17 Tahun Undang-Undang Berlaku, Kekerasan terhadap Istri Paling Tinggi
Kehadiran regulasi ternyata tidak menghentikan berbagai kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan, siklus kekerasan terus berlanjut. Sejumlah perempuan korban sulit terlepas dari jerat KDRT karena berbagai faktor.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·6 menit baca
Sejak diundangkan 17 tahun yang lalu, hingga kini implementasi dari Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga masih menghadapi tantangan dan hambatan. Selain angka kekerasan dalam rumah tangga yang masih tetap tinggi, para korban kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas adalah perempuan masih sulit mendapatkan keadilan dan pemulihan.
Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) selama 17 tahun melalui Catatan Tahunan mendokumentasikan 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau di ranah privat. KDRT yang terjadi meliputi kekerasan terhadap istri (KTI), kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP), kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT), kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan relasi personal lainnya, kekerasan mantan pacar (KMP), dan kekerasan mantan suami (KMP).
”Dari jenis-jenis KDRT, kekerasan terhadap istri selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT ranah personal dan selalu berada di atas angka 70 persen. Sementara yang paling minim terlaporkan adalah kekerasan terhadap pekerja rumah tangga,” ujar Dewi Kanti, komisioner Komnas Perempuan yang juga Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan, pada webinar ”Memutus Rantai Kekerasan dan Memulihkan Korban: Refleksi 17 Tahun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT”, Senin (27/9/2021), secara daring.
Mengawali webinar yang juga menghadirkan Siti Rubaidah (penyintas) dan Andi Akram (Mahkamah Agung), Dewi pun mengajak semua pihak berefleksi atas UU Penghapusan KDRT (PKDRT) dengan melihat bagaimana korban dapat mengakses keadilan dan pemulihan serta hambatan-hambatan di dalam pelaksanaan UU tersebut. Komnas Perempuan mencatat, pelaksanaan UU PKDRT yang diundangkan pada 22 Desember September 2004 masih menemui sejumlah hambatan, terutama dalam memastikan korban mendapatkan keadilan dan pemulihan, yaitu tingginya korban yang mencabut laporan atau pengaduan.
Aparat penegak hukum mengangkat dan menekankan hanya satu tujuan UU PKDRT, yaitu untuk menjaga keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Siti Aminah Tardi, komisioner Komnas Perempuan, mengungkapkan hambatan-hambatan implementasi UU PKDRT adalah tingginya korban yang mencabut laporan/pengaduan; penafsiran terhadap Pasal 2 tentang ruang lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT, khususnya perkawinan tidak tercatat; kurangnya alat bukti; dan perspektif aparat penegak hukum.
Selain itu, belum maksimalnya penjatuhan pidana tambahan pembatasan gerak pelaku, pembatasan hak-hak tertentu, dan mengikuti program konseling; belum maksimalnya penerapan dan mekanisme kerja perintah perlindungan; dan budaya yang masih menilai kasus KDRT sebagai aib dan masalah privat.
”Terkait korban mencabut laporan, kita harus memaknainya dalam siklus kekerasan. Bagaimana ketika korban melapor, dia pertama mungkin belum mendapatkan penguatan dan juga ada siklus kekerasan,” ujar Aminah.
Ia mencontohkan bagaimana dilema yang dialami korban KRDT, seperti yang dialami korban KDRT di Semarang, yang mendapat beragam kekerasan dan polisi menahan suaminya saat korban hampir dibunuh. Namun, saat di kepolisian, pelaku meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi perbuatan, di sisi lain korban memiliki banyak pertimbangan (faktor perkawinan, anak, dan finansial) sehingga korban akhirnya mencabut laporan.
Ternyata, siklus kekerasan terus berlanjut. Dua minggu setelah korban mencabut laporan, KDRT kembali terjadi.
Di sisi lain, menurut Aminah, penerapan UU PKDRT sangat dipengaruhi oleh pandangan yang masih kuat bahwa persoalan KDRT merupakan persoalan rumah tangga masing-masing. Akibatnya, ada anggapan kedua belah pihak perlu menghindari mengungkap konflik yang ada di dalam keluarga ke publik.
”Pandangan ini juga yang menyebabkan aparat penegak hukum mengangkat dan menekankan hanya satu tujuan UU PKDRT, yaitu untuk menjaga keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera,” kata Aminah.
Kriminalisasi korban
Hal senada disampaikan Ratna Batara Munti, pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia mengungkapkan persoalan utama implementasi dari UU PKDRT, bukan pada rumusan hukum yang dianggap multi interpretasi. Persoalannya lebih pada keterbatasan pemahaman aparat penegak hukum (APH) dan pihak lainnya terhadap isu atau permasalahan dan situasi KDRT itu sendiri.
Misalnya, tidak memahami konteks KDRT yang terjadi pada relasi domestik/intim yang bersifat hierarkis, yakni hubungan kekuasaan yang tidak setara, di mana korban KDRT di posisi subordinat terhadap pelaku. Tak hanya itu, APH tidak mengenal siklus KDRT sehingga ketika korban ”melawan” satu atau dua kali, akan diposisikan sama dengan pelaku KDRT yang telah lama melakukan KDRT sepanjang kehidupan korban (riwayat kekerasan).
Akibatnya, kasus ”kriminalisasi korban” terjadi. ”Intinya, APH masih melihat KDRT sebagai kasus kejahatan biasa atau umum. Lokus kejadian di wilayah privat, seperti kekerasan seksual terhadap istri, tetapi terobosan dalam hukum acara belum optimal digunakan,” kata Ratna.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Bareskrim Polri Komisaris Polisi Ema Rahmawati mengakui, dalam penanganan kasus KDRT masih menghadapi sejumlah tantangan, antara lain hanya korban yang menjadi saksi kunci, alat bukti ilmiah mutlak dibutuhkan, korban melapor terlambat sehingga alat bukti yang melekat sudah hilang, korban dalam ancaman pelaku, pelaku adalah orang terdekat, dan korban mencabut laporan (ketergantungan ekonomi, takut dicerai, dan lain-lain).
Selain itu, adanya perbedaan persepsi APH terhadap penafsiran UU sehingga penanganan perkaranya terhambat; keterbatasan layanan/bantuan teknis kesehatan, terutama dalam mendukung pembuktian perkara dan pembiayaan yang belum jelas; keterbatasan dokter, psikolog, pekerja sosial, dan pendamping hukum; keterbatasan ahli KDRT (selama ini penyidik hanya meminta keterangan ahli pidana secara umum); sarana dan prasarana pengamanan terhadap korban belum terpenuhi (rumah aman, shelter, dan panti); serta SDM yang belum responsif jender.
Permasalahan-permasalahan tersebut membuktikan masih dibutuhkan berbagai upaya untuk mencegah, menangani, dan memulihkan korban KDRT. Oleh karena itu, untuk memutus rantai kekerasan dan memulihkan korban, bertepatan dengan17 tahun disahkannya UU PKDRT, Komnas Perempuan memberikan sejumlah saran dan rekomendasi.
Kepada Mahkamah Agung direkomendasikan untuk menerapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 dalam memeriksa kasus-kasus perceraian dengan alasan-alasan KDRT dan membangun mekanisme untuk melibatkan pekerja sosial dalam menilai kelayakan pengasuhan anak sebagai dasar pengambilan keputusan.
Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga diharapkan membangun skema nasional aksi penghapusan KDRT di Indonesia serta menguatkan koordinasi dengan APH, Komnas Perempuan, dan instansi terkait untuk penguatan kapasitas penegak hukum. Ini meliputi pemahaman tentang KDRT sebagai kekerasan yang berbasis jender dan perlindungan hak perempuan korban kekerasan.
Pemberdayaan perempuan korban, keluarga, dan komunitas secara berkelanjutan dengan menyediakan berbagai informasi hingga ke tingkat desa dalam upaya penghapusan KDRT harus dilakukan. Selain itu, mempercepat proses penguatan hukum bagi Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP).
Demikian juga di Kejaksaan Agung, perlu memperkuat akses korban terhadap keadilan dan pemulihan di tingkat penuntutan serta menyosialisasikan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana ke seluruh kejaksaan di Indonesia demi memastikan peran jaksa dalam membantu korban, termasuk dalam hal restitusi bagi korban.
Sementara Kepolisian Negara RI juga direkomendasikan untuk mengutamakan penegakan hukum dan membangun standar norma untuk kasus yang dapat diselesaikan secara restorative justice dalam penyelesaian kasus KDRT; meningkatkan penanganan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga layanan korban KDRT sebagai bagian dari penguatan pelaksanaan SPPT PKKTP, serta penting menguatkan kapasitas penyelidik dan penyidik tentang KDRT sebagai kekerasan berbasis jender.