Ragam hias fauna pada kain batik mempunyai pesan dan makna tertentu. Aneka macam ragam tersebut juga menggambarkan kehidupan masyarakat yang berkembang pada kurun waktu tertentu.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Ragam motif batik di Indonesia tidak hanya tergantung kreativitas perajin batik. Sang perajin juga terpengaruh oleh lingkungan sekitar, termasuk ajaran agama yang berkembang di sekitar sentra kerajinan batik.
Batik rifa’iyah salah satu contohnya. Batik yang berkembang di Batang, Jawa Tengah, ini punya ciri khas dalam mendiskripsikan fauna, yakni memisahkan kepala dengan tubuh hewan. Kadang, ada juga pebatik yang menggambar tubuhnya saja, tanpa kepala.
Cara penggambaran hewan juga tidak selalu eksplisit maupun realis. Umumnya, perajin menstilasi gambar hewan, misalnya dengan mengisi badan hewan dengan corak tumbuhan, membuat ekor hewan menjadi dramatis, atau tidak menggambar anatomi hewan secara utuh.
Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia Komarudin Kudiya mengatakan, dalam agama Islam ada hadis yang melarang melukis makhluk hidup. Orang yang melakukannya akan dihukum di hari kiamat kelak.
Di sisi lain ada pula hadis yang jika ditafsirkan mengizinkan orang melukis makhluk, khususnya hewan, dengan beberapa ketentuan. Lukisan hewan yang diperbolehkan, antara lain, yang dibuat bukan untuk dipuja atau disembah, serta tidak digambar utuh seperti gambar ciptaan Allah. Gambar pemandangan dan elemen alam, seperti tumbuhan dan air, diperbolehkan.
”Sebelum agama Islam masuk Cirebon, masyarakat dulunya pemeluk agama Hindu dan Buddha. Dalam Islam, ada yang mengatakan bahwa kita boleh menggunakan tradisi lama, seperti gambar-gambar fauna (pada batik). Itu tidak apa-apa jika diberi nilai-nilai Islam di dalamnya,” kata Komarudin pada diskusi daring, Jumat (17/9/2021).
Ia menambahkan, ada pula yang memahami bahwa melukis motif fauna pada batik diizinkan selama perajinnya meyakini bahwa gambar tersebut tidak sempurna. Batik motif merang ngibing di Jawa Barat menerapkan prinsip serupa. Merak digambarkan tidak sempurna. Terkadang merak digambar hanya dengan satu kaki, kadang tak berkaki sama sekali.
”Ini gambaran manusia dengan ketidaksempurnaannya membuat gambar-gambar seperti ini,” ucap Komarudin. ”Selama tidak ada tujuan menyamai (gambar ciptaan Allah), insya Allah, boleh,” tambahnya.
Nilai Islam
Menurut pemilik Batik Tiga Puteri di Cirebon, Agus Purwanto, batik Cirebon sebagian dipengaruhi budaya lain. Walau demikian, nilai agama Islam tetap ada pada batik Cirebon. Ini berhubungan dengan keraton-keraton Cirebon yang didirikan tokoh Islam.
Batik Cirebon secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu batik pesisiran dan batik keraton. Fisik batik keraton terpengaruh budaya China dan merupakan hasil interaksi budaya dengan bangsa lain. Cirebon sendiri pada masa lalu merupakan tempat singgah para pelayar.
”Kendati fisiknya dipengaruhi China, rohnya tetap memiliki napas ajaran Islam,” katanya.
Sementara itu, menurut peneliti batik William Kwan, stilasi gambar fauna bermacam-macam dan sifatnya bebas. Ada yang mengubah sayap burung menjadi ranting tumbuhan, ada pula yang ”menyembunyikan” gambar hewan menjadi ornamen kecil-kecil di kain batik.
”Bila melihat batik wonopringgo (motif) andang dari jauh, sekilas itu tampak seperti bunga. Namun, saat dijelaskan dan dilihat dengan seksama, ternyata itu adalah burung hong atau phoenix. Saya rasa ini dipengaruhi ajaran agama Islam,” kata William.
Ada juga yang melukis fauna campuran. Batik tanjungbumi di Bangkalan, Madura, misalnya, menggambarkan fauna dengan tiga belalai, berkepala mirip singa, berbadan kilin atau naga, dan ekornya serupa burung hong. Gambar itu disebut gajah sekereng.
Penggambaran fauna campuran atau yang sudah distilasi pun tampak di situs-situs sejarah. Pada Makam Aermata di Madura terdapat gunungan-gunungan yang di dalamnya terdapat sejumlah fauna. Beberapa di antaranya kepala gajah tanpa badan dan fauna bermoncong panjang.
Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Irmawati Marwoto mengatakan, batik madura pun menggambarkan fauna-fauna serupa, seperti gajah yang distilasi. Ada pula fauna campuran yang memiliki badan serupa hewan berkaki empat, bersayap, memiliki leher seperti ular atau naga, dan memiliki moncong panjang di wajah.
Di sisi lain, beragamnya penggambaran hewan pada batik dinilai berhubungan dengan kekayaan fauna di Indonesia. Kekayaan itu menginspirasi para seniman untuk menuangkannya jadi karya seni, termasuk batik.
Pelestarian
Mahasiswa doktoral Fakultas Ilmu Budaya UI, Juniarti Fitria, pada diskusi daring menyatakan, pelestarian batik jadi isu lain yang harus diperhatikan. Minat generasi muda untuk meneruskan budaya batik dinilai masih minim. ”Dari 150-an perajin batik (rifa’iyah), hanya tersisa separuhnya dan itu didominasi warga lansia,” ucapnya.
Menurut dia, kesadaran bahwa wastra merupakan kekayaan Nusantara perlu diperkuat. Generasi muda juga diharapkan bisa menggali kembali pemahaman dan penghayatan akan batik. Adapun batik dimaknai bukan hanya sebagai aktivitas fisik, tetapi juga aktivitas batin.
Kepala Unit Pengelola Museum Seni DKI Jakarta Sri Kusumawati mengatakan, upaya pelestarian dan pengembangan wastra terus dilakukan dengan kegiatan edukatif. Publik juga bisa belajar soal wastra melalui pameran Ragam Hias Fauna dalam Wastra Indonesia yang berlangsung hingga 25 September 2021.
”Pameran ini kami harap semakin meningkatkan wawasan, kecintaan, kebanggaan, dan apresiasi masyarakat terhadap tekstil tradisional Indonesia, terutama ragam hias fauna. Ragam hias fauna punya pesan dan makna tertentu dan sering menggambarkan kehidupan masyarakat,” katanya secara tertulis.