Belum Kemerdekaan Pers, Baru Terasa Keleluasaan
Kategori kebebasan pers di Indonesia yang sebelumnya ”agak bebas” pada Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) periode 2016-2018 naik menjadi ”cukup bebas” pada IKP 2019-2021. Belum merdeka penuh, tapi perkembangan ini melegakan.
Free and independent journalism is our greatest ally in combatting misinformation and disinformation. (António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB pada Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, 3 Mei 2021)
Pandemi Covid-19 di negeri ini belum berakhir meskipun dalam tiga pekan terakhir menunjukkan kecenderungan penurunan. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nasional per 30 Agustus 2021 menunjukkan, kasus konfirmasi positif Covid-19 secara nasional menurun hingga 90,4 persen.
Jika dibandingkan dengan tiga minggu lalu, kasus kematian akibat Covid-19 yang mencapai sekitar 1.000 kasus per hari sebelumnya kini rata-rata menjadi sekitar 700 kasus per hari. Keterisian tempat tidur (bed occupancy rate) di rumah sakit pun berada di kisaran angka 27 persen.
Namun, penurunan berbagai indikasi penyebaran Covid-19 itu tak serta-merta menurunkan jumlah sebaran berita bohong (hoaks) atau berita salah (misinformasi) terkait pandemi. Data Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, antara 23 Januari 2020 dan 17 Agustus 2021, menunjukkan ada 1.859 temuan hoaks di media sosial dari 4.449 kasus yang diajukan masyarakat. Pada awal pandemi, dan awal pelaksanaan vaksinasi, sebaran hoaks dan berita salah meningkat. Jumlah ini tak termasuk kabar yang bisa saja salah yang dimuat di media massa.
Baca Juga: Kemerdekaan Per Meningkat Saat Pendemi
Keselamatan jurnalis
Untuk mewujudkan kebebasan memperoleh informasi bagi masyarakat, yang mencerahkan, dan untuk mendapatkan informasi yang benar terkait penanganan Covid-19, pekerja pers di negeri ini memiliki keleluasaan yang tidak sepenuhnya bisa dimiliki oleh sesamanya di sejumlah negara. Keleluasaan itu adalah bagian dari kemerdekaan pers, seperti yang diingatkan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, bahwa jurnalisme yang bebas dan independen merupakan sekutu terbesar kita dalam memerangi misinformasi dan disinformasi.
Bahkan, saat memperingati Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, 3 Mei lalu, Antonio menambahkan, ”Saya mendesak semua pemerintah untuk melakukan segala daya untuk mendukung media yang bebas, independen, dan beragam. Rencana Aksi PBB tentang Keselamatan Jurnalis bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi pekerja media di seluruh dunia karena informasi adalah barang publik. Lepas dari perubahan dramatis di media selama tiga dekade terakhir, seruan mendesak deklarasi untuk kebebasan pers dan akses bebas ke informasi tetap relevan sehingga informasi tetap menjadi barang publik yang menyelamatkan nyawa bagi semua.”
Saya mendesak semua pemerintah untuk melakukan segala daya untuk mendukung media yang bebas, independen, dan beragam.
Konstitusi negeri ini pun menjamin kemerdekaan pers selain hak untuk hidup yang layak dan sehat. Pasal 28F Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menegaskan, ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Jaminan untuk mendapatkan informasi dan memanfaatkannya, untuk kepentingan dan keselamatan warga, sangat terasa penting dalam situasi pandemi Covid-19. Tak hanya bagi warga, tetapi juga bagi pekerja media yang bertugas di garis terdepan selama pandemi ini.
Kode Perilaku Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) juga menempatkan keselamatan wartawan sebagai yang utama dibandingkan sebesar apa pun informasi yang diperolehnya. Pada masa pandemi, sejumlah organisasi wartawan dan perusahaan media juga membuat kebijakan membatasi pekerja, khususnya wartawan untuk turun ke lapangan. Dengan pembatasan ini diharapkan pekerja media terhindar dari paparan Covid-19 dan keselamatannya terjaga.
Baca Juga: Anomali Relasi Demokrasi dan Kemerdekaan Pers
Padahal, kodrat wartawan adalah pekerjaan kaki. Ke lapangan. Baru kemudian mengolah data dan fakta yang diperolehnya dengan otak dan berlandaskan moral sehingga bisa menghasilkan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat.
Namun, masih saja ada pekerja media, khususnya wartawan, yang meninggal karena terinfeksi Covid-19. Audrey Azoulay, Direktur Jenderal Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO), pada Hari Kebebasan Pers Sedunia 3 Mei 2021, menyatakan, sejak 1991, lanskap informasi mengalami perubahan yang luar biasa, terutama dengan munculnya internet dan media sosial. Pandemi menggarisbawahi kebutuhan akan informasi yang bisa dipercaya. Jurnalisme yang independen membantu memahami krisis ini. Wartawan melaporkan dari lapangan, bahkan dengan risiko pribadi yang besar. Banyak yang diancam, ditahan, dan dilecehkan, terutama perempuan.
Pandemi menggarisbawahi kebutuhan akan informasi yang bisa dipercaya. Jurnalisme yang independen membantu memahami krisis ini. Wartawan melaporkan dari lapangan, bahkan dengan risiko pribadi yang besar.
”Enam puluh dua jurnalis terbunuh karena pekerjaannya pada tahun 2020. Banyak lagi yang kehilangan nyawa karena Covid-19. Kami berutang budi kepada mereka. Pandemi memperburuk tantangan yang ada, dengan banyak media sekarang menghadapi kerugian finansial,” ungkap Audrey.
Press Emblem Campaign (PEC), awal Januari 2021, menyebutkan, sejak 1 Maret 2020 hingga akhir tahun 2020, sekurang-kurangnya 602 wartawan meninggal akibat terpapar Covid-19. Menurut lembaga yang berkantor di Geneva, Swiss, itu, setengah lebih dari wartawan yang meninggal gegara Covid-19 berasal dari Amerika Latin. Data hingga tengah tahun 2021 belum diketahui. Namun, Federasi Jurnalis Nasional Brasil (FENAJ) melaporkan, hingga Juli 2021, pandemi yang berkecamuk sejak awal tahun 2020 di negeri itu mengakibatkan sekitar 300 wartawan meninggal.
Di Indonesia? Tak ditemukan catatan pasti, termasuk dari Dewan Pers atau organisasi wartawan atau lembaga pers lain. Sejumlah wartawan di Jawa Timur, Juli lalu, mengumumkan, berdasarkan catatan di grup Whatsapp (WA), ada 38 wartawan di provinsi itu yang meninggal gegara Covid-19. Catatan lain disampaikan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, pertengahan Juli lalu, yang menyebutkan, di Jakarta saja sedikitnya 200 wartawan terpapar Covid-19. Enam orang di antaranya meninggal pada Juli 2021.
Baca Juga: Pers Belum Sepenuhnya Merdeka
Oleh karena itu, perlindungan terhadap pekerja media dari paparan Covid-19 seharusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penjagaan terhadap kemerdekaan pers di dunia, termasuk di negeri ini. Dewan Pers bersama komunitas pers dan perusahaan pers sejak awal pandemi sudah menyuarakan pentingnya perlindungan terhadap pekerja media, khususnya wartawan, dari Covid-19 dan memprioritaskannya untuk mendapatkan vaksinasi pada gelombang awal. Harapan itu terpenuhi dan sejak akhir Februari 2021 ribuan pekerja media, terutama wartawan, mendapatkan vaksin anti-Covid-19. Pada awalnya di Jakarta, tetapi berkembang juga ke daerah lain, dengan berbagai ragam pendekatan dan persoalannya.
Nyaris saat ini semua pekerja media di Indonesia, yang bersedia dan bisa divaksin, minimal sudah mendapatkan satu dosis vaksin anti-Covid-19. Vaksinasi terhadap pekerja pers masih berlangsung.
Indeks kemerdekaan
Namun, keberhasilan vaksinasi bagi pekerja media kurang diapresiasi oleh komunitas pers di negeri ini, termasuk Dewan Pers, sehingga tak muncul sebagai pertimbangan untuk indeks kemerdekaan pers (IKP) tahun 2021, yang diumumkan pekan lalu di Hotel Santika Premiere Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten. Bahkan, di tingkat global, seperti dilaporkan Reporters Without Borders (Reporters Sans Frontières/RSF), pandemi Covid-19 menjadi ”pembenar” untuk menekan kemerdekaan pers di Indonesia, seperti ditulis dalam laporannya tahun ini, yang mengacu pada data tahun 2020.
”In 2020, the government took advantage of the Covid-19 crisis to reinforce its repressive weaponry against journalists, who are now banned from publishing not only ’false information’ related to the coronavirus but also any ’information hostile to the president or government’ even if it is unrelated to the pandemic.” RSF tampak masih mempersoalkan kebijakan pemerintah pada tahun 2019 untuk menilai kemerdekaan pers tahun 2020. Semoga tahun depan, dalam laporannya, keberhasilan vaksinasi terhadap pekerja media tahun 2021 menjadi pertimbangan.
Memang RSF menilai kondisi kemerdekaan pers di negeri ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ranking dan Indeks Kebebasan Pers (Press Freedom Index) Indonesia, sesuai kajian RSF, adalah pada posisi ke-124 (indeks 36,77) tahun 2019; peringkat ke-119 (indeks 36,82) tahun 2020; dan ranking ke-113 (indeks 37,40) tahun 2021. Angka itu meningkat dibandingkan saat Indonesia disebut pertama tahun 2013, dengan segala catatan dari komunitas pers di negeri ini.
Pemimpin negeri ini pun tidak termasuk sebagai predator kemerdekaan pers, seperti diumumkan RSF melalui lamannya. Terdapat 39 pemimpin negeri yang dikategorikan musuh bagi kemerdekaan pers, termasuk enam orang di antaranya dari kawasan Asia Tenggara. Indonesia hanya kalah ”merdeka” dari Timor Leste di kawasan ini. Dan, tetap di bawah Hong Kong meskipun pimpinan kawasan itu digolongkan sebagai predator kemerdekaan pers.
Baca Juga: Kemerdekaan Pers Meningkat, Kesejahteraan dan Independensi...
Mengikuti kategorisasi kebebasan pers yang dibuat Dewan Pers bersama Sucofindo, Indonesia barangkali masuk kategori ”agak bebas” dari pengukuran RSF. Kondisi ini mirip dengan hasil survei IKP meskipun selama lima tahun berturut-turut menunjukkan tren meningkat, yaitu dari skor IKP 67,92 (2017) menjadi 69,00 (2018); 73,71 (2019); 75,27 (2020); dan terakhir 76,02 (2021). Nilai IKP 2021 meningkat tipis sebanyak 0,75 poin dari IKP 2020. Kategori kebebasan pers yang sebelumnya ”agak bebas” pada IKP 2016-2018 naik menjadi ”cukup bebas” pada IKP 2019-2021. Perkembangan ini tentu melegakan.
Dalam laporan terakhir, RSF tidak mencantumkan adanya kasus kekerasan, bahkan kematian, yang dialami wartawan dan jurnalis warga di Indonesia. Kejadian itu pun tidak ada dalam hasil survei IKP tahun 2020. Namun, hal itu tak berarti tidak ada kekerasan terhadap wartawan atau pekerja media di Indonesia pada tahun lalu.
Pandemi membuat kemampuan finansial perusahaan pers melemah sehingga berpotensi ada pemutusan hubungan kerja selain pengurangan gaji atau langkah penghematan lain yang bisa merugikan pekerja media. Pandemi juga membuat tekanan kehidupan di masyarakat menjadi sangat tinggi sehingga bisa memicu kekerasan terhadap pekerja media yang masih ke lapangan. Kondisi ini bisa memengaruhi kemerdekaan pers di negeri ini pula.
Pemerintah, termasuk pemerintah daerah, berusaha membantu pekerja media dan perusahaan pers agar tetap bertahan selama pandemi sejak tahun lalu. Langkah ini pantas diapresiasi. Sejumlah kasus kekerasan terhadap pekerja media di masa lalu juga belum sepenuhnya selesai diusut. Hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama, sebagai bagian dari komunitas pers, untuk bisa menyelesaikannya.
Apa pun hasilnya, survei IPK paling tidak menggambarkan kondisi kemerdekaan pers di negeri ini. Layak disyukuri pula karena kian banyak kalangan, termasuk pemerintah daerah: provinsi, yang makin menghargai kemerdekaan pers. Kondisi ini tergambar dari temuan survei IKP tahun ini.
Pers berperan menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan.
Baca Juga: Pers Belum Bebas dari Intervensi
Tantangan paling berat bagi kemerdekaan pers di negeri ini adalah saat tahun politik. Tahun pemilu. Hal ini sejalan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan, ”Pers berperan menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan, selain melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.”
Dan, tahun politik di negeri ini tampak datang lebih awal. Bukan hanya di pusat, melainkan, seperti tahun-tahun sebelumnya, intensitas pertarungan politik dan kontestasi terjadi di daerah pula. Apalagi, tahun depan sejumlah gubernur akan mengakhiri masa jabatannya serta kemungkinan akan berlaga serentak, untuk posisi politik apa pun, pada Pemilu 2024.
Selamat menjaga kemerdekaan pers.