Perlindungan Perempuan Pekerja Migran Harus Dimulai dari Desa
Desa bisa menjadi garda terdepan untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya perempuan pekerja migran karena desa memiliki akses untuk bersentuhan langsung kepada masyarakat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perempuan pekerja migran merupakan penyumbang devisa negara dan menjadi tulang punggung keluarga. Akan tetapi kontribusi mereka sebagai pekerja migran hingga kini belum diiringi dengan perlindungan yang optimal dari negara. Selain rentan mengalami kekerasan berbasis jender dalam berbagai bentuk, juga rentan menjadi korban perdagangan orang.
Kerentanan perempuan pekerja migran terjadi di setiap tahapan proses migrasi, mulai dari pra keberangkatan, penempatan hingga kepulangan. Untuk mencegah dan melindungi perempuan tidak menjadi korban kekerasan dan perdagangan orang, perlu langkah bersama dari semua pemangku kebijakan yang dimulai dari tingkat desa.
“Desa merupakan bagian dari pemerintah daerah yang sejatinya memiliki potensi besar dalam upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia, mengingat kantong-kantong korban perdagangan orang adalah area perdesaan,” ujar Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Rafail Walangitan, Jumat (17/9/2021).
Rafail hadir secara daring pada “Penandatangan Surat Keputusan Enam Kepala Desa tentang Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan Pekerja Migran Indonesia dan TPPO sebagai Upaya Perlindungan PMI dari Desa” yang digelar Kalyanamitra.
Keenam desa tersebut, Desa Sidorejo dan Desa Punggung Raharjo (Lampung Timur), Desa Babakan Gebang dan Desa Sumber Lor (Cirebon), Desa Sukorejo dan Desa Tanen, (Tulungagung). Penandatangan tersebut merupakan bagian dari kerjasama Kalyanamitra dengan UN Women dalam mengimplementasikan program “Peningkatan Kapasitas Desa dan Komunitas Migran Untuk Pencegahan dan Respon Kekerasan Terhadap Pekerja Migran Perempuan dan Trafficking” selama dua tahun (2020- 2022).
Rafail menilai, penandatangan SK Enam Desa ini sejalan dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presinden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO.
Desa bisa menjadi garda terdepan untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan TPPO karena desa memiliki akses untuk bersentuhan langsung kepada masyarakat. Apalagi berdasarkan data Badan Pusat Statistik, terdapat 83.820 desa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
“Berbagai upaya pencegahan dan penanganan perlu dilakukan secara komprehensif, terus-menerus, berkelanjutan, dan melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah, swasta, organisasi masyarakat sipil, dan semua lapisan masyarakat,” tegas Rafail.
Ia mengingatkan, modus-modus TPPO dari waktu ke waktu terus berkembang didorong oleh perkembangan teknologi. Hal ini menjadikan TPPO sebagai kejahatan yang tidak mudah ditangani.
Pelaku TPPO seringkali mengiming-imingi korban dengan kehidupan yang lebih sejahtera dengan memanfaatkan kerentanan-kerentanan seperti kemiskinan atau keluarga yang terlilit hutang.(Rafail Walangitan)
“Pelaku TPPO seringkali mengiming-imingi korban dengan kehidupan yang lebih sejahtera dengan memanfaatkan kerentanan-kerentanan seperti kemiskinan atau keluarga yang terlilit hutang,” tegasnya.
Korban TPPO diperdagangkan untuk menjadi pekerja, dikawinkan secara paksa, serta dijadikan pekerja seks komersial. Kebanyakan pelaku TPPO sudah tergabung dalam sindikat yang sudah terstruktur, terorganisir, dan tersistem.
Bahkan di masa pandemi Covid-19 ini, berkembang modus baru dalam TPPO, yaitu pelaku seringkali menggunakan media sosial untuk mendekati korban, berperilaku sebagai orang yang dapat dipercaya korban, hingga kemudian korban terjebak untuk dieksploitasi. Bahkan, korban TPPO sering digunakan menjadi pelaku perekrutan kasus TPPO.
Wajah perempuan Indonesia
Ketua Kalyanamitra, Listyowati mengungkapkan, jika bicara pekerja migran Indonesia, sesungguhnya (kita) sedang berbicara tentang wajah perempuan Indonesia. Sebab, mayoritas PMI adalah perempuan. “Kerentanan perempuan pekerja migran Indonesia jadi salah alasan fokus perhatian kami, karena sampai detik ini masih dialami perempuan PMI,” tegas Listyowati.
Oleh karena itulah, saat ini, Kalyanamitra bersama UN Women, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) serta pemerintah desa, bekerja di enam desa, yang menjadi kantong perempuan pekerja migran, untuk membangun dan membentuk sistem penanganan dan pencegahan TPPO dan kekerasan terhadap perempuan.
“Salah satu caranya bagaimana sistem itu dilembagakan, dan berada dalam nomenklatur dan berada dalam satuan tugas di pemerintahan desa, tentang pencegahan dan penanganan TPPO di desa. Karena memang isu PMI bukan isu mudah, maka butuh kerja sama multistakeholder, sehingga kerentanan bisa diminimalkan, PMI merasa nyaman dan aman. Berangkat aman, pulang nyaman, dan selamat,” tegas Listyowati.
Saat ini di enam desa dampingan Kalyanamitra di tiga wilayah telah terbentuk Satuan Tugas (satgas) untuk Pencegahan dan Penangan Kekerasan terhadap Perempuan Pekerja Migran dan TPPO. Untuk menguatkan peran dan tugas satgas, Kepala Desa di enam desa tersebut telah berinisiatif mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Desa sebagai bentuk pengakuan desa terhadap keberadaan Satgas.
Program “Peningkatan Kapasitas Desa dan Komunitas Migran Untuk Pencegahan dan Respon Kekerasan Terhadap Pekerja Migran Perempuan dan Trafficking” merupakan bagian dari Program Safe and Fair (SAF): Realizing women migrant workers’ rights and opportunities in the ASEAN region (2018-2022).
Safe and Fair adalah bagian dari program Spotlight Initiative yang bertujuan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, sebuah inisiatif global multi-tahun antara Uni Eropa dan PBB. Safe and Fair dilaksanakan melalui kemitraan antara UN Women dan ILO dengan tujuan utama untuk memastikan migrasi kerja yang aman dan adil bagi semua perempuan di wilayah ASEAN.
Selain Rafail, hadir juga berbicara Nunik Nurjanah (UN Women), dan Maizidah Salas (SBMI), dan Sinthia Harkrisnowo (ILO). Sinthia mengungkapkan, sebanyak 67 persen dari total pekerja migran adalah perempuan. “Sebanyak 52 persen pekerja migran yang bekerja di sektor rumah tangga. Pekerjaan yang tidak dicakup oleh banyak undang-undang tenaga kerja di kawasan ASEAN," ujar Sinthia.
Padahal, kebijakan dan manajemen migrasi pekerja yang responsif jender akan membuat perbedaan yang signifikan terhadap kondisi hidup dan kerja perempuan pekerja migran dan laki-laki, serta keluarga mereka.