Menteri Sosial Tri Rismaharini memastikan masyarakat miskin yang layak menerima program Penerima Bantuan Iuran-Jaminan Kesehatan tetap akan mendapatkan haknya. Setiap awal bulan bisa diajukan datanya oleh daerah.
Oleh
Sonya Hellen Sinombo
·4 menit baca
DOKUMENTASI HUMAS KEMENTERIAN SOSIAL
Menteri Sosial Tri Rismaharini saat memberikan keterangan kepada pers, Senin (27/9/2021), di kantor Kementerian Sosial terkait dengan penerima program Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Sosial Tri Rismaharini memastikan tidak ada orang miskin yang dikeluarkan dari daftar Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan tahun 2021. Berdasarkan pengecekan, Kementerian Sosial menemukan ada sekitar 9 juta nama penerima program tersebut yang tidak masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial karena datanya tidak sesuai, meninggal, data ganda, dan lain-lain.
Kendati demikian, kesempatan masyarakat miskin yang tidak terdata untuk masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sangat terbuka. Sebab, dari kuota nasional 96,8 juta, terdapat kuota 9.746.317 orang untuk usulan baru, termasuk perbaikan data yang belum padan dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri.
Selain itu, kemungkinan untuk masuk kuota Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI-JK) tahun 2021 terbuka jika ada migrasi dari PBI daerah, bayi baru lahir, pekerja yang setelah enam bulan di-PHK (pemutusan hubungan kerja) dan belum mempunyai pekerjaan, korban bencana, dan lain-lain. ”Jadi, masyarakat miskin atau tidak mampu yang belum menerima bantuan tidak perlu berkecil hati,” kata Rismaharini, Senin (27/9/2021), dalam keterangan pers di kantor Kementerian Sosial.
Ia menegaskan, masyarakat yang benar-benar membutuhkan bantuan dapat diusulkan melalui Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-New Generation oleh pemerintah daerah.
Ketiadaan NIK bukan karena mereka tidak mau mendapatkan NIK, melainkan memang pemerintah belum memberikannya kepada mereka.
Berdasarkan data pada 15 September 2021, setelah dilakukan pemadanan data dengan DTKS, jumlah PBI-JK tahun 2021 sebanyak 74.420.345 orang. Selain itu, terdapat 12.633.338 orang yang tidak masuk DTKS, tetapi sudah padan dengan data di Ditjen Dukcapil Kemendagri.
”Data yang belum ada di DTKS inilah yang perlu verifikasi status miskin atau tidak mampu oleh daerah. Kalau hasil verifikasi dinyatakan layak, maka dapat masuk DTKS,” ujar Rismaharini.
Mensos mengungkapkan, untuk memastikan ketepatan sasaran penyaluran bantuan sosial, Kemensos memutakhirkan data secara periodik dan sistematis. Itu dilakukan melalui pemadanan data penerima bantuan dalam DTKS dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang terdaftar di Ditjen Dukcapil.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Rumah warga semipermanen yang berdiri di pinggir Waduk Pluit, Jakarta, dengan latar belakang apartemen yang menjulang tinggi, Senin (2/8/2021).
Pemadanan data pada DTKS dengan NIK merupakan temuan dan rekomendasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemadanan data dengan NIK di Ditjen Dukcapil untuk memastikan bantuan sosial tersalur tepat sasaran dan memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas.
”Data yang tidak padan dengan NIK di Dukcapil tidak bisa diberikan bantuan. Data yang belum padan ini harus dikeluarkan,” ujar Rismaharini.
Mensos menjelaskan, terkait dengan program PBI-JK, ada tiga regulasi yang menjadi pegangan Kemensos. Pertama pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, diatur pada Pasal 14 Ayat 2 bahwa penerima bantuan iuran adalah fakir miskin dan orang tidak mampu.
Kedua, pada Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pasal 8 Ayat (2) mengatur identitas peserta paling sedikit memuat nama dan nomor identitas yang terintegrasi dengan NIK, kecuali untuk bayi baru lahir. Karena itulah, data yang ada harus padan dengan data di Dukcapil.
Ketiga, Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2019 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perubahan Data PBI-JK yang bersumber dari DTKS yang ditetapkan oleh menteri. Penetapan data akan dilakukan sebulan sekali, yakni pada awal bulan sampai tanggal 12.
”Jadi, di minggu pertama setelah saya menetapkan DTKS, saya buka kesempatan kepada daerah untuk mengirimkan data hasil verifikasi mereka. Sebelum saya tetapkan di pertengahan bulan,” kata Mensos.
Segera lakukan pendataan
Menanggapi keterangan Mensos, Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch, menegaskan, sampai saat ini memang masih ada peserta PBI-JK yang belum memiliki NIK yang padan dengan DTKS. Bahkan, per 31 Desember 2020, jumlah peserta PBI-JK yang NIK-nya belum padan sebanyak 2.836.647 orang.
”Memang mereka belum memiliki, tetapi ketiadaan NIK bukan karena mereka tidak mau mendapatkan NIK, tetapi memang pemerintah belum memberikannya kepada mereka,” ujar Timboel.
KOMPAS/RYAN RINALDY
Timboel Siregar
Akan tetapi, dia mempertanyakan, mengapa pemerintah yang lalai memberikan NIK kepada mereka, justru masyarakat yang dikeluarkan dari PBI-JK. Mereka adalah warga negara Indonesia yang berhak atas Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga ketiadaan NIK bukan menjadi alasan untuk mengeluarkan mereka dari JKN.
”Lakukan pendataan saja. Jangan menduga mereka yang tidak punya NIK karena pindah segmen, meninggal dunia, data ganda, atau mungkin sudah tidak lagi termasuk kategori miskin. Sebaiknya Kemensos mendata mereka, tidak menduga-duga. Bila memang belum punya NIK, ya, berikan saja NIK kepada mereka,” kata Timboel tegas.
Soal ada usulan baru untuk mengisi 9.746.317 nama, Timboel menilai, hal tersebut hanya seruan. Sebab, sejak Januari 2021, tidak ada penambahan peserta PBI, kecuali bayi baru lahir dari ibu peserta PBI. Padahal, banyak pekerja yang kena PHK, korban pandemi Covid-19 yang jatuh miskin, tapi belum dimasukkan ke dalam peserta PBI.