Pendidikan konvensional atau tradisional masih berlangsung di banyak sekolah. Padahal, saat ini pola pengajaran perlu mendukung anak-anak agar mampu berinovasi demi menjawab tantangan perubahan yang serba cepat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia memasuki era inovasi yang menuntut manusia dapat melahirkan ide dan solusi untuk mengatasi tantangan perubahan yang cepat. Untuk itu, pendidikan konvensional atau tradisional yang masih berlangsung di banyak sekolah saat ini harus mau berubah dengan pola pengajaran yang mendukung anak-anak mampu berinovasi.
Ahli pendidikan dari University of Harvard, Tony Wagner, di konferensi tahunan ke-11, HighScope Indonesia Annual Conference (HSIAC) 2021, yang digelar secara daring, Kamis (7/10/2021), memaparkan, ada sekolah-sekolah hebat yang mampu menuntun anak-anak muda agar mampu memecahkan masalah dalam berbagai aspek kehidupan sehingga melahirkan inovasi. Berbagai sekolah hebat itu merupakan sekolah bergengsi hingga sekolah biasa.
”Dari pengamatan yang saya lakukan, anak-anak yang mampu berinovasi itu dibimbing guru-guru yang memiliki cara mengajar berbeda dari yang konvensional. Pengajaran dari sekolah dan pengasuhan orangtua yang mendidik anak-anak untuk mampu memecahkan masalah secara kreatif makin dibutuhkan di era inovasi ini,” tuturnya.
Tony memaparkan ada tiga hal yang membedakan sekolah tradisional di era industri dan era inovasi. Sekolah tradisional terus mengukur kemajuan siswa dengan tes-tes dan nilai, sedangkan yang dibutuhkan kini bagaimana guru mampu mendukung siswa untuk bisa menyatu dalam kolaborasi tim. Sebab, dalam realitas di dunia kerja dan kehidupan, kerja sama dalam tim makin dibutuhkan untuk menghasilkan solusi bersama yang baik.
Sekolah tradisional pun menerapkan pembelajaran berdasarkan mata pelajaran atau subyek yang berdiri sendiri-sendiri dengan tujuan utama mentransfer pengetahuan. Di era inovasi ini, interdisiplin atau lintas ilmu makin penting untuk dipahami. Dengan interdisiplin itu, kemampuan menghadirkan solusi bisa memiliki perspektif yang lebih kaya.
Selanjutnya, budaya belajar di sekolah tradisional menuntut siswa yang patuh atau model duduk diam mendengarkan guru. Di era inovasi, siswa dituntut untuk berinisiatif, bahkan mempertanyakan kewenangan. Sebab, di era inovasi, yang namanya kesalahan sebagai hasil uji coba dapat diterima. Model trial dan error justru efektif untuk belajar. Orang harus dapat belajar dari kesalahan untuk bisa menghasilkan inovasi yang lebih baik.
”Pendidikan yang dibutuhkan saat ini harus mampu mendorong motivasi yang ada dalam diri setiap orang. Sebenarnya tiap orang memiliki rasa ingin tahu. Mereka yang termotivasi belajar dari dalam diri akan terus berusaha belajar dan membuat yang terbaik untuk dapat membuat perbedaan,” ujarnya.
Tony pun mengingatkan pentingnya bagi guru dan orangtua untuk bersama-sama dengan mendukung anak dalam mengeksplorasi dengan cara play (bermain), passion (menggali minat), dan purpose (mencapai tujuan).
Pendidikan yang dibutuhkan saat ini harus mampu mendorong motivasi yang ada dalam diri setiap orang.
Pendidikan kini harus ditujukan untuk membangun karakter moral yang kuat, melengkapi siswa untuk jadi warga negara yang bertanggung jawab, membantu siswa untuk menggali dan mewujudkan minat (passion), serta menginspirasi mereka untuk hidup berdampak positif di dunia ini,
”Pendidikan di sekolah tradisional perlu didefinisi ulang demi menyiapkan jalur yang mendukung inovasi. Asesmen diciptakan bukan lagi untuk mengumpulkan nilai, melainkan yang mampu dipertanggungjawabkan pada publik. Siswa pun akan memiliki portofolio yang menunjukkan perkembangan/kemajuan dari waktu ke waktu karena mereka didorong untuk terus memiliki rasa ingin tahu dan berpikir kreatif dan kritis untuk mencari jawaban dengan mengeksplorasi lingkungan sekitar,” kata Tony.
Bersikap positif
Founder dan CEO of High Scope Indonesia Institute Antarina Faried Amir mengatakan tantangan dunia yang berubah cepat, salah satunya karena pandemi Covid-19 harus bisa disikapi secara positif. Paradigma baru pendidikan pun dibutuhkan untuk menuju pembelajaran yang kreatif dan inovatif.
”Sekarang tidak masalah belajar di rumah, sekolah, atau di mana saja, karena otak kita tidak pernah berhenti untuk bertumbuh. Guru kita harus mampu berinovasi dengan memandang lingkungan sekitar dan memanfaatkan teknologi untuk memberdayakan siswa,” ujar Antarina.
Pada tahun ini, HSIAC mengambil tema ”Highly Purposeful Life : Follow Your Passion, Discover Your Purpose”. Acara ini diharapkan menginspirasi dan menuntun peserta untuk menemukan dan mengembangkan apa yang paling menjadi passion dalam hidup.
”Kita percaya bahwa dengan hidup yang memiliki tujuan, guru dan pada gilirannya siswa akan terdorong untuk berkembang menjadi pemimpin mandiri yang akan mengikuti passion dan memiliki tujuan untuk membangun masa depan berkelanjutan,” kata Antarina.
Konferensi HSIAC digelar untuk membangun komunitas belajar yang terdiri dari guru, kepala sekolah, dan tenaga pendidikan profesional yang bersama-sama berkumpul untuk berbagi, berdiskusi, dan saling belajar. Peserta HSIAC adalah pemilik, manajemen, guru, staf dari 12 sekolah High Scope Indonesia, dan juga mengundang orangtua siswa.
Inovasi akses pendidikan
Pendidikan dinilai makin penting. Akses pada pendidikan untuk berkuliah hingga peningkatan keterampilan di lembaga informal/kursus seharusnya kini tidak lagi menjadi hambatan dengan inovasi pendanaan yang berkembang.
Salah satunya ditawarkan startup atau usaha rintisan, Danacita, yang memberikan pinjaman biaya pendidikan bagi generasi muda untuk terus meningkatkan kompetensi diri sesuai minat dan kebutuhan di dunia kerja maupun wirausaha.
”Sebagai komitmen Danacita dalam mendukung pemerintah dalam memajukan kualitas pendidikan di Indonesia, melalui virtual edu fair ’Demi Masa Depan’, kami ingin menjembatani para pelajar Indonesia dengan berbagai lembaga pendidikan berkualitas. Ini diharapkan memudahkan mereka dalam mendapat informasi dan membuka akses meraih pendidikan terbaik dengan lebih dekat.” kata Alfonsus Wibowo, Direktur Utama Danacita.
Danacita Virtual Edu Fair ”Demi Masa Depan” resmi dimulai Kamis ini hingga 16 Oktober 2021. Lebih dari 3.000 pelajar Indonesia yang menghadiri Virtual Edu Fair Demi Masa Depan ini tidak hanya mendapatkan solusi biaya pendidikan, tetapi juga memperoleh motivasi serta bekal pengetahuan penting untuk menghadapi dunia karier dan bisnis, melalui berbagai sesi mini talkshow.
Hadir perdana di Indonesia, virtual Edu Fair antara lain Mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Menurut Gita, pendidikan memiliki peran penting sebagai kunci untuk mencapai kemajuan bangsa Indonesia. Sebab, bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki kualitas sumber daya manusia baik.
Dunia pendidikan di Indonesia saat ini, lanjut Gita, masih perlu disrupsi. Sering kali kita bicara mengenai kualitas siswa dan kurikulum, tetapi pada akhirnya kita juga perlu meningkatkan kualitas guru yang sangat berkorelasi dengan kualitas siswa dan pembelajaran.
”Tanggung jawab kita semua untuk bergandeng tangan dan bekerja keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan baik dari segi kualitas guru maupun siswa itu sendiri.Tujuannya agar Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara maju,” kata Gita yang juga salah satu salah satu Penasihat Danacita.