Tetap Waspada Meski "Rating" Pembelajaran Tatap Muka Naik
Pembelajaran tatap muka terbatas disiapkan banyak daerah. Sejumlah pihak khawatir pembelajaran itu memicu kluster penularan Covid-19 di sekolah.
Seiring melandainya laju pertambahan kasus Covid-19 di Tanah Air, pemerintah daerah diminta memberikan lampu hijau pada sekolah-sekolah untuk segera menggelar pembelajaran tatap muka secara terbatas. Harapannya, hal itu bisa mengejar ketertinggalan pembelajaran akibat pembelajaran jarak jauh yang telah berlangsung hampir 18 bulan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, Rabu (8/9/2021), optimistis makin banyak sekolah akan menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di daerah dengan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) level 1-3.
September ini, saat semakin banyak daerah tak lagi di level 4 (wajib pembelajaran jarak jauh), Nadiem bersemangat mendorong sekolah-sekolah menyiapkan opsi PTM. Sampai-sampai, Nadiem pun menyebut peringkat (rating) belajar dari rumah (BDR) semakin turun karena PTM laku.
“Rating BDR secara lumayan konsisten turun cukup jauh partisipasinya. Pada Januari dan Juni 2021 jauh di bawah rating awal dari tahun 2020, di mana sangat laku materi dan kontennya BDR. Ini tentu karena proses dan transisi tatap muka, sehingga ratingnya (BDR) turun,” kata Nadiem.
Baca juga Terbatasnya Pembelajaran Tatap Muka Terbatas
Istilah rating juga disebutkan Nadiem terkait penggunaan lembaga penyiaran publik untuk menyebarkan materi pelajaran untuk siswa yang menjalani BDR. Pada tahun 2021 terjadi kenaikan harga jam tayang dari Rp 63 juta per jam menjadi Rp 120 juta per jam. Kenaikan ini dinilai memberatkan anggaran pendidikan sehingga perlu ditinjau ulang.
“ Rating (untuk mengakses materi belajar BDR) turun dan harga naik dua kali lipat. Kebanyakan sekolah sudah tatap muka. Inilah alasan mengapa kerja sama diturunkan untuk program penyiaran. Fokus untuk kembali ke sekolah,” kata Nadiem.
Satu frekuensi
Persiapan PTM terbatas dilakukan banyak daerah meski muncul kekhawatiran muncul kluster penyebaran Covid-19 di sekolah. Sebab, rencana vaksinasi untuk semua guru dan tenaga kependidikan sebelum tahun ajaran baru nyatanya belum tuntas. Baru sekitar 40 persen pendidik yang sudah mendapat vaksin lengkap atau dua dosis. Jangkauan vaksin untuk siswa berusia 12-17 tahun juga masih minim.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kemdikbud Jumeri di webinar bertema "Silaturahmi Merdeka Belajar episode 6: Pembelajaran Tatap Muka Terbatas dan Kesiapan Pemda", Kamis (9/9/2021), mengutarakan, kini mayoritas komponen pemda, pemerintah pusat, guru, peserta didik, dan orangtua, sudah punya tujuan sama. Semua pihak terkait berharap sekolah bisa segera dibuka.
“Kita sudah satu frekuensi untuk segera membuka sekolah, untuk merelaksasi anak-anak kita, menolong anak-anak kita. Soal beda waktu membuka, ini hanya soal perbedaan pertimbangan daerah,” kata Jumeri.
Baca juga Sekolah di Zona Merah Wajib PJJ
Dari 514 kabupaten/kota, sebanyak 471 daerah di antaranya berada di wilayah PPKM level 1-3. Jika dihitung dari jumlah sekolah sebanyak 540.000 sekolah, sekitar 91 persennya diperbolehkan melaksanakan PTM terbatas.
Jumeri menyebutkan ada 490.217 sekolah yang diperbolehkan PTM, sekitar 50 persennya sudah menggelar PTM. Namun, kecepatan daerah melakukan PTM terbatas bervariasi. Saat ini, Provinsi Aceh menduduki peringkat teratas dalam pelaksanaan PTM terbatas, yakni 81 persen.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Wahid Wahyudi, menuturkan, kini dari 4.073 lembaga pendidikan jenjang SMA, SMK, dan SLB di Jawa Timur, sudah 3.944 lembaga atau 96,83 persennya menggelar PTM terbatas. “Pembelajaran di sekolah dilakukan secara giliran. Jadi setiap kelas berisi maksimal 50 persen. Kalau untuk total keseluruhan jenjang yang melakukan PTM terbatas sebanyak 48,34 persen,” ujarnya.
PTM terbatas di Jawa Timur dilakukan selama empat jam pelajaran. Setiap pelajaran dilakukan selama 30 menit. Setiap siswa dibatasi untuk mengikuti PTM hanya dua kali seminggu. “Nanti kalau kondisi pandemi membaik, pastinya akan ada peningkatan waktu maupun jumlah siswa yang masuk dalam seminggu,” kata Wahid.
Jumeri mengatakan, syarat pertama yang harus dipenuhi untuk PTM yakni satuan pendidikan tersebut harus sudah masuk di wilayah PPKM level 1 - 3. Jika pendidik dan tenaga kependidikannya sudah divaksinasi, sekolah wajib menyediakan opsi tatap muka terbatas, juga memberi opsi pembelajaran jarak jauh atau PJJ.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Situ Nadia Tarmizi, mengatakan, prioritas vaksinasi kepada pendidik dan tenaga kependidikan tetap berjalan. Pihaknya selalu mengingatkan kepada dinas kesehatan di seluruh wilayah provinsi, kabupaten, kota, untuk segera berkoordinasi dengan dinas pendidikan untuk mempercepat vaksinasi pendidik dan tenaga kependidikan.
“Jadi kita dorong vaksinasi untuk menunjang upaya kita dalam melakukan pembelajaran tatap muka. Sampai saat ini, tidak ada syarat siswa harus divaksinasi dulu untuk bisa mengikuti PTM,” kata Nadia.
Baca juga Hampir 30 Persen Sekolah Gelar PTM
Nadia menegaskan, upaya memastikan protokol kesehatan saat PTM harus dijalankan dengan baik, dan ketersediaan fasilitas kesehatan memadai. Jika ada kasus positif, sekolah harus tahu melakukan pemeriksaan dan pelacakan kontak erat kasus, kemudian segera menghubungi Puskesmas setempat, atau fasilitas kesehatan mana yang akan ditunjuk.
Jumeri mengingatkan para guru untuk tidak mengejar ketertinggalan materi sekaligus di awal saat PTM terbatas. Di awal pembukaan sekolah, guru diimbau membangun karakter dan kesenangan anak akan sekolah, agar mentalnya siap.
“Kita mengecek dulu secara psikologis, beri motivasi tentang kesehatan. Pastikan anak-anak kita mematuhi protokol kesehatan. Ketika anak-anak di sekolah akan lebih mudah dikontrol karena sehari hanya empat jam dan jumlahnya sedikit,” tuturnya.
Kita mengecek dulu secara psikologis, beri motivasi tentang kesehatan. Pastikan anak-anak kita mematuhi protokol kesehatan.
Jumeri juga mengingatkan agar jangan sampai terjadi diskriminasi pada anak yang masih memilih belajar dari rumah, terkait materi pelajaran ataupun dalam pemberian nilai. Jumeri mengimbau agar materi yang diberikan sesuai dengan kondisi anak.
“Tidak boleh memberi soal yang sama pada siswa tatap muka dan PJJ, karena pemahamannya pasti berbeda. Berikan evaluasi sesuai kondisi anak, ini penting agar anak-anak kita tidak merasa takut,” jelasnya.
Selain kepada guru, Jumeri mengimbau kepala sekolah untuk mengatur pembelajaran di sekolah dengan baik. Saat PTM terbatas berlangsung, siswa cukup diberikan materi-materi esensial. Apalagi, sebagian besar waktu belajar siswa adalah di rumah. “Karena seminggu hanya dua hari, empat harinya di rumah. Dan kepada anak yang belum bisa ke sekolah, jangan berkecil hati,” kata Jumeri.
PTM yang Aman
Di acara Pro-Kontra PTM di Instagram KawalCovid19.id pekan lalu, Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Yogi Prawira mengatakan, IDAI merekomendasi kepada beberapa wilayah dengan tingkat penularan atau positivity rate terkendali (di bawah 8 persen), sekolah bisa dibuka bertahap.
Adapun siswa yang diizinkan mengikuti PTM terbatas mulai dari anak-anak yang sudah bisa diajarkan prokes. “Jadi, yang lebih besar dan mendapat akses vaksinasi di usia 12-17 tahun yang diprioritaskan. Sebab, kita ingin mengoptimalkan perlindungan pada anak, salah satunya vaksin,” kata Yogi.
Yogi mengingatkan ada perilaku baru yang harus dijalankan. Ketika guru atau siswa merasa tidak sehat seperti pilek, harus dipahami jika tidak ke sekolah. Mencegah penularan harus jadi kesadaran semua warga sekolah dengan memulai dari diri sendiri.
Elina Tjiptadi, Praktisi Komunikasi dan Co-Founder KawalCovid19, mengingatkan orangtua untuk memantau data lokal dalam mengambil keputusan mengizinkan anak PTM ataupun PJJ.
Selain itu, kini sekolah harus tidak lagi bersikap menggampangkan situasi. Artinya, warga sekolah dan keluarga tiap anak wajib tertib menegakkan protokol kesehatan, termasuk yang tidak sehat, tidak boleh ke sekolah.
“Hanya butuh satu orang untuk bisa menjadi kluster. Karena itu, jangan menggampangkan prokes dan kondisi tidak sehat dengan tetap ke sekolah. Sekolah harus ditutup jika ada kasus positif dan (segera) melakukan tracing dan tes,” kata Elina.