknya, menjadi pelaku perundungan dan kekerasan. Selain itu, laki-laki secara seksual dianggap bisa menikmati tindakan seksual apa pun sehingga kekerasan seksual pada laki-laki lebih sulit dibongkar.
Psikolog klinis yang juga dosen di Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung, Henndy Ginting, menambahkan, perundungan di tempat kerja bisa mewujud dalam berbagai tindakan. Contohnya mengancam, meledek, menertawakan, tindakan agresif, diabaikan, dikucilkan dari pergaulan, tuntutan pekerjaan yang tak masuk akal, lembur berlebihan, hingga memaksa orang melakukan pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya.
”Semua tindakan itu membuat rasa tidak nyaman, baik secara fisik maupun mental,” katanya. Namun, jika pimpinan atau rekan kerja memberikan masukan atas kinerja atau perilaku tidak disiplin, maka itu bukan perundungan walau tindakan tersebut juga tidak menyenangkan.
Meski demikian, jika teguran itu disampaikan dengan kata-kata binatang atau kasar, tindakan tersebut dinilai sudah masuk ke perundungan karena telah melewati kode etik profesional dan nilai-nilai universal.

Para pemuda yang tergabung dalam Komunitas Sudah Dong menggelar ”Aksi Solidaritas Anti Bullying” di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (23/7). Gerakan tersebut diharapkan bisa mengedukasi masyarakat untuk mencegah terjadinya perundungan atau bullying di berbagai tempat ataupun media sosial.
Survei Perundungan di Tempat Kerja Amerika Serikat 2021 yang dilakukan Workplace Bullying Institute menemukan 30 persen orang dewasa AS pernah mengalami perundungan langsung di tempat kerja dan 19 persen lainnya menyaksikan perilaku kasar itu. Prevalensi ini hampir sama dengan yang terjadi di sejumlah negara maju lain, termasuk Inggris.
Di Indonesia, survei Henndy dan rekan pada 2019 terhadap 1.700-an pekerja di badan usaha milik negara dan perusahaan swasta menemukan 33 persen responden mengalami perundungan di tempat kerja. Sementara 2,1 persen responden berpersepsi mengalami kekerasan seksual dalam bentuk digoda, lawakan berbau seksual, hingga pelecehan fisik.
Survei berikutnya pada 2021 terhadap 200-an responden menemukan, dalam 12 bulan terakhir, sebanyak 20,4 persen responden kadang-kadang mengalami perundungan dan 1 persen responden jadi korban perundungan tiap hari di tempat kerja. Sementara sebanyak 1 persen mengalami pelecehan seksual. Namun, Henndy belum bisa memastikan apakah turunnya prevalensi perundungan itu berkaitan dengan diberlakukannya kerja dari rumah (WFH) selama pandemi.
Kerentanan
Munculnya perbedaan, baik senior-yunior, budaya, tingkat pendidikan, kompetensi, maupun adanya hierarki, merupakan hal yang alamiah dalam sebuah organisasi. Namun, terjadinya perundungan dalam sebuah organisasi yang punya visi dan misi jelas adalah hal tak wajar. Karena itu, jika terjadi perundungan dalam satu organisasi, apalagi organisasi yang besar dan berumur cukup tua, dipastikan ada masalah dalam organisasi tersebut.
Perundungan muncul dalam organisasi yang tidak bisa menanamkan nilai dan kultur positif hingga sesama rekan kerja tidak terbangun relasi yang sehat dan saling menghormati. ”Organisasi yang maju dan beradab adalah organisasi yang terus-menerus menginternalisasikan dan menyosialisasikan nilai-nilainya hingga menjadi identitas bagi anggotanya,” kata Nael.
Baca juga : Perundungan di Tempat Kerja Bisa Mewujud dalam Berbagai Tindakan dan Perilaku
Sebaliknya, organisasi yang tak punya aturan jelas dalam mengatur relasi antaranggotanya rentan terjadi perundungan. Kondisi itu, lanjut Henndy, mudah ditemui pada perusahaan baru atau perusahaan swasta yang abai dengan nilai organisasi.
”Meski perundungan adalah soal persepsi dan bisa subyektif, kode etik profesional dan nilai-nilai universal bisa jadi batasan untuk menilai apakah tindakan seseorang termasuk perundungan atau tidak,” tambah Henndy.

Ilustrasi suasana kantor. Suasana bekerja para karyawan pelayanan nasabah salah satu kantor cabang bank swasta nasional di wilayah Ciheuleut, Kota Bogor, Jawa Barat, yang beroperasi, tetapi dianggap melanggar prosedur penanggulangan Covid-19, Kamis (3/12/2020).
Saat organisasi tidak mampu mencegah terjadinya perundungan dan pelecehan seksual, mereka biasanya akan menyalahkan individu anggotanya. Secara personal, pelaku dan korban perundungan umumnya memiliki karakter yang membuat mereka lebih mudah jadi pelaku atau korban kekerasan.
Namun, ”Apa pun kerentanan yang dimiliki korban perundungan dan pelecehan seksual, korban tidak bisa disalahkan atas peristiwa yang terjadi,” tegas Nael. Sebaliknya, kerentanan yang dimiliki pelaku tidak bisa dijadikan pembenar atau pemaklum atas tindakan yang dilakukan.
Perundungan di tempat kerja adalah fenomena gunung es. Banyak korban enggan mengungkap ketidakadilan yang dialami karena takut justru disalahkan dan dituding jadi penyebab terjadinya perundungan itu atau demi menjaga keberlangsungan sumber ekonomi mereka.
Mereka yang rentan jadi korban umumnya punya kepercayaan diri rendah, orang dengan kebiasaan menghindar atau menyendiri daripada berkumpul dengan orang lain, dan suka bergantung pada orang lain. Korban juga cenderung punya kemampuan atau kualifikasi berbeda dibandingkan rata-rata serta punya kondisi tidak sama dengan sekitarnya hingga rentan didiskriminasi.
Penting dalam rekrutmen pegawai untuk mengetahui sikap calon karyawan terhadap kekerasan, bukan terfokus pada keterampilan teknis semata.
Selain itu, korban biasanya juga memiliki pola komunikasi yang submisif atau tidak bisa berkata tidak karena tumbuh dalam lingkungan yang tidak memungkinkan untuk menolak perintah atau permintaan.
Sementara itu, orang yang berpeluang jadi pelaku perundungan adalah mereka yang tumbuh dan besar dalam lingkungan yang membenarkan penggunaan kekerasan sebagai satu cara menyelesaikan masalah. Bisa jadi pula mereka mengadopsi konsep keliru bahwa dengan penggunaan kekerasan akan membuat orang lain takut padanya.
Mereka yang rentan jadi pelaku umumnya juga cenderung memiliki ”keistimewaan” tertentu dalam organisasi. Bisa jadi dia merasa memiliki beking, kemampuan tertentu, atau modal individu yang membuatnya merasa tidak akan disanksi jika merundung orang lain.
Perundung, lanjut Henndy, umumnya cenderung mengalami sosiopati atau kurang bisa berempati dan bertanggung jawab secara sosial walau mereka umumnya tak menyadarinya. Mereka tak peduli dengan kebutuhan atau kepentingan orang lain serta puas atau senang dipuji jika bisa menyiksa orang lain atau melihat orang lain menderita. Mereka juga tak takut kehilangan relasi sosial serta kurang memiliki nilai moral.
Karena itu, ”Penting dalam rekrutmen pegawai untuk mengetahui sikap calon karyawan terhadap kekerasan, bukan terfokus pada keterampilan teknis semata,” tambah Nael. Menilai keterampilan lunak (softskill) calon karyawan pun menjadi penting.
Merusak
Studi Tianwen Xu dan rekan yang dipublikasikan di European Heart Journal, 7 April 2019, menunjukkan 8 persen laki-laki dan 13 perempuan yang mengaku dirundung di tempat kerja mengembangkan penyakit kardiovaskular, seperti jantung dan stroke, lebih tinggi 59 persen dibandingkan yang tidak mengalami perundungan.
Riset lain yang dilakukan Xu dan rekan serta dipublikasikan di Diabetologia pada Januari 2018 juga menunjukkan pekerja yang mengalami perundungan berisiko mengembangkan penyakit diabetes melitus tipe 2 sebesar 46 persen lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami.
Baca juga : Perundungan di Tempat Kerja Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung dan Diabetes
Di luar penyakit fisik, korban perundungan juga rentan mengalami berbagai gangguan jiwa, mulai dari stres, gangguan suasana hati, gangguan cemas, gangguan panik, depresi, hingga keinginan bunuh diri. Repotnya, gangguan mental yang menurunkan kesejahteraan itu juga dialami oleh saksi yang melihat perundungan akibat rasa tertekan yang dihadapi.
Pelecehan seksual di tempat kerja bisa menimbulkan sindrom pascatrauma yang bisa mengganggu kesehatan mental korban secara umum dalam waktu lama. Tak hanya itu, ”Korban pelecehan seksual bisa mengalami penurunan konsep diri atau perubahan perilaku serta dibayang-bayangi stigma masyarakat dalam waktu lama,” kata Nael.
Dari aspek organisasi, Henndy mengatakan, perundungan akan mengurangi kepuasan kerja serta keterikatan seseorang dengan kantor atau perusahaannya. Perilaku ini tidak hanya akan menurunkan produktivitas perusahaan, tetapi juga meningkatkan perputaran (turnover) karyawan yang tinggi hingga berdampak besar pada kesolidan organisasi.
Besarnya dampak perundungan dan pelecehan seksual di tempat kerja, baik bagi korban, saksi mata, maupun perusahaan, membuat perilaku ini harus dicegah. Pembuatan aturan jelas yang mengatur hubungan antaranggota organisasi dan kode etik pekerja juga diperlukan, termasuk sanksi jika terjadi pelanggaran.

Ilustrasi suasana kerja. Suasana upacara 17 Agustus di Kantor PTPN IV.
Selain itu, internalisasi nilai-nilai organisasi melalui berbagai pelatihan atau kegiatan perlu ditanamkan terus pada seluruh anggota organisasi. Mereka perlu dilatih untuk mendeteksi perundungan atau pelecehan, membangun empati, hingga mampu membela atau bersuara saat ada rekannya yang jadi korban.
Menurut Henndy, pencegahan perundungan dan pelecehan seksual belum menjadi perhatian serius banyak perusahaan di Indonesia meski sejumlah perusahaan besar dan multinasional sudah menerapkannya. Situasi itu berbeda dengan negara-negara maju yang sudah mewajibkan audit berkala faktor psikososial yang menunjang kesejahteraan pekerja di perusahaan, termasuk soal perundungan, oleh lembaga independen.
”Isu ketenagakerjaan di Indonesia masih berkutat pada soal kesejahteraan ekonomi, seperti gaji layak dan aneka tunjangan. Persoalan kesejahteraan sosial belum jadi perhatian,” tambahnya.
Sementara terkait pelecehan seksual, Nael menilai perlunya payung hukum yang jelas untuk menyelesaikannya, seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang hingga kini belum juga disetujui DPR untuk disahkan. Meski pelecehan seksual adalah tindakan kriminal, persoalan ini sering ditutupi demi alasan menjaga citra baik organisasi.
Padahal, kasus pelecehan yang terjadi seharusnya bisa dijadikan momentum untuk memperbaiki organisasi karena tindakan merendahkan harkat manusia itu berdampak besar bagi korban, saksi mata, hingga perusahaan. Perbaikan organisasi itu sejatinya adalah peneguhan komitmen perusahaan untuk melindungi seluruh anggotanya hingga mereka bisa produktif tanpa rasa tertekan dan berkontribusi pada organisasi.