Lebih dari sebelas tahun lalu di ruang ini saya menulis kolom “Balada Ejaan Lama”. Isinya tentang meredupnya ejaan lawas bahasa Indonesia—Ejaan Van Ophuysen dan Ejaan Republik—dari peredaran setelah EYD (Ejaan yang Disempurnakan) resmi berlaku sejak 1972. Bahkan, di antara pengguna bahasa di ruang umum terkesan tak pernah mengenal ejaan lama itu; sementara, petugas loket pembayaran listrik, kasir apotek, dan teler bank, misalnya, salah sebut nama pelanggan berejaan lama dengan cara-baca EYD sehingga menghasilkan bunyi dan nama berbeda.
Kini gejala serupa itu sesekali terjadi lagi. Saat membacakan berita penanganan pasien Covid-19 belum lama berselang, seorang pranatacara televisi salah melisankan nama rumah sakit Chasbullah Abdulmadjid di Kota Bekasi. Setidaknya tiga kali sepanjang durasi berita, nama depan rumah sakit itu diucapkan casbullah; padahal mestinya dibaca khasbullah—seturut EYD. Pengucapan itu mungkin terinspirasi bahasa Melayu lama yang melafalkan ch serupa c sekarang, seperti chakap menjadi cakap. Bisa juga terpengaruh beberapa kosakata Inggris, semisal chassis, yang dibunyikan casis dalam bahasa Indonesia.
Salah-bunyi semacam itu terjadi pada jurnalis televisi yang lain ketika ia melaporkan kunjungan kerja Lestari Moerdijat di Kota Gorontalo beberapa waktu lalu. Ruas akhir ejaan (lama) nama belakang wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu—yakni -jat dari Moerdijat—dituturkan -jat seperti pada kata derajat; alih-alih -yat seperti rakyat. Tiga-empat kali nama itu konsisten diucapkan secara EYD sehingga cukup alasan untuk menyimpulkan bahwa sang reporter memang tak paham ada percikan ejaan lain dengan cara-baca yang lain pula. [Mohon maaf kepada Ibu Lestari Moerdijat karena asmanya saya kutip di sini.]
Peristiwa tersebut mengisyaratkan masih terjadi keterputusan mualamat tentang ejaan lama pada sebagian pengguna bahasa—dan mungkin masih akan berulang. Soalnya, ejaan baheula itu, dalam berbagai wujud, ternyata tidak “habis” begitu saja setelah digusur EYD hampir setengah abad lalu. Bahkan, naga-naganya, akan terus bertahan sebab sebagian di antaranya—terutama pada nama diri atau figur yang telah berlalu—“menitis” sebagai nama instansi, organisasi, infrastruktur, dan lain-lain. Beberapa contoh: Adisutjipto (sebagai nama bandar udara), Padjadjaran, Soedirman, Gadjah Mada (ketiganya universitas); dan agak baru ialah Mahar Mardjono (rumah sakit), serta Bacharuddin Jusuf Habibie (institut teknologi).
Yang terbayang, titisan ejaan lawas itu meniti rentang zaman yang cukup panjang. Nama pranatacara kesehatan di sebuah stasiun televisi, Tantri Moerdopo [izinkan saya memetik nama elok ini], bisa menjadi contoh aktual tentang nama seorang cucu dari “generasi pasca-EYD” yang bersanding dengan nama seorang eyang berejaan “era Van Ophuysen”. Titisan serupa menjelma sebagai merek dagang pada usaha ekonomi kreatif masa kini (umumnya dikelola kaum milenial) yang, tanpa canggung, meruntih beberapa kata berejaan sebelum Perang Dunia menyala: bakoel, boemboe, dapoer, kampoeng, koffie, waroeng, dan lain-lain.
Saya jadi teringat Pak Wojo (baca: woyo), nama akrab Soewojo Wojowasito (1919-83). Linguis-pekamus andal itu sejujurnya tak begitu antusias menyambut pembaruan ejaan sebab Ejaan Republik yang berlaku saat itu, katanya, “sudah pasti”—maksudnya “mapan”. Namun, dengan bijak ia katakan bahwa ejaan—apa pun itu—akan baik apabila dipakai secara disiplin. Perkataan itu tersua dalam biografinya, Prof. Soewojo Wojowasito SS: Karya dan Pemikirannya (1986).
KASIJANTO SASTRODINOMO, Alumnus FIB Universitas Indonesia.