Tangani Kemiskinan Ekstrem Berbasis Data Mikro Tingkat Desa
Untuk mencapai target penanggulangan kemiskinan ekstrem tahun 2024, pemerintah melakukan pendekatan dengan berbasis data mikro di desa.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Penjual es keliling melintasi Pasar Proyek Sukapura di Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (31/8/2021). Perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat akan terus menambah masalah ketenagakerjaan di Ibu Kota, yang berpengaruh terhadap kemiskinan. BPS mencatat, dibandingkan September 2020, jumlah penduduk miskin Maret 2021 perkotaan naik 138,1 ribu orang (dari 12,04 juta orang pada September 2020 menjadi 12,18 juta orang pada Maret 2021).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mencapai target nol kemiskinan ekstrem tahun 2024. Selain pengurangan pengeluaran, peningkatan pendapatan, pembangunan kewilayahan, penanganan warga miskin ekstrem juga dilakukan pendampingan desa dan penguatan kelembagaan.
”Target 2024 nol persen kemiskinan bukan pekerjaan yang mudah, tapi juga bukan hal yang mustahil bisa terkelola. Dengan catatan, penanganannya dilakukan di tingkat desa dan berbasis data mikro. Karena kemiskinan ekstrem riil adanya, bisa dipegang, bukan hanya bisa dirasakan dan permasalahannya juga bisa dilihat,” ujar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) A Halim Iskandar, Rabu (6/9/2021), secara daring.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menargetkan hilangnya kemiskinan ekstrem tahun 2030. Akan tetapi, Presiden Joko Widodo mempercepat target Indonesia menjadi tahun 2024.
Untuk mencapai target tersebut, menurut Halim, kuncinya adalah mendeteksi siapa warga miskin, di mana posisinya, kondisinya bagaimana, kemudian menentukan seperti apa penanganannya yang akan dilakukan. ”Dengan demikian, kemiskinan ekstrem itu akan tertangani dengan bagus tiap-tiap desa,” ujarnya.
Target 2024 nol persen kemiskinan bukan pekerjaan yang mudah, tapi juga bukan hal yang mustahil bisa terkelola. Dengan catatan, penanganannya dilakukan di tingkat desa dan berbasis data mikro.
Dalam pelaksanaannya yang berbasis data mikro di level desa, Kemendesa PDTT menyiapkan desainnya untuk 74.961 desa.
Adapun ukuran miskin ekstrem yang dipakai oleh Badan Pusat Statistik merujuk pada pengukuran global Bank Dunia, yakni penghasilan di bawah parity purchasing power (PPP) 1,99 dollar AS/kapita/hari. Nilai ini setara dengan penghasilan di bawah 80 persen garis kemiskinan perdesaan di setiap kabupaten/kota di Indonesia.
Menurut Halim, ada dua kategori warga miskin ekstrem, yakni warga miskin ekstrem yang memiliki hampir seluruh kompleksitas multidimensi kemiskinan dan warga miskin ekstrem yang masih dapat melakukan aktualisasi diri untuk bertahan hidup.
”Jadi semua atribut kemiskinan menempel. Miskin, lansia, tinggal sendirian. Ini banyak kita temukan di desa-desa. Tidak bekerja, karena sudah tua, dan biasanya berbarengan dengan tidak memiliki fasilitas air bersih dan sanitasi yang memadai. Amat sangat memprihatinkan,” ujarnya menjelaskan kemiskinan yang multidimensi. Untuk kategori miskin ini, Halim menegaskan, negara wajib hadir sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1.
Sementara kemiskinan ekstrem kategori adalah warga miskin ekstrem produktif (usia 15-64 tahun), tidak memiliki penyakit menahun, bukan golongan penyandang disabilitas.
Untuk itu, strategi penanganannya dilakukan dengan memupus kemiskinan ekstrem menjadi 0 persen dilakukan pada tingkat desa dengan berbasis data mikro; subyek penanganan warga merujuk satu nama satu alamat sehingga seperti sensus sehingga dapat menyasar seluruh warga.
Selain itu, penuntasan kemiskinan ekstrem pada level desa dilaksanakan dengan cara sekali-selesai dalam batas waktu yang ditentukan, serta tindak lanjut penanganan dapat diusulkan melalui Posyandu Kesejahteraan yang dikembangkan pada kantong kemiskinan ekstrem.
Adapun tahapan penanganannya adalah pemetaan awal, yakni mengecek hasil pendataan SDGs desa, pemetaan warga miskin ekstrem per kabupaten. Setelah itu, penyusunan rencana anggaran sesuai jenis kegiatan yang dibutuhkan, wewenang pembangunan/pemberdayaan, dan lokasi.
Selanjutnya, konsolidasi data dan lapangan, yaitu mengecek satu nama satu alamat dan titik pembangunan setiap kegiatan. ”Jadi kita tidak usah berdebat tentang ini data BPS, BKKBN, Kementerian Sosial, ini data siapa? Ini data desa pemutakhiran SDGs desa. Kita enggak usah berdebat itu, yang penting sekarang ayo bareng-bareng lakukan konsolidasi menuju sumber data primer di desa,” katanya.
Untuk mendapatkan data tersebut harus dilakukan pengecekan dan verifikasi bersama di lapangan. Hasil itulah yang menjadi data dasar. Setelah itu tahapan implementasi dan pemonitoran.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Anak-anak bermain di antara rel kereta api di kawasan hunian semipermanen padat penduduk, Pademangan, Jakarta Utara, Jumat (18/6/2021). Kemiskinan memaksa anak-anak tersebut tumbuh dan bermain di tempat yang tak layak. Pandemi Covid 19 telah berdampak sistemik hingga membuat tingkat kemiskinan naik. Bank Dunia mencatat, sepanjang Februari 2020 hingga Februari 2021, 1,8 juta orang Indonesia menjadi penganggur, 3,2 juta orang kehilangan pekerjaan, dan 2,8 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan per September 2020.
Kepala Pusat Data dan Informasi Kemendes PDTT Ivanovich Agusta menambahkan, Kemendes PDTT berupaya mencapai target Presiden Joko Widodo untuk memupus kemiskinan ekstrem pada 2024. Khusus untuk 35 kabupaten ditargetkan lepas dari kemiskinan ekstrem akhir tahun 2021 sampai pertengahan tahun 2022.
Data SDGs desa untuk menunjang itu sudah mencakup informasi penghasilan di bawah standar 1,99 dollar AS/kapita/hari sehingga diketahui satu per satu warga miskin, kebutuhannya, dan kegiatan penanggulangannya yang khusus untuk setiap warga.
”Pemerintah daerah juga siap untuk menuntaskan kemiskinan ekstrem karena telah ada data by name by address (satu nama satu alamat). Contohnya, Kabupaten Bojonegoro yang telah siap menjalankan kegiatan pengurangan warga miskin ekstrem tahun 2021. Kebutuhan anggaran Rp 404 miliar bisa ditanggulangi, termasuk pemenuhan kebutuhan tiap warga desa,” ujar Ivanovich.