Pemda Siapkan Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas
Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas (RAD PD) dibutuhkan untuk mencapai pembangunan inklusif yang melibatkan penyandang disabilitas. RAD PD, antara lain, memastikan pemenuhan hak dan kebutuhan dasar mereka.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah mulai menyiapkan Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas atau RAD PD. Tujuannya agar hak dan kebutuhan dasar penyandang disabilitas dipenuhi, mendorong pemberdayaan penyandang disabilitas, dan agar mereka turut serta dalam pembangunan yang inklusif.
Penyusunan RAD PD diatur dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Nomor 3 Tahun 2021. Aturan itu merupakan turunan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. RAD PD diperlukan untuk memperkuat Rencana Aksi Nasional Peyandang Disabilitas (RAN PD)
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Bappenas Maliki pada Kamis (30/9/2021) mengatakan, RAD PD perlu mencakup sejumlah isu strategis. Beberapa di antaranya memastikan hak hidup penyandang disabilitas, memperluas akses penyandang disabilitas terhadap fasilitas publik, transportasi, dan layanan rehabilitasi. Selain itu, isu ketenagakerjaan dan peningkatan kapasitas penyandang disabilitas juga perlu diperhatikan.
Pemerintah dan swasta punya kuota kepegawaian untuk penyandang disabilitas yang harus dipenuhi. Akan tetapi, kita masih jauh dari ini. Selain kuota, produktivitas dan daya saing penyandang disabilitas juga perlu diperhatikan.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 memperkirakan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 23 juta orang. Sekitar 2,5 juta orang di antaranya termasuk kelompok usia produktif.
Posisi penyandang disabilitas selama ini rentan. Selain karena stigma negatif dari masyarakat, kesempatan mereka untuk berdaya juga terbatas.
Hal itu tampak dari rendahnya capaian pendidikan penyandang disabilitas. Sebanyak 39 persen penyandang disabilitas tidak punya ijazah, 33 persen memiliki ijazah SD dan sederajat, 12 persen ijazah SMP sederajat, dan 13 persen ijazah SMA sederajat. Hanya 5,62 persen difabel yang mengantongi ijazah D-3 ke atas dan 115.000 orang dengan ijazah S-1 ke atas.
Rendahnya capaian pendidikan berdampak terhadap peluang kerja yang terbatas. Sebanyak 70 persen penyandang disabilitas bekerja di sektor informal. Mereka tidak menerima jaminan kesehatan, sosial, hingga jaminan hari tua.
”Pemerintah dan swasta punya kuota kepegawaian untuk penyandang disabilitas yang harus dipenuhi. Akan tetapi, kita masih jauh dari ini. Selain kuota, produktivitas dan daya saing penyandang disabilitas juga perlu diperhatikan,” kata Maliki pada diskusi daring.
Dalam UU No 8/2016, pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD) wajib mempekerjakan minimal 2 persen penyandang disabilitas dari total jumlah pekerja. Adapun jumlah pekerja disabilitas di perusahaan swasta minimal 1 persen.
Tantangan penyandang disabilitas di tempat kerja, antara lain, karena masih terbatasnya dukungan layanan, sarana, dan prasarana di tempat kerja. Kesadaran pemberi kerja untuk melibatkan penyandang disabilitas juga dinilai masih kurang. Padahal, pekerjaan dapat membuat mereka berdaya atas dirinya.
”Perlu disediakan fasilitas umum yang layak untuk penyandang disabilitas, beri pendampingan buat pemberi kerja dan tenaga kerja disabilitas, serta beri kemudahan akses pendidikan dan pelatihan. Perlindungan sosial buat penyandang disabilitas juga penting,” kata Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah (SUPD) IV Kementerian Dalam Negeri Zanariah.
Pembangunan inklusif bisa dicapai dengan menyusun rencana aksi nasional dan daerah. Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas Pungky Sumadi mengatakan, rencana aksi perlu memperhatikan perencanaan, penganggaran, dan evaluasi.
Koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah juga penting. Pemerintah pusat dan daerah perlu memikirkan rencana lima tahun ke depan, seperti target dan indikator pencapaian.
Adapun Maluku dan Sulawesi Tengah tengah menyusun RAD PD. Rencana aksi ini direncanakan berlaku pada November 2021.
Implementasi daerah
Kepala Bappeda Kalimantan Selatan Nurul Fajar Desira mengatakan, RAD PD periode 2018-2021 akan dievaluasi bulan depan. Pemprov akan menyusun draf peraturan gubernur terkait RAD PD periode 2022-2026 pada Februari 2022, kemudian ditetapkan Maret 2022.
Pemprov Kalimantan Selatan juga menyediakan anggaran lebih dari Rp 12 miliar untuk pelayanan disabilitas pada 2022. Adapun anggaran pada 2021 sebanyak Rp 15 miliar, pada 2020 Rp 13 miliar, dan pada2019 Rp 6 miliar.
”Hingga kini ada empat dari 13 kabupaten/kota di Kalsel yang sudah menyusun rencana aksi penyandang disabilitas,” kata Nurul. ”Lembaga swadaya masyarakat disabilitas dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan,” tambahnya.
Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia (PPDFI) Papua Robi Nyong mengatakan, organisasi yang berhubungan dengan penyandang disabilitas harus dilibatkan dalam perencanaan pembangunan inklusif, termasuk menyusun RAD PD. Pembangunan inklusif perlu memperhatikan penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak dan kebutuhan dasar difabel.