Siapkan Publik Hadapi Perubahan Sosial-Budaya akibat Teknologi
Publik perlu dipersiapkan menghadapi perubahan sosial-budaya sebagai akibat perkembangan teknologi. Publik perlu punya kemampuan berpikir kritis dan optimalisasi teknologi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan sosial dan budaya makin nyata akibat perkembangan teknologi, terutama selama pandemi Covid-19. Masyarakat perlu disiapkan menghadapi perubahan tersebut agar tidak dikuasai teknologi.
Rektor Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Ninok Leksono mengatakan, perkembangan teknologi, khususnya media baru, mendisrupsi kemapanan media lama. Hal ini berdampak pada kehidupan sosial dan budaya masyarakat serta pola komunikasi publik.
”Dampaknya bukan hanya bagaimana masyarakat mengonsumsi media, melainkan juga bagaimana masyarakat berkomunikasi. Pandemi ini menimbulkan tantangan-tantangan dalam komunikasi digital,” ucap Ninok pada pembukaan konferensi internasional daring Conference on Communication and New Media Studies (Comnews) 2021, Selasa (5/10/2021).
Menurut mantan Manajer Bank Dunia Ronny Adhikarya, pandemi mempercepat transformasi digital. Hal ini memengaruhi cara warga global berkomuniasi, belajar, dan bersikap. Komunikasi digital dinilai kurang manusiawi. Padahal, pola komunikasi yang humanistis makin dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan konteks era masyarakat supercerdas 5.0 (super-smart society 5.0).
Masyarakat supercerdas 5.0 diperkenalkan Perdana Menteri Jepang pada 2017. Konsep ini fokus pada manusia, sementara teknologi menjadi pendukung terwujudnya kehidupan yang inklusif dan berkelanjutan.
Teknologi juga digunakan untuk membantu mengatasi isu publik, seperti kesenjangan digital, ekonomi, sosial, dan masalah lingkungan. Adapun Masyarakat 5.0 merupakan transformasi terbaru dari Masyarakat 1.0 (pemburu-pengumpul), Masyarakat 2.0 (pertanian), Masyarakat 3.0 (industri), dan Masyarakat 4.0 (informasi).
Dampaknya bukan hanya bagaimana masyarakat mengonsumsi media, melainkan juga bagaimana masyarakat berkomunikasi. Pandemi ini menimbulkan tantangan-tantangan dalam komunikasi digital.
Kemampuan teknologi merespons isu tampak dari sejumlah perusahaan rintisan dan platform digital, sebut saja GoTo dan Kitabisa. Pendidikan dan pelatihan teknologi mesti diperkuat. Menurut Ronny, belum banyak universitas yang memfasilitasi hal itu.
”Teknologi digital harus diaplikasikan dengan bijak, digunakan secara adil untuk kepentingan bersama. Teknologi juga seharusnya tidak membuat kesenjangan digital, terlebih konflik ekonomi, sosial, politik, dan budaya,” kata Ronny.
Masyarakat juga mengalami tantangan dari perkembangan teknologi, seperti gangguan kecanduan internet (internet addiction disorder/IAD). IAD terjadi karena media digital persuasif. Ronny mengatakan, produk teknologi seperti gim dan aplikasi digital didesain untuk memanipulasi otak kemudian menghasilkan dopamin. Hal ini dipelajari dalam ilmu captology.
Ia menambahkan, kemampuan publik untuk berpikir secara runut, logis, dan kritis diperlukan. Hal itu untuk mencegah publik terseret hoaks dan infodemi.
”Tantangannya adalah bagaimana warganet, pembuat kebijakan, hingga edukator memahami prinsip captology,” kata Ronny. ”Konsep inokulasi komunikasi perlu dimasukkan pada kurikulum di semua level pendidikan. Beberapa aspek yang perlu diajarkan ialah pemikiran kritis, etika, dan tanggung jawab dalam berkomunikasi,” katanya menambahkan.
Dekan Fakultas Komunikasi Massa University of the Philippines Arminda V Santiago mengatakan, norma dan nilai baru tumbuh seiring dengan perkembangan teknologi. Tren-tren baru diprediksi akan bermunculan menyesuaikan perkembangan dunia digital sehingga masyarakat perlu disiapkan, antara lain dengan literasi digital.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengatakan, penguatan literasi publik terus dilakukan. Salah satu tujuannya agar publik kritis menghadapi hoaks. Sejak 2018 hingga September 2021, Kemenkominfo mencatat lebih dari 9.000 hoaks beredar di masyarakat.
”Kami juga mendukung penegakan hukum terhadap hoaks,” ujar Johnny.
Di sisi lain, menurut pengajar Australian National University, Ross Tapesell, perkembangan media baru selalu diikuti dengan munculnya perubahan sosial. Media baru itu perlu dipelajari untuk membaca peta sosial. Ini sesuai dengan perkataan filsuf Marshall McLuhan, ”Media adalah pesannya.”
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto mengatakan, media terdampak disrupsi digital. Sejumlah perusahaan media massa hingga daring mengurangi jumlah karyawan hingga berhenti beroperasi karena sulit beradaptasi. Untuk itu, media dituntut berinovasi dan berkreasi tanpa melupakan marwahnya sebagai jurnalis independen.