Museum Nasional membuat pameran virtual ”Konservasi Koleksi Perunggu”. Publik dapat mengenal tahap konservasi artefak perunggu, termasuk patung gajah di pelataran museum.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Mari berangkat ke Jalan Medan Merdeka Barat di Jakarta Pusat. Di sana ada satu bangunan yang jadi rumah bagi gajah berusia 150 tahun. Gajah itu diam menghadap jalan raya, menunggu manusia-manusia berkunjung lagi ke rumahnya saat kondisi pandemi Covid-19 membaik.
Gajah itu sebenarnya patung perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V), penguasa Thailand yang berkunjung ke Batavia pada 1871. Gajah tersebut kini dipajang di pelataran Museum Nasional, Jakarta dan menjadi ikon museum.
Berada di pelataran museum membuat patung ini rentan terhadap faktor perusak koleksi, seperti sinar matahari, temperatur, kelembaban, debu, asap kendaraan, hingga hujan. Ada lagi faktor lain, seperti kotoran burung, sampah, permen karet yang menempel, dan getah tanaman.
Lokasi patung yang tidak jauh dari Monumen Nasional (Monas) juga jadi isu. Monas kerap jadi lokasi demonstrasi sehingga menambah kerentanan koleksi museum tersebut.
Menjaga patung tersebut agar tidak lekas rusak menjadi pekerjaan rumah para konservator Museum Nasional. Konservasi dimulai dengan mengidentifikasi material patung perunggu, yakni paduan tembaga, timah, seng, dan timbal.
Setelahnya, kondisi patung tersebut diperiksa dengan mikroskop digital. Ini karena kerusakan maupun faktor perusak kadang tidak terlihat dengan mata telanjang, misalnya korosi aktif berukuran kecil atau tersembunyi. Informasi-informasi tersebut menjadi penentu cara dan bahan apa saja yang akan digunakan untuk konservasi patung.
Konservasi dilanjutkan dengan membersihkan permukaan patung dari debu, kotoran, hingga sarang serangga. Patung kemudian dibersihkan dengan larutan kimia seskuikarbonat. Larutan ini ampuh mengatasi korosi di tubuh patung. Adapun mngeliminasi korosi sama dengan memperpanjang usia patung.
Proses konservasi belum selesai. Larutan seskuikarbonat yang menempel perlu dibersihkan sehingga permukaan patung kembali netral. Untuk mencegah kerusakan ke depan, permukaan patung diberi inhibitor korosi berupa benzotriazole. Terakhir, patung diberi pelapis untuk perlindungan terhadap faktor-faktor perusak.
Pameran virtual
Proses konservasi tersebut dijelaskan secara ringkas dalam pameran virtual bertajuk ”Konservasi Koleksi Perunggu”. Pameran ini diselenggarakan Museum Nasional sejak 29 September 2021 hingga dua bulan ke depan, yakni 29 November 2021.
Pameran tersebut tidak hanya menyediakan video proses konservasi patung gajah. Publik diajak juga jadi konservator dadakan melalui gim sederhana.
Gim itu memvisualkan patung gajah dalam citra 360 derajat. Di badan patung ada sejumlah faktor perusak, seperti coretan, kotoran, dan cat. Tugas pengunjung pameran adalah mencari kotoran itu dengan memutar-mutar gambar gajah, lalu menghapus kotoran dengan sekali klik. Jika berhasil melakukannya dalam satu menit, pengunjung bakal mendapat lencana virtual sebagai hadiah.
Setelah puas mengenal patung gajah perunggu, pengunjung bisa pindah ke bagian dalam museum. Di gedung B lantai dua ada arca Lokanatha. Arca perunggu dari Gunung Tua, Sumatera Utara itu dipamerkan di museum sejak 2017.
Arca tersebut disimpan dalam vitrin, yakni kotak kaca pelindung koleksi. Kendati dilindungi dalam vitrin dan berada di dalam ruangan, arca tetap rentan terpapar polutan dalam ruangan, serta terganggu oleh perubahan temperatur dan kelembaban ruangan.
Sama seperti patung gajah, pengunjung akan diajak ikut mengkonservasi arca melalui gim. Pengunjung juga dijelaskan tahap-tahap konservasi melalui tautan video.
Tahap konservasi arca lebih kurang sama dengan patung gajah. Bedanya, temperatur dan kelembaban relatif terus dipantau dengan data logger, alat perekam data elektronik. Suhu ruang pamer koleksi juga disesuaikan dengan pendingin ruangan, sementara kelembaban diserap dengan gel silika.
Konservasi juga dilakukan di ruang penyimpanan museum. Ruang itu menyimpan ratusan ribu koleksi yang belum dipamerkan ke publik. Alasannya, antara lain, karena narasi koleksi belum lengkap atau kondisi koleksi rapuh.
Salah satu penghuni ruang penyimpanan tersebut adalah kapak Candrasa. Kapak yang berasal dari zaman prasejarah itu dikonservasi dengan tahap yang lebih kurang sama. Namun, kapak ini dibungkus dengan pelapis, kemudian dikemas dalam kotak di ruang simpan.
Konservasi sejarah
Menurut kurator pameran Ita Yulita, konservasi penting untuk memperpanjang usia artefak. Koleksi artefak itu bukan sekadar warisan budaya leluhur, namun juga sumber belajar generasi mendatang.
Adapun artefak perunggu merupakan tanda dimulainya zaman baru dalam peradaban manusia. Perunggu mengakhiri penggunaan alat-alat batu dan tulang yang sebelumnya digunakan jutaan tahun lalu.
Artefak perunggu juga menandai perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kesenian. Ita mengatakan, munculnya perunggu seiring pula dengan tumbuhnya permukiman, kota, hierarki politik, arsitektur, aksara, hingga teknologi.
”Perunggu pun tidak abadi. Melestarikannya jadi tantangan tersendiri. Konservasi dilakukan untuk mencegah kerusakan dan menjaga kelestarian warisan budaya untuk generasi mendatang,” ucap Ita pada pembukaan pameran, Rabu (29/9/2021).
Pelaksana Tugas Kepala Museum Nasional Sri Hartini mengatakan, museumnya menyimpan 194.123 koleksi. Dari jumlah itu, sebanyak 29.945 di antaranya adalah koleksi logam. Koleksi perunggu berjumlah 4.083 buah, sementara sisanya adalah koleksi logam lain seperti tembaga, besi, kuningan, baja, perak, dan emas.