Alih kategori kata dalam tuturan sehari-hari menandakan bahwa cara mengungkapkan kenyataan terdukung ungkapan metaforis. Selama ini kita cenderung abai menyadarinya.
Oleh
Nizar Machyuzaar
·3 menit baca
Sebuah jembatan dibangun untuk dua peristiwa yang sebetulnya tak berhubungan sama sekali. Jembatan ini sering kali efektif mewujudkan tujuan komunikasi. Kita mengenalnya sebagai metafora. Dalam perkembangannya, metafora sebagai gaya bahasa menyasar sampai ke material pembentuk jembatannya. Yang dimaksud adalah media bahasa. Bukankah bahasa juga adalah jembatan yang menghubungkan dua hal, yaitu pikiran dan kenyataan atau sebaliknya?
Alih kategori kata dalam tuturan sehari-hari menandakan bahwa cara mengungkapkan kenyataan terdukung ungkapan metaforis. Selama ini kita cenderung abai menyadarinya. Sederhananya, kata benda anjing menjadi kata seru, bahkan kata sifat, dalam tuturan sehari-hari.
Metafora sebagai gaya bahasa dapat dianggap sebagai disposisi (tindakan simbolis) atas berbagai hubungan (posisi) dan pertentangan (oposisi) antarperistiwa. Pangkal peristiwa yang menjadi tujuan komunikasi disubstitusi oleh ungkapan metaforis yang merepresentasikan peristiwa berbeda. Di balik ungkapan metaforis itu terbakukan proses pertimbangan dan perimbangan memilih peristiwa berbeda untuk dipaksa dihubungkan dengan pangkal peristiwa. Dalam tahap ini metafora menyertakan diksi atau pemilihan kata. Namun, metafora cenderung memilih diksi bukan selingkung.
Kiranya metafora kodok dan kupu-kupu yang pernah disampaikan Presiden Republik Indonesia V Megawati Soekarnoputri pada Hari Anak Indonesia, 23 Juli lalu, tak lepas dari pangkal peristiwanya. Yang dimaksud adalah ungkapan, “Kodok dan kupu-kupu asalnya dari mana?”
Metafora kodok dan kupu-kupu dapat ditempatkan dalam dua peristiwa. Pertama, peristiwa berbingkai pendidikan sebagai pangkal peristiwa. Metafora ini tertutur dalam situasi komunikasi virtual berbingkai peristiwa “memberi masukan bagi penyelenggaraan pendidikan di masa pandemi korona agar anak-anak sekolah mengenal alam sebagai sumber belajar”. Kedua, peristiwa berbingkai politik yang menjadi representasi ungkapan metaforis. Substitusi peristiwa politik dalam ungkapan metaforis menjadi karakteristik metafora sebagai jembatan penghubung dua peristiwa berbeda dan tak berhubungan. Diksi bukan selingkung masuk ke dalam medan asosiasi peristiwa politik.
Mungkin tanyaan kita: mengapa mesti kodok dan kupu-kupu yang disarankan dipelajari? Bukankah anak-anak sekolah lebih akrab dengan binatang yang berada di rumah seperti burung, cicak, kucing, anjing, dan sebagainya? Dari sini kita dapat menganggap diksi juga erat hubungannya dengan batasan kata lambang \'tanda pengenal yang tetap (menyatakan sifat, keadaan, dan sebagainya)\'. Kodok dan kupu-kupu setali tiga uang dengan identitas yang dilekatkan pada orang atau lembaga tertentu. Apalagi, hal ini ditegaskan dengan ungkapan “berasal dari mana”.
Selain menandai diksi, metafora juga menandai gaya bahasa penutur. Kodok dan kupu-kupu yang dilekatkan sifat atau keadaannya pada identitas orang atau lembaga merupakan disposisi atas berbagai hubungan dan pertentangan antarperistiwa politik yang menyertainya. Apa lacur, hal ini merepresentasikan komunikasi politik di tingkat elite yang, boleh jadi, mulai mandek.
Sengkarut tata kelola negara, terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia, pengelolaan nalar kritis dalam berdemokrasi yang menghasilkan produksi hoaks, dan suksesi kepemimpinan nasional 2024 dalam pemilihan presiden, dapat dianggap makna lebih ungkapan metaforis “Kodok dan kupu-kupu asalnya dari mana?”
Metafora kodok boleh jadi dilekatkan sebagai identitas karena seseorang senang memeliharanya, sementara metafora kupu-kupu dapat dilekatkan pada seseorang yang mampu bermetamorfosis. Dalam praktik bernegara, kemampuan berubah bentuk dari kepompong, ulat, ke kupu-kupu dapat terbaca dari bias tupoksi antarlembaga kementerian, semisal dalam penanganan pandemi korona atau terorisme.
Lebih dari itu, metafora kodok dan kupu-kupu dapat ditempatkan dalam gaya bahasa sindiran. Dalam komunikasi politik, gaya bahasa dapat meluweskan pesan politik. Ini dimungkinkan manakala setiap partisipan yang terlibat dalam komunikasi politik dapat menyampaikan pesan politik dengan membangun jembatan penafsiran metaforis.
Niza Machyuzaar, Penyair; Kumpulan Puisinya "Di Puncak Gunung Nun"