Minimnya pemanfaatan aksara Nusantara berhubungan dengan media yang terbatas. Perluasan akses pun diupayakan, baik dengan membuat ”font” dan papan ketik aksara Nusantara.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu penyebab minimnya penggunaan aksara Nusantara adalah media pemanfaatannya yang terbatas. Akses pemanfaatan pun akan diperluas, antara lain dengan membuat papan ketik khusus aksara Nusantara.
Pengajar Departemen Ilmu Komputer Universitas Udayana, Cokorda Rai Adi Pramartha, mengatakan, pada 2013, kurang dari 50 persen orang Bali tidak bisa berbahasa Bali. Sebagian orang juga tidak memahami aksara Bali.
”Generasi masa kini bukannya tidak mau meneruskan (bahasa dan aksara Bali), melainkan perangkat untuk itu sudah berbeda. Jika dulu aksara ditulis di daun lontar, kini anak-anak muda menulis di tembok (wall) Facebook dan sebagainya,” kata Adi yang juga mempelajari kebudayaan pada diskusi daring, Kamis (9/9/2021).
Aksara Nusantara kita akan naik level dari limited use script menjadi recommended (direkomendasikan).
Adapun ketersediaan aksara Bali dan sejumlah aksara Nusantara lain di internet masih terbatas. Hal ini menghambat pelestarian aksara Nusantara. Minimnya referensi aksara Nusantara di internet juga menyulitkan generasi muda untuk belajar.
Di sisi lain, aksara Nusantara juga variatif sehingga sukar dipahami anak muda. Adi mencontohkan, huruf T dalam aksara Bali banyak variasinya. Di sisi lain, aksara Latin dinilai lebih sederhana.
Kelestarian bahasa dan aksara Nusantara pun ada di posisi sulit. Selain isu regenerasi, dokumentasi aksara dinilai masih belum baik. Pengetahuan orang-orang soal aksara dan bahasa pun terfragmentasi. Ketika orang itu meninggal dunia, pengetahuan yang dimiliki umumnya ikut hilang.
”Komputer berperan menyatukan pengetahuan itu yang semula bersifat parsial menjadi satu. Namun, tantangannya (untuk digitalisasi) tinggi,” ucap Adi.
Membumikan aksara
Menurut Chief Registry Officer Pengelola Nama Domain Internet (Pandi) M Shidiq Purnama, aksara Nusantara perlu dibumikan untuk digunakan sehari-hari. Beberapa daerah melakukannya dengan mengajarkan bahasa daerah dan aksara di kelas, seperti di Jawa dan Bali.
Ia juga mendorong produksi konten digital tentang bahasa dan aksara Nusantara. Lebih jauh, penggunaan aksara perlu dipermudah, baik dengan menyediakan fon maupun papan ketik khusus.
Untuk itu, aksara Nusantara perlu memperoleh Standar Nasional Indonesia (SNI) dari Badan Standardisasi Nasional (BSN). SNI akan digunakan untuk memperoleh standar internasional ISO 10646. ISO menjadi acuan bagi industri untuk memproduksi papan ketik dengan aksara Nusantara serta fon pada gawai.
Upaya ini penting untuk meningkatkan penggunaan aksara Nusantara. Hingga kini, sejumlah aksara menyandang status limited use script atau penggunaannya terbatas. Status itu diberi Unicode, yaitu standar teknis agar teks dan simbol dari seluruh dunia bisa digunakan di komputer.
”Dengan demikian, aksara Nusantara kita akan naik level dari limited use script menjadi recommended (direkomendasikan). Rekomendasi Unicode penting untuk membuat nama domain internet dengan aksara Nusantara,” kata Shidiq.
Ada tujuh aksara Nusantara yang kini terdaftar di Unicode. Ketujuh aksara itu adalah aksara Jawa, Sunda Kuno, Bali, Batak, Rejang, Lontaraq, dan Jangang-jangang.
Koordinator Pengembangan Standar Transportasi dan Teknologi Informasi BSN Mayastria Yektiningtyas mengatakan, standardisasi aksara Nusantara telah diusulkan secara mendesak oleh Kementerian Perindustrian. Artinya, proses standardisasi akan dipercepat dari 13 bulan menjadi 4-5 bulan.
Adapun antropolog dari lembaga penelitian Centre Asie du Sud-Est (CASE) Paris, Sarah Anais Andrieu, mengatakan penting untuk melakukan digitalisasi aksara karena masyarakat masa kini hidup di realitas fisik dan digital. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengajaran aksara dan bahasa daerah tidak bisa dipaksakan. Konten edukatif soal aksara dan bahasa daerah dibutuhkan agar pembelajaran menyenangkan.