Rektor Udayana: Berita Bohong Menggerus Kepercayaan
Cara paling sederhana untuk melawan berita hoaks adalah dengan tidak menyebar informasi itu apabila tidak yakin dengan kebenarannya. Terlebih lagi, saat ini juga ada industri penyebar hoaks.
Oleh
HARYO DAMARDONO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan berita bohong dapat menggerus tingkat kepercayaan dari masyarakat terhadap berbagai hal. Langkah tegas pemerintah yang telah menghadirkan regulasi untuk menyikapi berita bohong dengan demikian harus didukung.
Demikian dikatakan Rektor Universitas Udayana I Nyoman Gde Antara dalam webinar literasi digital bertajuk ”Banjir Informasi dan Tantangan Menghadapi Berita Bohong”, Kamis (30/9/2021). Webinar literasi digital ini merupakan hasil kerja sama antara harian Kompas dan PT Great Giant Pineapple.
”Buat (kaum) akademis, kita itu punya kajian, studi, dan riset. Semua itu bisa dipertanggungjawabkan. (Namun) berita hoaks itu memperburuk semuanya,” ujar Antara.
Diakui Antara, dirinya juga pernah menjadi korban dari penyebaran berita bohong terkait tenggelamnya KRI Nanggala-402. ”Saat itu, saya tidak sadar. Berita hoaks itu jadi sangat merugikan dan tidak pandang bulu. Itu jadi tantangan untuk kita semua,” ujarnya.
Menurut Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra, sebagian besar berita hoaks menyebar ke masyarakat melalui media sosial. ”Kebetulan pengguna media sosial di Indonesia begitu besar. Sebanyak 61,8 persen penduduk Indonesia telah menggunakan media sosial,” ujarnya.
Namun, dikatakan Sutta, pandemi Covid-19 telah menggeser kembali kepercayaan warga global ke media dan para pakar untuk mendapatkan informasi yang valid. ”Kini, warga global kembali percaya pada media dan para pakar,” katanya.
”Webinar semacam ini dapat menjadi pintu masuk yang baik bagi media untuk bekerja sama dengan akademisi, seperti dengan Udayana. Dengan pakar-pakar dari Udayana, kami juga berharap dapat menghadirkan konten yang baik,” ujar Sutta.
Diakui Wakil Rektor Udayana Putu Gede Adiatmika, konten dari media arus utama itu cukup baik karena ada proses editing. ”Media arus utama seperti dunia akademisi, jadi ada proses verifikasi,” ujarnya. Namun, dia menambahkan, ada pula media yang mengunggah konten yang kurang tepat.
Sutta pun mengakui, media memang mempunyai pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Kompentensi wartawan juga harus selalu ditingkatkan untuk dapat memenuhi kebutuhan pembaca.
Industri hoaks
Ditambahkan Sutta, cara paling sederhana untuk melawan berita hoaks adalah dengan tidak menyebar informasi itu apabila tidak yakin dengan kebenarannya. ”Ini karena ada juga industri penyebar hoaks. Mereka dapat reward besar bila berita ini viral,” ujarnya.
Cara paling sederhana untuk melawan berita hoaks adalah dengan tidak menyebar informasi itu apabila tidak yakin dengan kebenarannya.
Industri itu dapat uang dari dua pihak. Pertama, dari pemesan berita hoaks. Kedua, dapat keuntungan juga dari uang iklan dari perusahaan platform yang memang memberi uang terhadap artikel-artikel yang viral.
Namun, dampak dari penyebaran berita hoaks ini tidak sederhana. Berdasarkan survei Kompas, dampaknya beragam, mulai dari mengganggu relasi di keluarga hingga menyebabkan perpecahan di masyarakat.