Pada Masa Pandemi Covid-19, Perempuan Miliki Strategi Bertahan
Pada tahun 2021 ini, kesetaraan jender cukup membaik karena kesenjangan jender berkurang menjadi 65 persen. Namun, dalam menyikapi perkembangan ekonomi digital, perempuan bergerak lebih cepat dibandingkan laki-laki.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesetaraan jender di Indonesia pada 2021 ini membaik dibandingkan tahun lalu. Laporan Kesenjangan Gender Global tahun 2020 mencatat Indonesia mempunyai total kesenjangan jender 69 persen dengan peringkat 101 global. Pada 2021 ini, kesetaraan jender cukup membaik karena kesenjangan jender berkurang menjadi 65 persen.
Kesenjangan jender di Indonesia seperti mulai dari kecilnya persentase perempuan yang berpartisipasi dalam dunia kerja, hingga kesenjangan pendapatan dan besarnya persentase perempuan bekerja di sektor informal.
Kendati demikian, dalam menyikapi perkembangan ekonomi digital, perempuan bergerak lebih cepat dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan, perempuan menunjukan strategi bertahan di masa pandemi Covid-19. Data menunjukkan bahwa 54 persen wirausaha mikro yang dimiliki perempuan sudah menggunakan internet, dibandingkan dengan 39 persen wirausaha mikro yang dimiliki laki-laki.
”Kami juga mencatat bahwa perempuan mengambil langkah strategis dalam melakukan diversifikasi produk. Data menunjukkan bahwa perempuan pelaku usaha mikro lebih sigap dalam melakukan variasi dan berpindah sektor, lokasi atau produk, dibandingkan dengan pelaku usaha laki-laki,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Kamis (7/10/2021) pada webinar ”Women Participation in Digital Economy: ASEAN Policy Dialogue for Promoting Women Economic Empowerment in Rapidly Evolving Digital Economy Post the Pandemic".
Dengan ekonomi digital, hal ini akan menciptakan kesempatan setara dan memberikan manfaat positif khususnya perempuan.
Webinar tersebut adalah rangkaian Pertemuan Tingkat Menteri tentang Perempuan ASEAN yang keempat, yang mengambil tema ekonomi digital dan inklusi finansial. ”Kami percaya bahwa hal ini sangat relevan dan penting dengan apa yang negara-negara Asia Tenggara dan dunia hadapi saat ini. Dunia berkembang dengan sangat cepat terhadap isu ini,” ujar Bintang yang menjadi pembicara kunci bersama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Saat ini persentase perempuan yang berpartisipasi dalam tenaga kerja hanya 46 persen, sementara laki-laki mencapai 84 persen. Pendapatan perempuan pun hanya 52 persen, sementara laki-laki mencapai 70 persen. Begitu juga dengan persentase perempuan bekerja di sektor informal juga lebih besar (82 persen) dibandingkan dengan laki-laki (79 persen).
Dalam hal literasi finansial, ada tren positif, menyusul kepemilikan akun meningkat pada tingkat yang setara yaitu 6 persen antara laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, perempuan yang menggunakan jasa finansial lebih sedikit daripada laki-laki.
”Berita baik pada tahun lalu, terdapat peningkatan perempuan yang menggunakan jasa finansial dan ini adalah awal yang baik bagi kami untuk mendorong inklusi finansial menuju kesetaraan jender dalam sektor ini,” kata Bintang.
Perkembangan ekonomi digital membuat bisnis menggunakan internet tidaklah dapat dihindari dan perempuan pun harus bergerak lebih cepat dibandingkan rekan laki-lakinya. Hanya, meskipun jumlah wirausaha mikro yang dimiliki perempuan lebih banyak menggunakan internet dibandingkan wirausaha mikro milik laki-laki, saat ini jumlah perempuan yang menggunakan jasa finansial lebih sedikit dari laki-laki.
Untuk pemberdayaan ekonomi perempuan, Kementerian PPPA melakukan beberapa strategi seperti membuat jender sebagai isu sentral dalam strategi nasional inklusi finansial, dan berkolaborasi dengan pemangku kepentingan relevan untuk memfasilitasi pelatihan wirausaha yang sensitif jender dan pendampingan bisnis. Selain itu, mendukung UMKM perempuan untuk bertahan dengan pandemi global saat ini serta mendukung akses terhadap kredit bunga rendah.
Berbagai program pemerintah terkait pemberdayaan perempuan yang ditujukan kepada perempuan prasejahtera yakni perempuan kepala keluarga, perempuan penyintas bencana dan kekerasan.
Kesempatan setara
Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pada masa pandemi Covid-19 perekonomian digital memainkan peran penting untuk mendorong agenda kesetaraan jender di dunia, termasuk di Indonesia. ”Yang terpenting memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah inklusif. Dengan ekonomi digital, hal ini akan menciptakan kesempatan setara dan memberikan manfaat positif khususnya perempuan,” ujarnya.
Perempuan Indonesia merupakan agen ekonomi yang penting. Ketika diberikan akses setara pada layanan digital, akan memperkuat peran perempuan di rumah tangga masing-masing.
”Mereka akan bisa mengelola uang dan mengakses modal lebih baik secara efisien, dan lebih murah. Gilirannya akan mengurangi risiko rumah tangga jatuh ke bawah garis kemiskinan, serta memberi peluang pada perempuan untuk dapat bekerja dan memanfaatkan pasar, sembari merawat anak-anak,” ungkap Sri Mulyani.
Pada acara webinar tampil sebagai pembicara Akiko Yamanaka, Special Advisor to the President of the Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Lenny N Rosalin (Wakil Ketua ASEAN Comittee on Women/Deputi Kesetaraan Jender Kementerian PPPA), Jamie M Zimmerman ( Gender Lead, Financial Services for the Poor Global Growth & Opportunity, Bill & Melinda Gates Foundation), dan Cecilia Tinonin (UN Women Statistic Specialist/UN Women Regional Office for Asia and the Pacific).
Lenny mengungkapkan partisipasi perempuan dalam meraih akses yang lebih tinggi semakin dibutuhkan di kawasan ASEAN. Contohnya, akses keterampilan dan karir berbasis digital; akses kewirausahaan berbasis digital; dan akses kepemimpinan dalam ekonomi digital baik di sektor swasta ataupun publik.
Adapun Akiko Yamanaka menyatakan berdasarkan data ERIA, perempuan merupakan minoritas dalam bidang pekerjaan berbasis teknologi di ASEAN. Perempuan di kawasan ASEAN cenderung mendominasi bidang non-sains dan memiliki peran terbatas dalam pekerjaan berbasis teknologi canggih yang membutuhkan tingkat keterampilan lebih tinggi dan upah lebih baik.
Selain itu, sebagian besar pengusaha perempuan ASEAN memiliki dan mengelola UMKM bermodalkan teknologi digital canggih yang terbatas, kalau pun ada. ”Beragam tantangan ini berpotensi memiliki konsekuensi yang cukup besar terhadap pemberdayaan ekonomi perempuan di masa pemulihan pasca-pandemi apalagi seiring semakin banyaknya kejahatan siber, diskriminasi, bias, dan stereotip yang merugikan perempuan secara luas di kawasan ASEAN,” ungkap Akiko.
Sementara itu, Country Director MicroSave Consulting, Grace Retnowati di bagian akhir webinar mengingatkan, lemahnya inklusivitas jender dalam perumusan dan implementasi kebijakan pasca pandemi, dapat semakin mengasingkan peran perempuan dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi.