Data epidemiologi dan mitigasi penularan Covid-19 agar terus mengiringi dalam pelaksanaan sekolah tatap muka yang mulai banyak dijalankan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembelajaran tatap muka di sekolah bisa dibuka asalkan bisa memenuhi sejumlah persyaratan. Selain penularan di lingkungan harus rendah, tingkat vaksinasi yang tinggi, protokol kesehatan harus dijalankan dengan ketat, terutama di level dasar yang belum mendapatkan vaksinasi. Tes serta lacak harus juga diperkuat untuk mendeteksi dini penularan agar kasus tidak meluas.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University Dicky Budiman, Minggu (25/9/2021), mengatakan, sekolah memiliki posisi penting dan tidak mungkin terus ditutup. ”Jangan sampai bapak-ibunya bisa jalan ke kafe dan mal, tetapi anaknya tidak bisa sekolah. Maka, dalam strategi pandemi, sekolah mestinya paling akhir ditutup dan paling awal dibuka ketika pandeminya membaik, tetapi tidak asal buka,” ujarnya.
Menurut dia, pembukaan sekolah harus dilakukan bertahap dan ada mitigasi risikonya, dengan syarat utama tingkat penularan Covid-19 benar sudah menurun. ”Jangan sampai kasus menurun di atas kertas saja, yaitu menurun karena tes dan lacaknya tidak dijalankan,” ucapnya.
Dicky mengatakan, sekalipun upaya mitigasi dan penerapan protokol kesehatan sudah dijalankan, risiko penularan Covid-19 di sekolah akan tetap ada. Oleh karena itu, sekolah yang telah dibuka harus terus dipantau untuk mendeteksi dini jika ada penularan bisa segera diisolasi.
Daerah jangan asal mengejar zona hijau karena data epidemiologi yang akurat menentukan nasib anak.
Menurut Dicky, ditemukannya kasus Covid-19 di sekolah selama masa awal sekolah tatap muka menunjukkan, sistem deteksi dan mitigasi dalam kaitan respons ketika terjadi kasus sudah mulai berjalan. ”Ini modal penting dan selama pandemi ini harus dijaga untuk mencegah kasus membesar. Perlu dipahami, potensi kasus Covid-19 di sekolah akan tetap ada karena itu sistem deteksi harus terus diperkuat,” ujarnya.
Meski demikian, hal ini juga harus mendorong evaluasi terhadap kondisi pengendalian pandemi di sekolah yang ada kasus Covid-19. ”Apakah benar kasus di lingkungan sekolah itu benar menurun? Kalau masih ada penularan, apalagi klusternya besar, kemungkinan ada ketidakakuratan data pandemi yang ditampilkan pemerintah daerah setempat. Yang terjadi di sekolah adalah cerminan situasi penularan di masyarakat,” ujarnya.
Jika pemerintah daerah benar-benar berpihak kepada anak untuk menjaga agar sekolah tatap muka tetap aman, strategi pengendalian pandemi melalui tes, lacak, dan isolasi harus diperkuat. Dengan kata lain, daerah jangan asal mengejar zona hijau karena data epidemiologi yang akurat menentukan nasib anak.
Dicky menambahkan, selain mempercepat vaksinasi di kalangan anak, sejumlah studi menunjukkan penerapan protokol kesehatan yang ketat, di antaranya penggunaan masker efektif mencegah penularan kasus Covid-19 di sekolah. Dua penelitian terbaru yang dikeluarkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat pada Jumat (24/9/2021) menunjukkan hal ini.
Studi pertama yang dilakukan di Arizona menunjukkan sekolah yang tidak secara ketat menerapkan masker mengalami kasus Covid-19 sekitar 3,5 kali daripada sekolah yang memiliki persyaratan masker. Berdasarkan studi ini, CDC merekomendasikan agar anak-anak tetap bersekolah secara aman, harus ketat menggunakan masker untuk semua sivitas akademika.
Studi kedua yang dilakukan secara nasional menemukan, sekolah yang mewajibkan penggunaan masker juga memiliki lebih sedikit penularan virus di masyarakat secara umum. Studi ini menyimpulkan, penularan Covid-19 di sekolah yang tidak mewajibkan penggunaan masker bisa meningkatkan kasus di komunitas.
Strategi Singapura
Praktisi kesehatan Indonesia yang bekerja di Singapura dan kolaborator saintis KawalCovid-19, Septian Hartono, mengatakan, sekalipun saat ini kasus penularan Covid-19 di Singapura melonjak tinggi, tidak ada indikasi hal ini terkait dengan penularan di sekolah. Kasus penularan di sekolah juga relatif rendah karena bisa dideteksi dini.
Sebagaimana dilaporkan Kementerian Kesehatan Singapura dalam laman resminya, pada Sabtu (25/9/2021) terdapat 1.443 kasus Covid-19 baru yang ditemukan. Ini menandai hari kelima berturut-turut infeksi baru telah melampaui angka 1.000. Sementara korban jiwa bertambah tiga orang sehingga total 76 orang.
Menurut Septian, negara yang selama ini kecil kasusnya, seperti Singapura, memiliki tingkat imunitas alamiah yang sangat rendah dari infeksi. Berbeda dengan Indonesia dan India yang diperkirakan sudah lebih dari separuh populasinya pernah tertular Covid-19.
”Saat ini, strategi Pemerintah Singapura adalah transisi ke fase endemik untuk level komunitas,” katanya.
Fase endemik artinya secara perlahan membuka kegiatan masyarakat setelah lebih dari 80 persen penduduknya divaksinasi. Dengan pelonggaran aktivitas ini, tingkat penularan akan meningkat, tetapi risiko kematian diharapkan tetap rendah dengan adanya vaksinasi.
Proporsi kasus di Singapura menunjukkan, sekitar 98 persen kasus Covid-19 yang ditemukan tidak bergejala atau ringan, sekitar 1,6 persen butuh oksigen, dan 0,4 persen di ICU. Dengan situasi ini, tingkat kematian per kasus sekitar 0,2 persen.
”Namun, untuk sekolah, Singapura masih menerapkan tahap eliminasi, terutama untuk sekolah yang siswanya di bawah usia 12 tahun karena belum divaksin,” katanya.
Karena di sekolah masih diberlakukan level eliminasi, protokol kesehatannya masih sangat ketat. ”Sistemnya untuk sekolah dasar di sini wajib pakai masker, duduk sendiri, hanya belajar tanpa ada kegiatan lain dan bubble system, yaitu tidak ada interaksi antarkelas,” ucapnya.
Selain itu, menurut Septian, ventilasi sekolah dioptimalkan dengan membuka jendela kelas. ”Kebetulan memang sekolah dasar di Singapura tidak pakai AC (air conditioner),” katanya.
Septian menambahkan, selain upaya pencegahan, jika ada satu kasus di kelas, yang umumnya tertular dari orangtua murid, semua kelas akan diliburkan setidaknya selama seminggu. ”Lalu, nanti dari token tracetogether, setiap anak pakai token tracetogether, dilacak siapa yang kontak erat dengan murid yang positif di kelasnya. Mereka yang diketahui memiliki kontak erat bakal dikarantina bersama semua keluarganya,” ujarnya.
Adapun untuk level pendidikan anak usia dini (PAUD), menurut Septian, lebih sulit karena biasanya sekolahnya di dalam ruangan tertutup dengan AC. Hal ini menyebabkan risikp penularan lebih tinggi.
”Kalau di SD biasanya kasusnya sporadis. Tetap ada murid yang kena dari orangtuanya, tapi tidak menyebar di kelas. Sementara di PAUD memang berisiko menjadi kluster,” katanya.
Untuk sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, yang anak-anaknya sudah divaksin, menurut Septian, sudah ada kegiatan ekstrakurikuler. ”Sudah ada juga interaksi antarkelas. Jadi, modelnya beda dengan anak SD. Jadi, di SMP dan SMA sudah lebih mirip di komunitas, yaitu transisi ke endemik,” katanya.