Perempuan memiliki berbagai kerentanan, termasuk dalam kesehatan. Namun, hingga kini pemahaman terhadap kesehatan reproduksi masih sangat rendah.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun memiliki berbagai program kesehatan, layanan kesehatan reproduksi di Indonesia hingga kini masih jauh dari keadilan jender. Selama ini sejumlah program kesehatan masih bertumpu pada perempuan, bahkan perempuan lebih memikul beban berat dan dituntut untuk berkontribusi aktif, sementara laki-laki tidak dibebankan tanggung jawab tersebut.
Pun dalam menyusun berbagai program, alokasi-alokasi anggaran pemerintah untuk kesehatan reproduksi (kespro) masih terlalu kecil dan belum sejalan dengan program pengarusutamaan gender (PUG). Hal itu terjadi karena kementerian/lembaga belum memahami tentang PUG.
”Bila kita mau melihat sejauh mana komitmen pemerintah dalam memberikan layanan kespro perempuan, kita harus melihat berapa alokasi dana untuk program layanan kesehatan reproduksi. Anggaran untuk kespro kecil, enggak ada artinya,” ujar Zumrotin K Soesilo, pakar kesehatan reproduksi, hak konsumen, dan layanan kesehatan, dalam Diskusi Kamisan Gender Equality and Social Inclusion (GESI) bertema ”Kesehatan Dalam Kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) dan Isu Keadilan Gender dan Inklusi Sosial”, Kamis (16/9/2021), secara daring.
Zumrotin menegasan, meski dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan dengan jelas tentang dana kesehatan 5 persen dari APBN, dalam kenyataan untuk program kespro, persentase anggarannya hampir tidak terlihat. Begitu juga dalam program di kementerian/lembaga juga banyak yang belum memasukkan PUG karena tidak memahaminya.
Metode KB untuk laki-laki hanya dua, kondom dan vasektomi, tapi kurang digalakkan, terutama vasektominya.
Bahkan, dalam pelaksanaannya, layanan kespro masih jauh dari keadilan jender. ”Dalam hal layanan Keluarga Berencana perempuan memikul beban berat karena semua metode yang dikembangkan untuk laki-laki. Metode KB untuk laki-laki hanya dua, kondom dan vasektomi, tapi kurang digalakkan, terutama vasektominya,” ujar Zumrotin.
Begitu juga dengan target mengurangi tengkes (gangguan tumbuh kembang anak karena permasalahan gizi kronis), yang semua upaya dibebankan kepada perempuan. Sementara laki-laki yang berkontribusi menaikkan angka tengkes tidak dilibatkan.
Sebaliknya, masih ada kejadian lelaki yang melakukan kekerasan fisik, mental, dan ekonomi yang berdampak tidak keluarnya air susu ibu (ASI) sebagai asupan makanan bergizi bagi bayi. Bahkan, ada laki-laki menyedot anggaran yang harusnya buat gizi anak, seperti telur, tapi digunakan untuk rokok.
Selain Zumrotin, hadir sebagai pembicara Yuni Chuzaifah (konsultan jender MADANI) dan Arifah Ulviah (Manager Program PDNA Bulukumba, Mitra Utama MADANI).
Arifah mengungkapkan sejumlah tantangan dalam advokasi isu kesehatan yang inklusif, yakni kebijakan pemerintah daerah yang belum transparan, partisipatif, dan responsif, alokasi anggaran khususnya di sektor kesehatan yang belum memenuhi mandatori UU Kesehatan (10 persen dari APBD). Selain itu, adanya stigma, kebiasaan, perspektif, serta pengetahuan pemerintah daerah dan masyarakat yang masih jauh dari kata dan perilaku yang inklusif, dan di masa pandemi terjadi refocusing anggaran.
Adapun hambatan yang dihadapi, antara lain, data yang tidak akurat dan tidak diperbarui. Ini akan memengaruhi layanan jaminan kesehatan bagi masyarakat yang betul-betul miskin dan berhak mendapatkan layanan kesehatan gratis baik. Begitu juga masalah administrasi kependudukan bagi pekerja migran yang pulang kampung.
”Kurangnya sosialisasi dan implementasi kebijakan dari organisasi perangkat daerah terkait tentang regulasi yang berkaitan dengan layanan kesehatan yang inklusif. Pemahaman tentang kesehatan yang inklusif bagi penyedia layanan masih rendah, termasuk aktivis lembaga masyarakat sipil di daerah,” papar Arifah.
Inklusif
Yuni mengungkapkan GESI adalah prinsip HAM, hak atas kesehatan dan layanan yang berkeadilan (termasuk adil jender). Layanan kesehatan hendaknya bersifat inklusif, yakni semua pihak harus mendapat akses, tidak boleh bersifat eksklusif karena identitas (usia, difabilitas, etnis, dan lain-lain).
”Kita sering bicara inklusif, tapi seberapa jauh bahasa medis inklusif pada orang-orang awam. Bagaimana informasi layanan kesehatan mudah diserap oleh kawan-kawan disabilitas, seberapa banyak rumah sakit yang ada petugas dengan bahasa isyarat. Saat konsultasi didampingi petugas bahasa isyarat, kawan tunanetra ada informasi suara sehingga dia bisa mengadopsi,” kata Yuni.
Layanan kesehatan diharapkan tidak diskriminatif atau peka pada pihak-pihak yang rentan diskriminasi berlapis, bahasa yang mudah dipahami, termasuk budaya yang masih diskriminatif. Selain itu, penting juga layanan kesehatan partisipatif dan hak atas informasi menjadi penting, terutama atas otonomi tubuh.