Tes dan Pelacakan Covid-19 Akan Digelar Acak di Sekolah
Pemerintah akan melakukan tes dan pelacakan acak jika muncul kluster Covid-19 di satuan pendidikan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembukaan sekolah yang aman dari penyebaran Covid-19 terus didorong pemerintah pusat demi kepentingan tumbuh kembang anak. Meskipun banyak sekolah sudah diizinkan dibuka berdasarkan level 1-3 pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, ternyata pemerintah daerah dan orangtua tidak serta-merta siap ketika pembelajaran tatap muka dimulai.
Sikap para orangtua siswa masih terbagi dua, antara yang mendukung PTM terbatas segera digelar dan yang belum mengizinkan anak ke sekolah. Lebih dari 60 persen hambatan sekolah di daerah PPKM level 1-3 untuk membuka sekolah ialah belum diizinkan pemerintah daerah. Kehatian-hatian ini dilakukan untuk memastikan sekolah tidak menjadi kluster penyebaran Covid-19.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudrisek) Jumeri mengatakan, bisa dipahami jika pemda dan orangtua siswa memiliki berbagai pertimbangan untuk mendukung PTM terbatas. Namun, pembukaan sekolah setelah 18 bulan ditutup akibat pandemi Covid-19 sudah mendesak untuk pemulihan kondisi belajar dan psikososial siswa. Pengawasan untuk menjalankan PTM terbatas yang aman bagi semua warga sekolah juga terus dilakukan.
Dari satuan pendidikan yang melakukan PTM terbatas, sekitar 2,8 persen melaporkan terjadinya penularan Covid-19 di satuan pendidikan. Untuk sekolah yang ada kasus positif, sekolah harus ditutup hingga dinyatakan aman. Pelacakan dan tes wajib dilakukan.
Menurut Jumeri, Kemendikbudristek tidak mewajibkan adanya tes atau penelusuran secara rutin di sekolah yang menggelar PTM. Namun, dalam rapat bersama Kementerian Kesehatan disepakati bahwa tes dan tracing (pelacakan) dimungkinkan dilakukan secara acak oleh dinas kesehatan setempat ke sekolah-sekolah.
Akan dilakukan tes dan tracing acak jika ada kluster di satuan pendidikan. (Jumeri)
”Untuk tracing masif tidak ada biaya yang memadai. Jumlah peserta didik di Kemendikbudristek sekitar 53 juta orang dan 8 juta di bawah Kementerian Agama. Tentu ini sangat berat. Namun, akan dilakukan tes dan tracing acak jika ada kluster di satuan pendidikan,” kata Jumeri dalam webinar ”Kembali ke Sekolah atau Belajar di Rumah: Mencari Solusi Terbaik Pembelajaran Anak”, yang digelar Aliansi Jurnalis Independen dan Unicef Indonesia, Selasa (21/9/2021).
Menurut Jumeri, hanya sekitar 30 persen sekolah yang bisa menggelar pembelajaran daring. Learning loss dan angka putus sekolah naik sekitar 10 kali lipat dari tahun sebelum pandemi. Karena itulah, PTM terbatas memang diyakini sebagai cara terbaik untuk memulihkan kembali pembelajaran jarak jauh yang tidak optimal secara bertahap.
Akhir September ini, Kementerian Kesehatan memastikan semua guru dan tenaga kependidikan bisa tuntas mendapat vaksin kedua. Demikian pula cakupan siswa usia 12-17 tahun yang harus divaksin juga akan diprioritaskan.
Pelaksanaan PTM terbatas sudah diatur untuk memastikan sekolah taat pada protokol kesehatan. Sekolah memang tidak dibatasi jumlah hari menggelar PTM. Namun, kapasitas kelas dan sekolah harus maksimal 50 persen dan menjaga jarak, serta hanya untuk kegiatan belajar.
Orangtua masih khawatir
Staf Pendidikan Dalam Situasi Darurat Unicef Indonesia Yusra Tebe mengatakan, setelah sekolah ditutup hampir 18 bulan, Unicef secara global mendukung pembukaan kembali sekolah. Secara global, Unicef menyatakan terjadi kehilangan 1,8 triliun jam belajar selama penutupan sekolah. Di berbagai belahan dunia sudah dimulai PTM, ada yang penuh dan terbatas, ataupun campuran, tergantung kondisi tiap negara.
Cakupan vaksinasi, terutama di Asia Tenggara, masih di bawah 50 persen. Vaksin guru memang bukan prasyarat mutlak dibuka sekolah, tetapi vaksinasi pada guru dan tenaga kependidikan akan membuat kenyamanan dan keselamatan guru serta murid. Karena itu, penting untuk mendorong percepatan vaksinasi agar rasa aman di guru, siswa, dan orangtua didapatkan.
Yusra mengatakan, penutupan sekolah membuat anak-anak kehilangan hak belajar, berteman, rasa aman, kesehatan, dan kesejahteraan. ”Pembukaan sekolah penting tanpa mengecualikan kesehatan asal dengan persiapan yang matang,” kata Yusra.
Kesiapan untuk memastikan pembukaan sekolah yang aman sangat penting. Pemda berperan penting agar memastikan kesiapan sekolah karena kewenangan membuka sekolah ada di daerah. Kondisi pembelajaran siswa saat ini memang ada tatap muka karena PJJ yang tidak optimal. Ada sekitar 20.000 sekolah yang tidak memiliki akses internet dan listrik.
Hingga saat ini belum ada yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Karena itu, uji coba untuk membuka sekolah harus terus dilakukan dengan prioritas pada kondisi daerah. Namun, sekolah juga harus siap apabila sewaktu-waktu sekolah ditutup kembali karena ada kasus di sekolah maupun di daerah.
Adapun tentang dukungan orangtua, ujar Yusra, dari survei di 247 kota/kabupaten di 34 provinsi, temuannya ada kekhawatiran orangtua. Kekhawatiran utama terkait hilangnya kompetensi anak. Namun, penerimaan orangtua untuk mengirimkan anak sekolah atau tetap belajar di rumah berimbang masing-masing 50 persen.
”Orangtua setuju dengan syarat atau catatan, baik pemda maupun sekolah bisa memastikan sekolah memenuhi protokol kesehatan dan jam belajar serta hari sekolah yang tidak penuh,” kata Yusra.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesian Jejen Musfah menyatakan, PTM terbatas di sekolah memang penuh tantangan. Di sekolah dengan ruang terbatas bisa jadi terkendala.
”Capaian target belajar juga harus ditahan karena keterbatasan PTM. Karena itu, guru harus diperkuat untuk mampu merancang pembelajaran campuran atau blended learning dengan matang,” kata Jejen.
Jejen mengatakan, pemerintah pusat dan daerah harus mendukung supaya percepatan digitalisasi pendidikan tetap berjalan. Dukungan untuk siswa dan sekolah untuk pemberian laptop dan program digitalisasi lainnya harus tepat sasaran, diutamakan untuk yang paling membutuhkan. Lebih dari 50 persen siswa belajar daring dengan handphone yang sebenarnya tidak ideal untuk proses pembelajaran daring.
”Vaksin untuk guru dan siswa pun kami terus mendorong supaya diprioritaskan,” ujar Jejen.
Direktur Keluarga Kementerian Kesehatan Erna Mulati mengatakan, semua orang kesehatan bisa terkena Covid-19 karena itu peran keluarga juga semakin didorong untuk mendorong semua anggota keluarga taat protokol kesehatan. Ada pilihan bagi orangtua untuk mengizinkan anak PTM atau tetap belajar dari tumah.
”Rasanya tidak adil untuk anak jika kasus sudah mulai menurun dan sekolah belum dibuka,” ujar Erna.
Zika, salah satu orangtua, tidak yakin anak di sekolah selamat karena melihat situasi dan kondisi penerapan protokol kesehatan yang tidak baik, mereka punya pilihan. Tetapi, masalah tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial juga harus menjadi pertimbangan dalam layanan pendidikan di masa pandemi Covid-19.
Orangtua diharapkan dapat mendukung kebutuhan anak supaya bisa dilakukan PTM terbatas, dari kesiapan mental untuk mematuhi protokol kesehatan hingga menyiapkan sarana-prasarana pendukung anak bisa sampai sekolah dengan selamat.
Menurut Erna, sudah diuji coba pula aplikasi PeduliLindungi di sekolah untuk memastikan yang berada di lingkungan sekolah sehat. ”Penularan bisa terjadi di mana saja. Namun, kita sangat berusaha melindungi PTM bisa berlangsung aman,” kata Erna.