Metode membaca di Indonesia masih cenderung pada keterampilan mengeja. Secara umum, pendekatannya lebih pada penggunaan bahasa.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan literasi anak-anak Indonesia perlu dibangun secara menyeluruh untuk melandasi mereka dalam memahami bacaan atau informasi. Kegiatan literasi tak sekadar hanya memampukan anak membaca, tetapi juga membangun kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Sayangnya, pembangunan literasi di Indonesia masih sekadar mengutamakan keterampilan mengeja. Ada berbagai metode membaca yang dikembangkan, tetapi belum menyeluruh, terstruktur, dan sistematis dengan sistem bahasa.
Dhitta Puti Sarasvati, fasilitator training of trainer di Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba) di acara Bincang Gernas Tastaba bertajuk Program Literasi TK-SD Berdasarkan Kemampuan Anak: Menyeluruh, Terstruktur, dan Sistematis, Sabtu (11/9/2021), mengatakan, kemampuan literasi siswa Indonesia masih rendah. Kemampuan untuk memahami bacaan belum baik sehingga kurang mendukung kemampuan berpikir kritis mereka.
”Kami sudah menguji coba training of trainer atau TOT sejumlah guru untuk bisa memperkuat pembelajaran literasi di jenjang SD supaya kemampuan membaca siswa Indonesia makin baik. Kami sudah menyelesaikan TOT dengan enam pertemuan, tapi masih perlu mendapat masukan untuk memperbaiki bahan TOT agar dapat dipakai lebih luas lagi untuk membangun fondasi literasi siswa secara efektif dan berkualitas,” jelas Dhitta, dosen di Sampoerna University, Jakarta.
Dona Kuswoyo, Trainer Credo Foundation, mengatakan, membaca bukan proses simpel, tapi kompleks. Membaca merupakan proses mengeja agar mendapat kelancaran dengan tujuan memperoleh pemahaman. Karena itu, Credo Foundation mengkaji metode membaca yang menyeluruh, terstruktur, sistematis, dan eksplisit, yang bisa diterapkan untuk pendidikan anak usia dini hingga SD.
Formula yang efektif untuk literasi pun dilakukan dengan uji kepustakaan dan uji coba di lapangan. Credo Foundation menemukan sejumlah fakta bahwa metode membaca di Indonesia masih cenderung pada keterampilan mengeja. Secara umum, pendekatannya lebih pada penggunaan bahasa yang tidak secara sengaja diajarkan.
”Meskipun kita sudah mencari metode pendekatan literasi yang secara umum bisa untuk semua anak, dalam pelaksanaannya harus ada penyesuaian. Guru fleksibel mengajarkan dengan cara belajar atau kebutuhan anak supaya hasilnya lebih baik,” kata Dona.
Carla dari Credo Foundation mengatakan, pembelajaran literasi siswa ini dibangun berdasarkan kerangka membaca untuk memastikan kemampuan baca dan kemampuan membaca anak terbangun. Dalam proses ini, anak sudah diajak untuk berpikir tingkat tinggi, berpikir kritis, dan kreatif.
Menurut Carla, dari kajian yang dilakukan pada Kurikulum 2013 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, masih sedikit yang membangun kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking/HOT). Secara umum, lebih dominan ke low order thinking skills (mengingat).
“Selama ini kita mendapatkan hasil performa membaca siswa di Indonesia rendah, baik dari yang PISA maupun PIRLS. Kalau dilihat ke kerangka membaca, banyak pertanyaan yang diujikan di tes belum sesuai dengan yang dikembangkan di kurikulum. Akibatnya, performa membaca siswa di internasional selalu rendah,” kata Carla.
Meskipun anak belum bisa membaca atau di kategori pembaca berkembang (masih belajar teknis membaca), sebenarnya kemampuan berpikir tingkat tinggi sudah bisa dibangun. Berpikir kritis lewat buku bacaan yang minim teks, tetapi dilengkapi gambar, dapat diajarkan pada siswa yang belum bisa membaca sambil membangun kemampuan berpikir kritis.
Strategi membaca lantang oleh guru, ujar Carla, bisa digunakan guru PAUD ataupun SD dalam memperkuat kemampuan membaca. Anak-anak PAUD perlu fokus pada kemampuan literasi mendengar dan mengucapkap, mengenal bunyi kata, dan kosakata. Hal ini bisa menjadi prediksi kuat supaya anak bisa mempunyai kemampuan membaca yang baik ke depannya. Selain itu, tetap pula diperkuat kemampuan motorik halus mereka dengan membuat coretan atau menggambar (pra-menulis).
Credo Foundation membagi kategori pembaca menjadi pembaca berkembang (belajar membaca teknis dan mengeja), pembaca pemula (mulai belajar teknis dan menulis), serta pembaca mandiri (memahami, berpikir kritis, dan menulis). Ada enam komponen literasi dasar yang harus diperkuat sehingga anak dapat membaca lancar untuk mencapai pemahaman.
Adapun enam komponen literasi dasar, yakni kesadaran cetak (aturan penulisan dan aturan buku), fonologi (konsep, keterampilan), pengetahuan alfabet (bentuk huruf, nama huruf, bunyi huruf, fonetik (bunyi dan simbol, suku kata, kata, kosakata (kata benda, kata kerja, kata sift), dan pemahaman (membaca untuk kesenangan, membaca untuk pemahaman).
Yanto Musthofa, guru yang juga sukarelawan Gernas Tastaba, mengatakan, literasi dasar TK dan SD sebagai fondasi. ”Jika tidak digarap memadai, nanti kondisi literasi siswa dan masyarakat terus memburuk. Kami juga mengajak para guru mengembangkan kemampuan literasi berdasarkan kemampuan anak,” kata Yanto.