Organisasi Masyarakat Dorong Kesetaraan Jender di Ruang Digital
Isu kesetaraan jender terjadi juga di ranah digital karena perempuan lebih terhambat mengakses internet dan gawai dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini berpengaruh pada demokrasi dan pembangunan negara.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan lebih terhambat mengakses teknologi dan koneksi internet dibandingkan dengan laki-laki. Padahal, kesetaraan jender dalam ranah digital berkontribusi terhadap pembangunan. Peran organisasi masyarakat dinilai penting untuk mendorong kesetaraan tersebut.
Hal itu mengemuka pada diskusi hasil riset berjudul ”Peran Organisasi Masyarakat Sipil dalam Mendorong Kesetaraan Jender dalam Demokrasi Indonesia di Era Digital”, Senin (20/9/2021). Riset ini dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo mengatakan, ketimpangan akses internet antara laki-laki dan perempuan konsisten selama beberapa tahun terakhir. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, selisih pengguna internet laki-laki dan perempuan 7,6 persen pada 2016. Hal yang sama terjadi tahun 2017 (7,04 persen), 2018 (6,34 persen), dan 2019 (6,26 persen).
Mengatasi isu kesetaraan jender akan kurang bermakna jika problem kesenjangan digital yang dialami perempuan tidak diatasi sungguh-sungguh.
Jumlah pengguna komputer juga timpang. Pada 2019, pengguna komputer laki-laki 15,7 persen, sementara perempuan 13,77 persen.
Ketimpangan ini dipengaruhi banyak faktor. Upah perempuan yang lebih rendah dari laki-laki turut menghambat akses ke internet dan gawai. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019 mencatat, kesenjangan upah mencapai Rp 618.800.
”Mengatasi isu kesetaraan jender akan kurang bermakna jika problem kesenjangan digital yang dialami perempuan tidak diatasi sungguh-sungguh,” kata Sugeng.
Menurut peneliti kebijakan publik Yanu E Prasetyo, alasan ketimpangan jender di ranah digital berlapis. Hambatan perempuan, antara lain, ialah keterampilan digital yang terbatas dan pemanfaatan teknologi informasi yang belum optimal. Ada pula hambatan struktural, seperti ketersediaan listrik, jaringan internet, dan dana untuk membeli gawai ataupun paket internet.
Kehadiran organisasi masyarakat sipil mengisi celah ini. Kontribusi mereka mendorong kesetaraan jender di ranah digital menjadi penting, baik melalui pendampingan komunitas, pelatihan, maupun peningkatan kapasitas.
Kebijakan
Menurut peneliti kebijakan publik Marlis Afridah, kerja organisasi masyarakat sipil baru bisa maksimal jika didukung kebijakan pemerintah. Kebijakan penting untuk mengukur tingkat kesuksesan suatu program. Itu sebabnya, menjadikan isu kesetaraan jender di ranah digital perlu jadi prioritas.
”Untuk menjadikan ini isu prioritas, perlu panduan berbasis bukti dan riset agar kebijakan yang dihasilkan tidak one size fits all atau tidak tepat sasaran,” ucap Marlis.
Ia menambahkan, pemberdayaan perempuan dalam ranah teknologi, informasi, dan komunikasi krusial karena bisa mempercepat capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Ini sesuai dengan pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sementara itu, peran organisasi masyarakat sipil perlu diperkuat karena kedekatan mereka dengan komunitas akar rumput. Mereka juga dinilai memahami situasi di lapangan. Penguatan peran organisasi masyarakat sipil bisa dilakukan, antara lain, melalui pendanaan dan menjalin kemitraan dengan pemerintah.
Rekomendasi
Ada sejumlah poin rekomendasi untuk mengatasi isu kesetaraan jender di ranah digital. Pertama, perluas akses internet hingga ke pelosok desa. Kedua, memperkuat literasi digital. Ketiga, memberi kuota khusus perempuan untuk beasiswa pendidikan.
Pegiat literasi ICT Watch Heru Tjatur mengatakan, literasi digital krusial, utamanya kemampuan mencerna informasi mengingat banyak hoaks beredar di ruang digital. Bentuk literasi pun perlu menyesuaikan dengan konteks masyarakat yang dituju, utamanya perempuan.
Menurut Tenaga Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Bidang Komunikasi dan Media Massa Devie Rachmawati, sejumlah program dilakukan agar masyarakat cakap digital. Empat kecakapan digital dasar yang wajib dimiliki individu adalah keterampilan digital, keamanan siber, etika, dan budaya digital.
Jaringan internet juga diperluas. Hingga kini ada 1.682 base transceiver station (BTS) di Indonesia yang sudah beroperasi. Tahun ini akan dibangun 4.200 BTS baru, lalu 3.704 BTS baru pada 2022. Pemerintah menargetkan ada 9.586 BTS terbangun dan beroperasi tahun 2024.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Riset Politik BRIN Firman Noor mengatakan, kesetaraan akses digital penting untuk mendorong demokrasi berkualitas di Indonesia. Kendati demikian, demokrasi tidak menjamin penyelesaian isu kesetaraan jender.
”Indonesia masih butuh proses agar jadi medium yang kondusif bagi penguatan kesetaraan jender,” kata Firman. ”Demokrasi belum beri banyak keuntungan bagi perempuan. Ekosistem sosial, politik, dan budaya kita belum menguatkan kesadaran akan kesetaraan jender di masyarakat,” ujarnya.