Tekankan Protokol Kesehatan, WHO dan Unicef Restui Pembukaan Sekolah di Masa Pandemi Covid-19
WHO dan Unicef tak hanya memberi lampu hijau untuk pembelajaran tatap muka di sekolah, tetapi juga menyarankannya, sepanjang dilakukan dengan protokol kesehatan ketat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembukaan sekolah-sekolah di Indonesia tak hanya mendapat restu dari pemerintah. Badan dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni Organiasasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF) juga mendorong semua sekolah di seluruh Indonesia dibuka kembali dengan aman agar pembelajaran tatap muka dilanjutkan bagi semua anak sesegera mungkin.
Lebih dari 60 juta murid di Indonesia terdampak penutupan sekolah yang dilakukan sejak Maret 2020. Saat ini baru 39 persen sekolah yang telah kembali dibuka untuk menyelenggarakan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas sejak 6 September 2021.
Di wilayah dengan angka kasus Covid-19 yang tinggi sekalipun, WHO tetap menyarankan agar sekolah kembali dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan. Dengan aturan kesehatan yang ketat, sekolah dapat menawarkan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak dibandingkan dengan keadaan di luar sekolah.
”Saat hendak membuka kembali sekolah, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah cara menerapkan protokol kesehatan yang esensial, seperti menjaga jarak minimal 1 meter dan memastikan murid dapat mencuci tangan dengan sabun dan air secara teratur. Namun, kita pun harus ingat bahwa sekolah tidak berada di ruang vakum. Sekolah adalah bagian dari masyarakat,” kata Paranietharan, Perwakilan WHO untuk Indonesia, dalam siaran persnya, Rabu (15/9/2021).
Sekolah adalah lingkungan tempat belajar, berteman, mendapatkan rasa aman dan kesehatan. Semakin lama anak berada di luar sekolah, semakin lama pula mereka terputus dari bentuk-bentuk dukungan penting ini.
Paranietharan menambahkan, saat memutuskan untuk kembali membuka sekolah, harus dipastikan penularan di masyarakat tempat sekolah berada juga dapat dikendalikan. Hal ini mengingat tingkat penularan virus varian Delta yang tinggi. Karena itu, protokol kesehatan sangat penting ditegakkan untuk menurunkan penularan komunitas di semua lingkungan, termasuk lingkungan sekolah.
Diprioritaskan
Perwakilan Unicef Indonesia Debora Comini mengatakan, seiring dengan pelonggaran pembatasan mobilitas karena pandemi Covid-19, pembukaan kembali sekolah dengan aman harus diprioritaskan. Tujuannya adalah agar jutaan murid tidak perlu menanggung kerugian pembelajaran dan potensi diri seumur hidupnya.
”Bagi anak-anak, makna sekolah lebih dari sekadar ruang kelas. Sekolah adalah lingkungan tempat belajar, berteman, mendapatkan rasa aman dan kesehatan. Semakin lama anak berada di luar sekolah, semakin lama pula mereka terputus dari bentuk-bentuk dukungan penting ini,” kata Debora.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim terus mendorong pemerintah daerah segera menggelar PTM terbatas. Pantauan di lapangan dilakukan Mendikbudristek untuk memastikan PTM berjalan baik dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
”Hal yang paling penting adalah semua warga sekolah mematuhi protokol kesehatan. Mari terus memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, dan tidak berkerumun. Sebab, jika ada kluster Covid-19 di sekolah, sekolah bisa ditutup lagi,” kata Menteri Nadiem saat mengunjungi SD Muhammadiyah Jogokariyan, Yogyakarta, Selasa.
Nadiem mengimbau komite sekolah berperan aktif memantau pelaksanaan PTM terbatas di sekolah. ”Komite sekolah membantu kepala sekolah sebagai satgas yang memantau apakah pelaksanaan PTM terbatas bisa berjalan aman, apakah protokol kesehatan diterapkan oleh seluruh warga sekolah,” ujar Nadiem.
Semakin berisiko
Penutupan sekolah tidak hanya berdampak terhadap pembelajaran, tetapi juga kesehatan dan kesejahteraan anak yang sedang berada dalam tahap penting perkembangannya serta dengan konsekuensi jangka panjang. Dalam survei yang dilakukan baru-baru ini oleh Kementerian Kesehatan dan Unicef, ditemukan bahwa 58 persen dari 4.374 puskesmas di 34 provinsi melaporkan kesulitan menyediakan layanan vaksinasi di sekolah.
Anak di luar sekolah juga lebih berisiko menjadi korban eksploitasi ataupun kekerasan fisik, emosional, dan seksual. Indonesia telah mencatat kenaikan yang memprihatinkan dari angka perkawinan usia anak dan kekerasan sejak pandemi bermula. Di pengadilan-pengadilan agama, permohonan dispensasi nikah naik tiga kali lipat dari 23.126 pada tahun 2019 menjadi 64.211 pada tahun 2020.
Dalam keterbatasan, sebenarnya pemerintah pusat dan daerah telah melakukan berbagai cara untuk mendukung pembelajaran jarak jauh. Meskipun sebagian di antaranya terbukti efektif, tak sedikit anak yang masih menghadapi hambatan signifikan dalam belajar.
Dalam survei yang dilakukan pada kuartal terakhir tahun 2020 di 34 provinsi dan 247 kabupaten/kota, lebih dari separuh (57,3 persen) rumah tangga dengan anak usia sekolah menyebut koneksi internet yang andal sebagai kendala utama. Sekitar seperempat orangtua yang disurvei juga menyatakan, mereka tidak memiliki waktu ataupun kemampuan untuk mendampingi anak melakukan pembelajaran jarak jauh. Sebanyak tiga dari empat orangtua menyatakan khawatir bahwa anak akan mengalami kehilangan kompetensi.
Unicef dan para mitranya menyarankan tiga langkah prioritas untuk menyelenggarakan kembali PTM di Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan pula langkah-langkah pengamanan yang komprehensif agar meminimalkan dampak penutupan sekolah yang berkepanjangan terhadap kehidupan seorang anak.
Hal tersebut mencakup pengadaan program dengan sasaran khusus untuk mengembalikan anak dan remaja ke sekolah dengan aman, tempat mereka dapat mengakses berbagai layanan yang memenuhi kebutuhan belajar, kesehatan, kesejahteraan psikososial, dan kebutuhan lain. Lalu, merancang program remedial atau program belajar tambahan untuk membantu murid mengejar pembelajaran yang hilang sambil membantu mereka memahami materi-materi baru. Dan terakhir, mendukung guru agar dapat mengatasi kehilangan pembelajaran, termasuk melalui teknologi digital.