Seni jalanan sebagai media penyampai aspirasi sudah ada di sejarah seni modern Indonesia. Tindakan aparat yang reaktif terhadap seni jalanan masa kini dinilai karena kurangnya pemahaman soal seni.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan seni jalanan, seperti mural dan grafiti, dinilai perlu dipertahankan untuk mendukung demokrasi. Seni jalanan ini kerap dijadikan saluran ekspresi bagi masyarakat yang tidak memiliki akses menyampaikan aspirasi.
Belum lama ini, di beberapa daerah di Indonesia sejumlah mural dan grafiti di dihapus. Seni jalanan yang dihapus itu mengandung narasi kritis, seperti tulisan ”Tuhan Aku Lapar” dan ”Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit”. Mural dan grafiti kemudian ditutup dengan ditimpa cat karena dinilai provokatif.
Koordinator Lomba Mural Dibungkam, Mimin Muralis, Minggu (13/9/2021), mengatakan bahwa seni jalanan merupakan cara seniman merefleksikan keadaan masyarakat saat ini. Narasi kritis adalah cermin kekecewaan publik kepada pemerintah yang dianggap tidak cakap mengelola pandemi Covid-19.
”Namun, kemiskinan diskursus seni sebagai media kritik menyebabkan seakan pemerintah merasa paling mengerti konteks seni. Mereka tidak melihat seni sebagai refleksi realitas masyarakat, hanya dianggap mengganggu stabilitas politik dan ekonomi,” ujar Mimin pada diskusi daring ”Mural: Semangat Melawan Regresi Demokrasi”.
Ia dan gerakan Gejayan Memanggil yang berbasis di Yogyakarta pun menggagas Lomba Mural Dibungkam. Lomba ini terbuka untuk umum dan diikuti sejumlah orang dari sejumlah daerah. Salah satu kriteria penilaiannya adalah seberapa cepat aparat bertindak. Semakin cepat mural dihapus, semakin baik penilaiannya.
Kemiskinan diskursus seni sebagai media kritik menyebabkan seakan pemerintah merasa paling mengerti konteks seni. Mereka tidak melihat seni sebagai refleksi realitas masyarakat, hanya dianggap mengganggu stabilitas politik dan ekonomi.
Lomba itu berakhir di akhir Agustus 2021, tetapi masih banyak orang yang mengirim dokumentasi mural ke panitia lomba hingga kini. Mimin menambahkan, lomba menawarkan budaya tandingan atas penghapusan mural. ”Mural ini jadi menyentil karena melibatkan petugas sebagai juri,” katanya.
Sejak zaman kolonial
Menurut Pemimpin Redaksi Historia.id Bonnie Triyana, seni jalanan sebagai media protes sudah ada sejak zaman kolonial. Salah satu catatan sejarah tertua tentang mural ditemukan pada laporan bertanggal 3 September 1937. Laporan ditulis oleh Raden Salamoen, seorang wedana reserse di daerah Yogyakarta.
Laporan itu berisi penangkapan SK Mochamad atas tuduhan menghina penguasa. SK Mochamad mencoret-coret tembok di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan tembok di kampung Notoyudan. Salah satu tulisannya dinilai menghina Ratu Belanda Wilhelmina.
”Pada masa revolusi, pesan pada mural dan grafiti didominasi penentangan atas kehadiran Belanda di Indonesia. Mereka juga mengekspresikan eksistensi RI di ruang publik,” kata Bonnie.
Pejuang kemerdekaan juga membuat grafiti di Monumen Van Heutz sekitar Oktober 1945. Narasi pada grafiti berisi perlawanan terhadap kolonialisme. Menurut beberapa sumber, narasi itu merupakan usul dari Tan Malaka.
Bonnie mengatakan, seni jalanan sebagai media penyampai aspirasi sudah ada di sejarah seni modern Indonesia. Tindakan aparat yang reaktif terhadap seni jalanan masa kini dinilai karena kurangnya pemahaman soal seni.
”Mengutip Soekarno, di zaman kemerdekaan, seni kerakyatan semestinya menjadi spirit kebudayaan Indonesia, termasuk mural. Sementara itu, dalam pandangan Karl Marx, kebudayaan suatu zaman mencerminkan kebudayaan dari kelas yang berkuasa,” ujar Bonnie.
Menurut dosen Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra di Surabaya, Obed Bima Wicandra, tidak ada peraturan di Indonesia yang melegalkan seni jalanan. Bila sejumlah mural dihapus karena dinilai melanggar peraturan, menurut Obed, semestinya semua mural yang ada turut dihapus, tidak hanya mural tertentu.
”Apa itu termasuk karya seni atau vandalisme? Ini masih jadi perdebatan. Namun, bagi mereka (seniman jalanan), yang penting adalah ada saluran untuk menyuarakan aspirasi dalam kesenian,” tuturnya.