Filterisasi Informasi Dibutuhkan di Era Banjir Informasi
Berlimpahnya informasi di era banjir informasi membuat banyak orang bingung sehingga diperlukan filterisasi informasi agar informasi atau berita bohong tersaring tanpa harus diterima, disebarkan, dan dipercaya.
Oleh
Angger Putranto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berlimpahnya informasi di era banjir informasi membuat banyak orang bingung. Belum lagi bila informasi yang diterima tersebut tidak seluruhnya merupakan informasi yang benar.
Karena itu, diperlukan filterisasi informasi agar informasi atau berita bohong tersaring tanpa harus diterima, disebarkan, dan dipercaya. Guna menciptakan filterisasi itu, Djarum Foundation, Politeknik Negeri Banyuwangi, dan harian Kompas berkolaborasi.
Ketiga instansi tersebut menggelar diskusi Literasi Digital bertajuk ”Banjir Informasi, Memilah Hoax dan Fake News”, Kamis (23/10/2021). Hadir dalam diskusi tersebut Direktur Komunikasi Djarum Foundation Mutiara Diah Asmara, Program Associate Bakti Lingkungan Djarum Foundation Tania Anggriani Arbi, Pejabat Sementara Direktur Politeknik Fuad Al Haris, Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Haryo Darmadono, dan 100 orang penerima subscribe Kompas.id.
”Kerap kali kita banyak mendapat informasi, bukan tambah paham, tetapi justru tambah bingung. Belum lagi kalau informasinya salah. Karena itu, selain butuh informasi, yang dibutuhkan masyarakat saat ini filter yang mengarahkan informasi tepat dari sumber yang tepercaya,” tutur Haryo Damardono.
Ia mengungkapkan, berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, 44 persen masyarakat mengaku menerima berita hoaks tiap minggu. Namun, hanya sekitar 47 persen yang berusaha mengecek kebenaran informasi tersebut dengan merujuk ke media yang tepercaya.
Melihat fakta itu, harian Kompas melalui Kompas.id mencoba hadir sebagai filter yang menyaring informasi tepercaya untuk disuguhkan kepada pembaca. Salah satu yang membuat informasi di Kompas.id merupakan informasi tepercaya ialah karena proses pencarian informasi, data, berita, dan cerita dilakukan secara presisi.
”Kami pernah menuliskan laporan investigasi masker palsu. Apa yang kami lakukan? Kami memesan ratusan masker dari lokapasar, lalu membawanya ke laboratorium dan menyakan kepada para ahli tentang temuan kami. Ini kami lakukan agar produk jurnalistik kami benar-benar berasal dari sumber yang tepat,” tutur Haryo.
Ia menambahkan, produk jurnalistik Kompas juga bermutu karena proses berjenjang yang harus dilalui sebelum informasi itu sampai kepada pembaca. Seorang wartawan tidak bisa mengunggah sendiri tulisan dari liputan yang ia lakukan.
”Setiap tulisan wartawan harus melalui editor, penyelaras bahasa, dan sunting sebelum akhirnya dibaca masyarakat luas. Dengan demikian, seorang penggemar tim sepak bola Liverpool tidak bisa seenaknya memuja-muja tim idolanya lalu menulis dan memublikasikan beritanya sendiri,” ujar Haryo.
Menanggapi hal itu, Pejabat Sementara Direktur Politeknik Fuad Al Haris mengaku senang dan bangga dilibatkan dalam kolaborasi untuk menangkal banjir informasi. Kolaborasi Poliwangi, Djarum Foundation, dan harian Kompas menjadi dorongan bagi mahasiswa dan dosen Poliwangi.
”Di era banjir informasi seperti saat ini, pertimbangan sumber dari mana berita atau informasi itu berasal sangat penting bagi kami. Dengan menjadi subsriber Kompas.id, kami kini memiliki sumber referensi yang tepercaya,” ujarnya.
Haris menyebut, kolaborasi ini mendukunug dan menunjang informasi yang terfilter sehingga tidak ada informasi dan berita bohong yang diterima mahasiswa dan dosen.
Hal senada disampaikan Direktur Komunikasi Djarum Foundation Mutiara Diah Asmara. Menurut dia, upaya memerangi berita hoaks merupakan wujud nyata dari visi Djarum Foundation yang ingin memajukan Indonesia menjadi negara digdaya seutuhnya.
”Kami berharap kolaborasi ini bisa mendorong lahirnya konten-konten positif di tengah masifnya banjir informasi,” ucap Mutiara. (GER)