Atasi ”Learning Loss”, PJJ dan Pembukaan Sekolah Sama-sama Penting
Penurunan hasil pembelajaran atau ”learning loss” siswa Indonesia akibat pandemi Covid-19 tak bisa dihindari. Dibutuhkan usaha serius untuk mengurangi dampak yang lebih buruk.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia memperkirakan penurunan hasil pembelajaran siswa Indonesia akibat pandemi Covid-19 mencapai 0,9-1,2 tahun pembelajaran. Padahal, sebelum pandemi saja, lama bersekolah siswa yang rata-rata 12,4 tahun hanya setara dengan 7,8 tahun pembelajaran. Kondisi ini bukan hanya akan memengaruhi daya saing pendidikan di global, melainkan juga mengakibatkan kerugian sekitar 306 miliar dolar Amerika Serikat atau setara 29 persen produk domestik bruto atau GDP Indonesia tahun 2020.
Kondisi penurunan hasil belajar akibat pandemi dari tahun 2020-2021 tersebut diprediksi dengan skenario pesimistis, sedang, dan optimistis. Skenario ini berdasarkan mitigasi pada efektivitas pembelajaran, baik dengan dibukanya kembali sekolah maupun ketika tetap mengandalkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Penurunan pembelajaran siswa Indonesia ini diminta untuk dipulihkan dengan mengutamakan kondisi siswa dan daerah yang paling membutuhkan.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Achim Schmillen dalam laporan berjudul Rewrite the Future : How Indonesia’s Education System Can Overcome The Losses From the Covid-19 Pandemic and Raise Learning Outcomes For All, Jumat (17/9/2021), mengatakan, analisis ini untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam memperkuat sistem pendidikan di Indonesia. Bank Dunia berkomitmen mendukung Indonesia dalam peningkatan sumber daya manusia berkualitas melalui pendidikan.
”Memitigasi learning loss harus menjadi usaha luar biasa yang dilakukan pemerintah. Dari analisis Bank Dunia, pemerintah diminta supaya memfokuskan ulang, memulihkan pembelajaran, serta memberikan pelatihan dan dukungan bagi guru dan tenaga pengajar, baik di sekolah maupun komunitas,” kata Achim.
Sementara itu, Senior Education Specialist Bank Dunia Noah Yarrow mengatakan, laporan Bank Dunia ini untuk mengetahui bagaimana pandemi memengaruhi pembelajaran pada siswa dan bagaimana pemerintah dapat membantu secara lebih tepat dalam adaptasi dan pemulihan kondisi pendidikan secara luas.
Perkiraan learning loss akibat pandemi terbaru dari Bank Dunia ini dilakukan dalam waktu yang lebih panjang serta berdasarkan data dan kondisi yang lebih aktual. Untuk periode Januari 2020-Juni 2021, diprediksi learning loss mencapai 0,9 tahun pembelajaran. Adapun prediksi penurunan untuk Juli-Desember 2021 sebesar 0,3 tahun pembelajaran.
Perkiraan learning loss dilihat dari mitigasi pada efektivitas pembelajaran yang terjadi selama pandemi. Semakin tinggi efektivitas pembelajaran, maka semakin rendah penurunannya.
Di kurun waktu Januari 2020-Juni 2021, skenario optimistis diperhitungkan dari 40 persen tingkat efektivitas pembelajaran, untuk skenario sedang 20 persen, dan skenario rendah 10 persen. Hal ini dlihat dari dukungan pemerintah dalam menyediakan PJJ, kemampuan rumah tangga mengakses PJJ, dan keefektifan dari modalitas alternatif.
Adapun untuk prediksi penurunan pada Juli-Desember 2021, disebut skenario optimistis ketika 100 persen sekolah dibuka kembali untuk pembelajaran tatap muka (PTM) dan sedang jika 50 persen sekolah saja yang PTM. Adapun skenario rendah terjadi jika 0 persen menggelar PTM.
”Kami sudah memiliki seluruh spektrum selama masa pandemi sehingga bisa memperkirakan rata-rata efektivitasnya untuk memprediksikan learning loss yang terjadi,” ujar Noah.
Perkiraan learning loss di masa pandemi ini juga akan memengaruhi hasil tes PISA siswa Indonesia. (Rythia Afkar)
Education Economist Rythia Afkar mengatakan, perkiraan learning loss di masa pandemi ini juga akan memengaruhi hasil tes PISA siswa Indonesia. Penurunan hasil belajar pada Januari 2020-Juni 2021 mengakibatkan hasil tes PISA turun 25 poin. Di kurun waktu Juli-Desember 2021, penurunan hasil tes PISA berkisar 5-11 poin.
Efektivitas PJJ
Noah mengatakan, langkah-langkah untuk meningkatkan efektivitas PJJ menjadi lebih krusial dalam mengatasi learning loss daripada hanya mendorong pembukaan kembali sekolah. ”Kita perlu meningkatkan kualitas PJJ agar anak-anak merasa terlibat dan terhubung dalam pembelajaran. Pembelajaran yang aktif dan berpusat pada siswa menjadi masalah di PJJ karena ini juga sebenarnya sudah menjadi masalah yang ditemui saat sebelum pandemi,” jelas Noah.
Noah mengapresiasi semua langkah kebijakan dan program yang telah diambil Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek); Kementerian Agama; dan pemerintah daerah dalam masa yang krusial ini. Namun, rekomendasi dari Bank Dunia diharapkan bisa membantu pemerintah untuk memulihkan sistem pendidikan, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Dalam waktu tiga bulan ke depan, pemerintah harus memastikan dan menyediakan tambahan dukungan kepada mereka yang paling membutuhkan, yakni sekolah, guru, siswa, dan daerah. Menyediakan dukungan psikososial kepada staf sekolah dan siswa. Mendukung keterlibatan orangtua dalam pendidikan serta menyiapkan asesmen pembelajaran siswa dan menjalankan rencana yang sudah ditetapkan.
Dalam kurun waktu 6-12 bulan, diperlukan peningkatan penyedia layanan teknologi pendidikan dari sektor swasta untuk mengevaluasi hasil belajar dan mengidentifikasi bidang yang perlu ditingkatkan. Perlu juga berinvestasi dan memastikan fungsi fasilitas sanitasi di sekolah mulai dari penyediaan dan mempertahankan fasilitas cuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Selain itu, penting juga mengidentifikasi para siswa yang paling berisiko tinggi tertinggal dalam belajar dan putus sekolah dengan menyediakan dukungan diferensiasi dalam pembelajaran.
Untuk jangka panjang 1-3 tahun, yang perlu dilakukan adalah membuat investasi pada infrastruktur, sumber daya, dan kapasitas untuk meningkatkan penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Selain itu, penting juga meningkatkan akurasi sistem data nasional untuk melacak kondisi sekolah secara real time.
Kurikulum darurat
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikbudristek, Iwan Syahril menyambut baik kajian yang dilakukan Bank Dunia. Hal ini semakin menguatkan kesadaran bahwa learning loss itu nyata dan pemulihan bisa dilakukan.
”Kami mengajak semua pihak bekerja sama untuk mengatasi krisis dan gawat darurat pembelajaran ini. Pemerintah daerah di 614 kabupaten/kota pun diminta untuk memantau perkembangan atau pemulihan pembelajaran di tiap daerah kewenangan,” kata Iwan.
Pembukaan sekolah, ujar Iwan, sudah dilakukan dan terus didorong. Sebab, dengan penutupan sekolah yang lama bukan hanya berdampak pada learning loss, melainkan juga kesehatan mental, kekerasan pada anak, dan pengembangan keterampilan krusial anak-anak akan berdampak buruk dalam waktu panjang, terutama untuk kelompok rentan.
Iwan mengatakan, untuk mengatsi learning loss, sebenarnya sudah disediakan pilihan untuk menggunakan kurikulum darurat. Studi dari Kemendikbudristek menunjukkan, penggunaan kurikulum darurat dibandingkan dengan kurikulum yang penuh (Kurikulum 2013), ada hasil lima bulan kemajuan pembelajaran. Kurikulum darurat menyederhanakan pembelajaran dan lebih fokus. Khusus untuk kelompok pendidikan anak usia dini dan SD, tersedia modul yang dapat membantu orangtua untuk mendampingi anak belajar di rumah.
”Perlu terus diadvokasi supaya kurikulum darurat ini ditingkatkan penggunaannya. Guru bisa belajar dari guru lain dari kanal online Ayo Guru Berbagi,” kata Iwan.
Sementara itu, Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan Kementerian Agama Moh Isom mengatakan, rekomendasi dari Bank Dunia ini cocok dengan kondisi yang ada sekarang, memberi panduan jangka pendek, medium, dan jangka panjang. ”Kebijakan yang disarankan sudah sebagain besar dilakukan. Kebijakan PTM dan kurikulum darurat sudah jalan walau belum sempurna,” kata Isom.
Direktur Guru dan tenaga Kependidikan Madrasah, Kementerian Agama, Muhammad Zain menambahkan, dalam mengatasi pemulihan pembelajaran dilakukan dengan terobosan agar siswa mendapatkan pemulihan pembelajaran yang efektif. Bank Dunia mengucurkan bantuan yang menyasar peningkatan kualitas sekitar 100.000 guru dan kepala madrasah.