Pembubaran Badan Standar Nasional Pendidikan Dinilai Cacat Hukum
Keberadaan badan standardisasi, pengendalian, dan penjaminan mutu yang mandiri diperlukan agar pendidikan bebas dari kepentingan rezim politik.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penjaminan mutu pendidikan yang mengacu pada standar nasional pendidikan terus dikritisi pasca-pembubaran Badan Standar Nasional Pendidikan. Padahal, Indonesia membutuhkan sistem pendidikan yang berkelanjutan dan kokoh sesuai standar nasional pendidikan.
Pembubaran Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dilandasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dengan diterbitkannya Peraturan Mendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), maka BSNP resmi dibubarkan.
Kewenangan membuat dan mengembangkan standar nasional pendidikan kemudian dialihkan ke Kemendikbudristek melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (pengganti Badan Penelitian, Pengembangan, dan Perbukuan) yang berada di bawah sekaligus bertanggung jawab kepada Mendikbudristek.
Dalam diskusi Ngobrol Pintar Seputar Edukasi bertajuk Pendidikan Tanpa Standar, Minggu (19/9/2021), Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Johannes Gunawan dan Bernadette M Waluyo memaparkan kajian landasan pembubaran BSNP yang dinilai cacat hukum. Kajian hukum ini untuk mengungkapkan kebenaran secara ilmiah atas argumen dari Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang dan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim tentang pembubaran BSNP dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR pada 8 September lalu.
“Kajian akademik saya buat bukan karena antipati. Tapi, saya mengingat pesan dari Bung Hatta saat di Universitas Indonesia, bahwa pendidikan adalah upaya mencari dan menjunjung tinggi kebenaran. Jadi, (kita) harus berani mengatakan benar dan salah,” ujar Johannes.
Pernyataan Chatarina menyebutkan bahwa dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional di pasal 35, nomenkalur BSNP tidak ada, tetapi hanya menyebut badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. Tentang badan standardisasi yang mandiri dalam penjelasan pasal 35 UU Sisdiknas dinilai tidak bisa menjadi norma. Keanggotaan BSNP pun diangkat dan diberhentikan Mendikbudristek. Demikian pula dari standar nasional yang dihasilkan BSNP ditetapkan dengan peraturan Mendikbudristek.
“Jadi secara kelembagaan mulai dari pembentukan, anggaran, anggota, dan tugas fungsi tidak bersifat mandiri. Kalau BSNP dihapus tidak bertentangan dengan UU Sisdiknas. Maka, kewenangan penetapan standar ada di Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen, Kemendikbudristek,” ujar Chatarina.
Tidak berdasar
Menurut Johannes, argumen hukum Kemendikbudrsitek mulai dari menggunakan UU pembentukan peraturan perundang-undangan, UU Pemerintah Daerah, hingga Arahan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, tidak berdasar kajian hukum yang benar. UU Sisdiknas Tahun 2003 tidak berlaku surut karena tiga payung hukum yang digunakan Kemendikbudristek sebagai argumen.
“Berdasarkan UU Sisdiknas Tahun 2003 diamanatkan ada peraturan pemerintah untuk membuat badan standardisasi yang kemudian dibuat dengan PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan diberi nama BSNP,” jelas Johannes.
Johannes mengaku, sebagai akademisi di bidang hukum merasa terpanggil untuk menyatakan kebenaran dengan kajian hukum. Mulai dari PP Nomor 57 tahun 2021 hingga pembubaran BSNP, merupakan kebijakan hukum yang bertentangan dengan UU Sisdiknas sehingga perlu untuk diperbaiki demi kepentingan pendidikan nasional.
Mulai dari PP Nomor 57 tahun 2021 hingga pembubaran BSNP, merupakan kebijakan hukum yang bertentangan dengan UU Sisdiknas sehingga perlu untuk diperbaiki demi kepentingan pendidikan nasional.(Johannes Gunawan)
Sebaiknya, ujar Johannes, Mendikbudristek dengan kesadaran sendiri setelah mendengarkan aspirasi berdasarkan kajian akademik punya inisiatif untuk merevisi soal kebijakan yang tidak sejalan dengan UU Sisdiknas. “Jika tidak, ya harus diajukan judicial review untuk kebaikan pendidikan nasional,” kata Johannes.
Bernadette M Waluyo mengatakan, opini legal yang disampaikannya murni dari segi hukum sebagai landasan akademis untuk mencari solusi bersama yang baik. “Silakan berkreasi, jangan melanggar hukum. Apalagi ini pendidikan. Kalau pendidikan dilandaskan pada kebenaran, saatnya nanti orang-orang hebat dan martabat akan muncul. Karena hasil pendidikan tidak bisa kita lihat seketika. Jadi, jangan membuat kebijakan yang ke depannya justru tidak memajukan bangsa,” kata Bernadette.
Menurut Bernadette, kemunculan PP 57/20021 bermasalah salah satunya karena tidak mencantumkan mata kuliah wajib Pancasila, termasuk juga pembubaran BSNP. Kalau peraturan pemerintah ini akan diubah, ada potensi kekosongan hukum tentang standar pendidikan dasar-menengah.
“Ada kebingungan pakai standar yang mana. PP 57/2021 sedang diajukan proses perbaikan. BSNP dibubarkan. Ada potensi kekosongan hukum,” kata Bernadette.
Bernadette berharap, solusi atau saran dengan kajian akademik ini jangan dianggap konfrontasi atau mau menentang pemerintah. Tapi pemerintah diharapkan bisa membuka diri untuk bersama-sama mencari solusi yang baik berdasarkan kepentingan pendidikan dan logika.
Pemerhati Pendidikan Doni Koesoema mengatakan, pemerintah tetap butuh badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu yang mandiri dan independen, serta diisi para profesional di bidang pendidikan. “Argumen ini bukan untuk mempertahankan BSNP sebagai nomenklatur. Namun, harus dipikirkan dampaknya lebih jauh. Bahwa badan standardisasi yang independen ini hasilnya mengikat sistem pendidikan di Indonesia baik di bawah Kemendikbudristek maupun Kementerian Agama,” ujar Doni.
Menurut Doni, Indonesia butuh badan standardisasi, pengendalian, dan penjaminan mutu yang mandiri dan independen agar pendidikan bebas dari kepentingan rezim politik atau penguasa. Tujuannya untuk membuat sistem pendidikan nasional berkelanjutan dan kokoh, dengan adanya partisipasi publik yang mengawal supaya negara menjamin pendidikan yang minimal sesuai standar nasional pendidikan.
Anggota Komisi X DPR Ferdiansyah menyayangkan kebijakan Kemendikbudristek yang tidak mengacu pada UU Sisdiknas. Akibatnya, sejumlah kebijakan pendidikan bermasalah.
Sementara itu, Nadiem mengatakan, penjaminan mutu membutuhkan independensi dan partisipasi publik. Untuk itu, diperlukan pemisahan antara tiga fungsi yakni fungsi penyusunan standar, penyelenggaraan, dan evaluasi pencapaian.
“Kalau ketiga fungsi ini dilakukan satu pihak, hasilnya tidak obyektif. Jadi harus dilakukan tiga pihak berbeda. Dalam penjaminan mutu dilakukan terpisah. Penyusunan standar oleh Kemendikburistek, (lalu) penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah daerah, masyarakat dan pendidikan tinggi. Untuk evaluasi ada Badan Akreditasi Nasional dan Badan Akreditasi Mandiri,” kata Nadiem.
Menurut Nadiem, pembubaran BSNP justru membuat fungsi penyusunan standar, penyelenggaraan pendidikan, dan evaluasi terpenuhi. Partisipasi penjaminan mutu tetap melibatkan partisipasi publik dengan adanya Dewan Pakar.
“Di era reformasi dan birokrasi, ada efisiensi dan tidak tumpang tindih untuk pengelolaan pendidikan. Ini suatu arahan Presiden untuk reformasi birokrasi dan juga tidak ada kebingungan dan tumpang tindih untuk peran tersebut,” ujar Nadiem.