Memulihkan Pembelajaran yang Tertinggal Selama Pandemi
Situasi pandemi Covid-19 mengakibatkan penurunan kemampuan dan hasil belajar siswa. Karena itu, strategi literasi dengan target yang jelas harus dikembangkan untuk segera diterapkan di semua sekolah dasar di Indonesia.
Pandemi Covid-19 dinilai berdampak buruk pada kemajuan belajar siswa di tahun-tahun berikutnya. Kehilangan kemajuan belajar siswa setara dengan 5-6 bulan setelah 12 bulan belajar dari rumah dalam hal kemampuan literasi dan numerasi sebelum dan selama pandemi.
Kondisi lebih parah bisa terjadi karena keberagaman dari daerah dan kondisi sosial ekonomi siswa. Siswa dengan latar belakang sosial ekonomi rendah, yang sulit mengakses pembelajaran secara daring karena tidak ada gawai, kuota, jaringan internet, hingga listrik, serta anak-anak berkebutuhan khusus, perlu menjadi perhatian khusus dalam upaya memulihkan pembelajaran sebagai dampak pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga saat ini.
Demikian hasil dari Studi Analisa Situasi Pembelajaran dalam Masa Pandemi oleh Inovasi dan Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang dipaparkan pada Temu Inovasi #12 bertajuk ”Menciptakan Ruang untuk Memulihkan Pembelajaran Siswa SD/MI dari Dampak Covid-19”, pada Jumat (1/10/2021).
Hasil studi pada April-Mei 2021 yang dilakukan di 8 provinsi meliputi 17 kabupaten dan 3 kota serta fokus pada jenjang pendidikan kelas 1-3 SD menunjukkan, terjadi penurunan hasil belajar atau learning loss capaian pemelajaran siswa. Capaian pembelajaran siswa tidak sesuai dengan capaian pembelajaran yang diharapkan pada jenjangnya.
Baca Juga: Menahan ”Learning Loss” di Masa Pandemi
Yuliana Wula Male, guru kelas I Sekolah Dasar (SD) Masehi Wee Rame, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, menuturkan, situasi pandemi Covid-19 membuat pembelajaran tatap muka (PTM) tidak terjadi di sekolah. Hal itu seiring dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Padahal, sebagian besar siswa kelas 1 SD di sekolah ini berasal dari keluarga dengan orangtua yang tidak bisa membaca, tidak memiliki akses terhadap internet, dan sulit mendampingi siswa. ”Jika berpapasan dengan orangtua siswa kelas 1 di pasar atau di jalan, saya coba untuk berbicara, menanyakan kemajuan belajar anak di rumah,” ujarnya.
Yuliana tak bisa pasrah untuk menyerahkan sepenuhnya pembelajaran pada orangtua di rumah yang memiliki keterbatasan mendampingi anak belajar. Ada modul yang diberikan untuk orangtua dan siswa, tetapi orangtua tidak bisa membaca. Akibatnya, pembelajaran sulit terjadi. Anak-anak kelas I SD yang tidak mengikuti pendidikan anak usia dini semakin tertinggal dalam membaca dan menghitung.
Yuliana pun membentuk titik kumpul yang bisa dijangkau siswa. Ada empat kelompok titik kumpul yang dilayani Yuliana secara bergantian. Tak masalah harus berjalan kaki jauh, bagi Yuliana, dirinya merasa bertanggung jawab untuk memastikan para siswa bisa mulai membaca.
”Saya selalu ingatkan orangtua, kalau tidak bisa membaca, minta tolong saja ke tetangga. Atau minta tolong ke teman bermain anak yang sudah bisa membaca,” ujar Yuliana.
Baca Juga: Ketika Sekolah dan Guru Melawan Ancaman Penurunan Hasil Belajar
Dengan adanya modul belajar untuk siswa kelas 1 SD yang mengacu pada kurikulum darurat, Yuliana berusaha keras mendampingi siswa belajar secara langsung saat pertemuan di titik kumpul. ”Saya bisa lihat ada kemajuan, meskipun sederhana saja. Anak yang tidak kenal huruf bisa kenal huruf. Anak yang tidak bisa menulis mulai bisa menulis,” tuturnya.
Ketua Forum Pendidik Madrasah Inklusif, Kementerian Agama Supriono memaparkan, di bawah Kementerian Agama, ada 83.468 satuan pendidikan madrasah dengan jumlah sekitar 10 juta siswa. Dari total siswa, ada 47.516 peserta didik berkebutuhan khusus yang dilayani di 964 madrasah inklusif.
”Untuk siswa berkebutuhan khusus, potensi learning loss lebih berat. Mereka bukan hanya menghadapi hambatan akses, tetapi juga sudah ada hambatan atau kebutuhan khusus yang melekat di dirinya. Siswa tidak sekadar butuh akademis, tetapi juga butuh layanan khusus/terapi dan life skill (kecakapan hidup),” kata Supriono.
Untuk siswa berkebutuhan khusus, potensi learning loss lebih berat. Mereka bukan hanya menghadapi hambatan akses, tetapi juga sudah ada hambatan atau kebutuhan khusus yang melekat di dirinya.
Rencana pembelajaran yang disusun pun tidak bisa dilakukan akibat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Layanan terapi yang dibutuhkan anak tutup. Akhirnya, sekolah menyederhanakan program pembelajaran individu yang bisa dipahami orangtua. Berbagai stimulasi dicontohkan dengan menggunakan sarana dan prasarana di rumah agar bisa dilakukan orangtua.
Memengaruhi keberhasilan siswa
Direktur Program Inovasi, Mark Heyward, mengungkapkan, temuan awal studi menunjukkan terjadi kehilangan pembelajaran atau learning loss. Kehilangan pembelajaran dapat diartikan hilangnya kompetensi yang telah dipelajari sebelumnya, atau tidak tuntasnya pembelajaran di jenjang kelas, serta ada efek majemuk dari tidak menguasai pembelajaran di tiap jenjang kelas yang signifikan, dan siswa mengalami putus sekolah.
Sementara, menurut definisi UNESCO, tentang hal tersebut yakni hilangnya partisipasi siswa atau participation loss, termasuk putus sekolah dan tidak terlibat di sekolah; tidak merasa dilibatkan dan atau tidak berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, tidak terdaftar, atau jumlah kehadiran rendah. Efek kerugian tersebut mungkin akan terus berlangsung, bahkan setelah pandemi.
Ketika siswa tidak menguasai satu tahun pembelajaran, hal itu akan berdampak majemuk, siswa akan kehilangan pembelajaran di tahap selanjutnya. ”Penanganan untuk pemulihan pembelajaran karena pandemi Covid-19 harus menjadi perhatian sangat penting. Apalagi keterampilan dasar literasi dan numerasi di kelas awal ini sangat penting bagi siswa untuk dapat mengikuti pembelajaran,” kata Mark.
Kelas awal atau 1-3 SD dipilih karena di tahap ini momen tersebut menjadi kunci pembelajaran, atau periode di mana penguasaan pembelajaran siswa lemah, dan memengaruhi keberhasilan pembelajaran siswa.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikburistek, Anindito Aditomo, mengatakan, hasil studi menyoroti isu kunci yang menjadi upaya mendesak dilakukan, dalam jangka pendek ataupun menengah. Sejumlah isu itu meliputi literasi dan kurikulum, hingga asesmen diagnostik untuk mengetahui kemampuan siswa.
Tujuan studi, yakni mengidentifikasi kesenjangan antara pencapaian saat ini dan pencapaian yang diharapkan dalam hal keterampilan literasi dan numerasi dasar. Selain itu, studi ini untuk mengetahui pengaruh Covid-19 terhadap partisipasi belajar siswa setelah lebih dari satu tahun siswa belajar di masa pandemi.
Baca Juga: Asesmen Nasional 2021 untuk Pemetaan Awal Dampak ”Learning Loss”
”Strategi literasi dengan target yang jelas harus dikembangkan untuk segera diterapkan di seluruh SD di Indonesia. Ini untuk memastikan siswa mampu mengembangkan pengetahuan serta keterampilan membaca dan menulis sejak kelas awal SD, karena hal itu merupakan investasi bagi pembelajaran mereka saat ini dan seterusnya,” ungkapnya.
Dalam jangka pendek, penggunaan kurikulum khusus perlu didorong untuk mengurangi risiko kehilangan pembelajaran yang terus berlanjut, khususnya penggunaan modul kurikulum darurat yang fokus pada kemampuan literasi dan numerasi,” jelas Anindito.
Peran daerah
Anindito menggarisbawahi peran pemerintah daerah dan kerja sama berbagai pihak untuk pembelajaran berpihak pada siswa sehingga sekolah diberikan ruang menyesuaikan pembelajaran. Itu termasuk dukungan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), agar sekolah dapat memakainya sesuai kebutuhan.
Pemerintah daerah dan dinas pendidikan didorong untuk mendukung kebijakan kurikulum darurat, yang merupakan respons paling cepat saat pendidikan menghadapi pandemi. Guru akan lebih punya waktu fokus pada penguasaan kompetensi terkait konten materi.
Pemilihan kurikulum darurat membuat pembelajaran dalam Kurikulum 2013 menjadi sederhana, bisa fokus pada literasi, numerasi dan karakter. Terbukti hasil belajar tetap baik. ”Setelah mengontrol efek latar belakang sosial ekonomi dan kemampuan kognitif siswa, karakteristik guru dan sekolah, penyederhanaan kurikulum berdampak pada capaian kompetensi pada literasi dan numerasi yang baik,” kata Anindito.
Di tengah ancaman learning loss, ada pemerintah daerah yang mampu membuat strategi pemulihan pembelajaran. Fokus pemulihan pembelajaran menjadi kebijakan prioritas utama intervensi program pendidikan satu tahun ke depan pada 2022.
”Ini kami lakukan dengan pembentukan Tim Teknis Program Pemulihan Pembelajaran di Disdikbud Kabupaten Bulungan yang berkoordinasi dengan Satgas Covid-19. Untuk jangka panjang, kami memasukkan literasi, numerasi, dan karakter ke dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) 2021-2026 sehingga jadi fokus program pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Bulungan,” ujar Bupati Bulungan, Kalimantan Utara, Syarwani.
Sementara Direktur Sekolah Dasar, Kemendikbudristek, Sri Wahyuningsih, mengatakan, upaya daerah yang beragam dapat menjadi inspirasi yang terbukti efektif dalam pemulihan pembelajaran. Pendidikan sesuai kebutuhannya, dan sesuai dengan karakteristik daerah harus diangkat agar pembelajaran itu sesuai dengan daerahnya.
”Dukungan pemerintah daerah yang sudah mengeluarkan regulasi yang membantu guru dan sekolah untuk mengadakan pembelajaran di masa pandemi juga penting. Peran berbagai pihak harus dioptimalkan untuk mendampingi layanan pendidikan agar kualitas pendidikan baik. Dengan kolaborasi kita akan memberikan energi baru dan siap melakukan kreativitas dan inovasi membantu mengejar ketertinggalan kita,” tuturnya.
Sri menambahkan, perlu upaya khusus dan fokus mengatasi kehilangan pembelajaran yang signifikan dan siswa mengalami putus sekolah sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Dalam jangka pendek, upaya bisa dilakukan dengan berfokus pada kebutuhan pembelajaran inti siswa yang memprioritaskan tiga hal.
Pertama, kemampuan literasi dan numerasi, serta mengetahui apa yang siswa bisa dan tidak bisa lakukan. Kedua, semua guru memiliki akses ke modul kurikulum khusus, baik itu versi digital maupun versi cetak. Ketiga, lebih banyak sumber daya tersedia bagi guru melakukan asesmen diagnosis berbasis kelas untuk mengidentifikasi pencapaian dan kebutuhan pembelajaran di bidang pembelajaran inti pada platform pembelajaran Kemendikbudristek, seperti Guru Belajar dan Berbagi serta Asesmenpedia.
Peran masyarakat
Peran serta masyarakat juga dapat mendukung pemulihan pembelajaran. Sebagai wujud tanggung jawab membangun dan Menumbuhkan Generasi Emas Indonesia 2045, Nahdlatul Ulama (NU) Circle melaksanakan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) di 7 wilayah Indonesia secara serentak. Peluncuran kegiatan ini sekaligus menandai pelaksanaan Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi.
Kegiatan bertema ”Program Pembelajaran Matematika Bernalar, Kontekstual Sederhana dan Mendasar” digelar di tujuh kabupaten yakni Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Sumenep (Pulau Madura-Jawa Timur), Bima (Pulau Sumbawa-Nusa Tenggara Barat), Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur), Maros (Sulawesi Selatan), Brebes ( Jawa Tengah) dan Gunung Mas (Kalimantan Tengah). Pelaksanaan kegiatan dilaksanakan selama Oktober hingga Desember 2021.
”Kita tidak boleh lagi abai dengan situasi kemunduran mutu pendidikan nasional. Kualitas literasi numerasi anak Indonesia sangat terpuruk. Mutu anak SMP setara dengan kelas IV SD. Jika dibiarkan, ini sangat berbahaya bagi masa depan bangsa Indonesia,” kata Ketua NU Circle Gatot Prio Utomo (Gus Pu) dalam sambutan peluncuran Gernas Tastaka NU Circle, awal Oktober 2021.
Gernas Tastaka mengajarkan pembelajaran numerasi secara bernalar dan kontekstual serta diajarkan dengan metode yang sangat sederhana dan mendasar. Gernas Tastaka akan menjadi jawaban atas merosotnya mutu pendidikan numerasi di Indonesia.
Selama tiga tahun Gernas Tastaka fokus mendidik guru SD. Guru SD akan mendidik anak-anak SD. Sasaran utama pendidikan numerasi adalah pada pendidikan dasar, yaitu SD dan Madrasah Ibtidaiyah. Merekalah generasi yang akan menjadi pemimpin nasional 25 tahun ke depan.