Batik telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO 12 tahun lalu. Pelestarian batik yang sedang gencar kini terhambat karena pandemi Covid-19.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Motif Candi Muaro Jambi dibuat untuk memperkaya ragam hias batik Jambi. Koleksi motif di usaha batik Al-Fath, Jambi, Selasa (10/11/2020).
Keberadaan batik dalam kehidupan sehari-hari perlu diremajakan. Peremajaan batik bukan sekadar digunakan remaja atau orang muda generasi Y, Z, dan Alfa, melainkan termasuk membuat narasi batik yang relevan dengan masa kini. Niscaya lestarilah warisan budaya ini.
Mengenakan batik dalam keseharian nyatanya bisa menjadi menantang. Syifa Mahala, produser Swara Gembira, komunitas anak muda yang memperhatikan isu seni budaya mengatakan, ia kerap mengenakan kain batik ke kampus. Komentar bernada sumbang soal pakaiannya beberapa kali sampai ke telinganya.
”Sempat dicemooh dan ditertawakan waktu mulai berkain. Ada yang memanggil ’putri kain’, tapi dengan cara yang buruk. Saya bersikap bodo amat karena bangga memakainya. Ini juga cara saya mengekspresikan busana,” kata Syifa pada diskusi daring Hari Batik Nasional, Sabtu (2/10/2021).
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Perajin batik Kelompok Usaha Bersama Batik Pring Mas Nunik Wahyuni (30) sedang mencanting batik di Desa Papringan, Banyumas, Jawa Tengah, Senin (22/6/2020).
Batik dinilai formal dan berkesan ”tua” bagi sebagian orang. Penggunaannya terbatas di kesempatan tertentu. Namun, sejarah mencatat batik digunakan saban hari di masa lampau. Syifa memupuk kepercayaan diri dengan bekal pengetahuan tersebut.
Menurut dia, batik nyaman digunakan untuk kegiatan apa saja. Ia mengaku pernah memanjat tangga dan mengganti bola lampu dengan bawahan kain batik. Kenyamanan menggunakan batik tentu tergantung kelihaian si pemakai mengikat dan melipat kain. Syifa belajar dari teman-teman komunitasnya.
”Ada beberapa motif batik yang harus dihormati (tidak bisa sembarangan dipakai). Batik lainnya bisa dipakai ke mana saja. Saya mencoba memakai itu di kesempatan apa pun,” kata Syifa.
Mahasiswa mode sekaligus pendiri jenama Radinindra, Radinindra Nayaka mengatakan, ia mencoba berkain setelah melihat unggahan Instagram Syifa. Kini, batik menjadi busana hariannya. Batik menjadi media mengekspresikan diri.
Ada beberapa motif batik yang harus dihormati (tidak bisa sembarangan dipakai). Batik lainnya bisa dipakai ke mana saja. Saya mencoba memakai itu di kesempatan apa pun.
Menurut dia, jargon bahwa batik adalah identitas Nusantara harus dihidupi. Identitas akan dipertanyakan jika batik tidak rutin dikenakan publik. ”Jika batik adalah identitas, harus ada komitmen untuk dipakai sehari-hari. Komitmen itu sangat mungkin dilakukan anak-anak muda,” ujarnya.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Strategi mendaur ulang pewarnaan efektif menghidupkan kembali pasar batik yang sempat meredup. Angka penjualan di usaha Batik Siti Hajir di Kelurahan Jelmu, Kota Jambi, pun terus naik. menjaga usaha itu bertahan dalam terpaan badai. Tampak SIti Hajir dan suaminya, Junaidi, Rabu (4/11/2020)
Menurut Ketua Yayasan Tjanting Batik Nusantara Sandra Hutabarat, platform digital mendeteksi ketertarikan generasi muda terhadap batik. Ini tampak dari sejumlah unggahan anak-anak muda di media sosial. Hal itu perlu difasilitasi untuk mendukung kelestarian batik.
Batik dinilai mampu menjadi bagian dari mode masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran publik bahwa batik merupakan karya tangan perajin dan mengandung filosofi perlu ditingkatkan.
”Untuk itu kami menginisiasi 2021 Pop Batik Con 2021. Anak muda mulai diarahkan untuk menerima tongkat estafet (pelestarian batik) dan mencintai kain batik dengan (membuat) tema yang relevan,” kata Sandra.
Regenerasi
Di sisi lain, regenerasi menjadi isu serius dalam pelestarian batik saat ini. Pandemi Covid-19 memukul industri batik saat pelestarian batik sedang gencar-gencarnya. Jumlah perajin dan batik yang diproduksi menurun.
Data Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) mencatat ada 151.565 perajin batik di seluruh Indonesia pada 2020. Jumlah perajin batik diperkirakan turun 75 persen pada 2021.
Volume produksi batik juga turun dari 1,5 juta potong per bulan sebelum pandemi menjadi 383.098 potong per bulan saat pandemi. Nilai penjualan pun turun. Sebelum pandemi, penjualan batik mencapai dari Rp 3,7 triliun per tahun, lalu turun menjadi Rp 915 miliar per tahun selama pandemi.
Hal itu terjadi karena batik bukan merupakan kebutuhan prioritas warga selama pandemi. Akibatnya, tidak sedikit perajin batik yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Ada pula yang beralih profesi untuk menyambung hidup.
”Batik halus malah sangat terdampak. Dikhawatirkan batik ini berubah fungsi karena mahal dan perajinnya beralih profesi. Padahal, mereka adalah tenaga terampil. Keterampilan mereka akan berhenti atau hilang jika tidak digunakan lagi,” kata pelestari batik dari Yayasan Batik Indonesia (YBI) Tumbu Ramelan.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Warna merah mendominasi kain-kain batik khas Jambi. Tampak penjemuran batik di usaha batik Al-Fath, Jambi, Selasa (10/11/2020).
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid juga sepakat bahwa regenerasi merupakan kunci pelestarian batik. Berbagai upaya dilakukan untuk memperkuat upaya pelestarian.
”Selain menarik minat kalangan muda untuk terlibat di kegiatan ekosistem batik, penting juga untuk mengangkat topik tentang maknanya di kehidupan sosial. Pemahaman makna, filosofi, dan segala sesuatu yang terkait dengan batik agar bisa dibawa ke sekolah. Ini karena batik bukan hanya produk akhir, tetapi produk dari rangkaian kebudayaan,” tutur Hilmar.
Menurut desainer Didiet Maulana, membawa batik ke ranah pendidikan sama dengan mengakui batik sebagai ekosistem yang utuh. Secara tidak langsung ada pula pengakuan bahwa batik menjamin profesi yang punya masa depan. Gambaran ini dinilai dapat menarik minat publik terlibat di ekosistem batik.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Dua pekerja dari Batik Sidomukti 0,0 KM Giriloyo sedang mewarnai batik bermotif budaya Papua, di Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (2/10/2019).
Selain itu, semangat melestarikan batik dapat dilakukan secara gotong royong. Indonesia sudah punya modal sosial kuat soal itu. Narasi kuat tentang batik dan narasi yang relevan dengan kehidupan masa kini perlu dibuat agar publik merasa terhubung, kemudian mau terlibat melestarikan batik dengan caranya masing-masing.
Tahun 2021 menandai 12 tahun batik diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Fakta bahwa batik masih eksis hingga kini merupakan keajaiban mengingat batik pernah diprediksi punah pada buku keluaran tahun 1850. Keajaiban itu semoga berlangsung hingga seterusnya.